Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HALO kakak pengasuh Klinik Hukum bagi Perempuan. Perkenalkan, saya Ning. Saya membaca berita soal dua ibu di Tangerang Selatan dan Bekasi yang mencabuli anaknya dan direkam karena iming-iming uang dari orang lain yang mereka kenal melalui media sosial. Mohon penjelasan, apakah si ibu pelaku pencabulan anak tersebut akan tetap dihukum? Sebab, selain sebagai pelaku, mereka merupakan korban penipuan dari orang yang mengiming-imingi uang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawab:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halo Ning, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Kasus ibu di Tangsel dan Bekasi ini memang sangat memprihatinkan sekaligus dilematis. Kedua ibu tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku/tersangka pencabulan terhadap anak sekaligus korban tipu daya dan muslihat serta pemerasan dari orang yang memanfaatkan kerentanan dan kemiskinan mereka.
Sebelum menjawab pertanyaan apakah kedua ibu tersebut akan tetap dihukum, kami akan membahas lebih dulu mengenai jerat pidana terhadap orang yang memerintahkan kedua ibu tersebut melakukan perbuatan cabul.
Dalam kasus ini, kami melihat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang memberi perintah. Pertama, perbuatan menyuruh orang lain dengan tipu daya/muslihat dan/atau ancaman untuk melakukan perbuatan cabul. Kedua, membuat pesan yang bermuatan kesusilaan, dan terakhir melakukan perbuatan pelecehan seksual nonfisik.
Adapun jerat hukum yang dapat dikenakan kepada si pemberi perintah adalah:
1. Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
2. Karena pelaku meminta korban melakukan perbuatan cabul melalui pesan tertulis di media sosial, pelaku juga melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang melarang: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
3. Pelaku juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) nonfisik. Pasal 1 angka 1 UU TPKS menyebutkan, “Tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Pasal 5 UU TPKS menjelaskan pelecehan seksual secara nonfisik adalah: "Pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Pelaku perbuatan seksual secara nonfisik tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta."
Karena melakukan tiga tindak pidana, pelaku dapat dikenakan hukuman secara akumulasi atau digabungkan. Hal ini bergantung pada bagaimana penyidik nantinya mengkonstruksikan kasus dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.
Pengakumulasian/penggabungan tindak pidana ini disebut dengan concursus realis dan diatur dalam Pasal 65 KUHP. Hal ini berlaku bagi orang yang melakukan beberapa tindak pidana dalam waktu yang berbeda.
Bunyi Pasal 65 KUHP adalah:
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Pasal 65 KUHP ini mengatur gabungan beberapa tindak pidana dalam beberapa perbuatan yang berdiri sendiri. Pasal ini tidak mengindikasikan apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sejenis atau perbuatan yang berbeda, hanya menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan diancam dengan pidana pokok yang sejenis.
Dengan penjelasan ini, semoga para pelaku segera dapat ditangkap oleh polisi agar kasus-kasus serupa yang memanfaatkan kerentanan dan kemiskinan korban tidak terjadi lagi.
Selanjutnya, kedua ibu yang melakukan perbuatan cabul kepada anaknya akan tetap diproses secara hukum karena perbuatannya tidak dapat dibenarkan. Adapun undang-undang yang dapat dikenakan kepada kedua ibu tersebut adalah:
1. Pasal 294 ayat 1 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaan dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
2. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) yang berbunyi, “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.”
3. Pasal 761 jo Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Pasal 761 UU Perlindungan Anak menyebutkan, “Setiap orang dilarang membiarkan, menempatkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut serta melakukan eksploitasi pada anak secara ekonomi dan/atau seksual.”
Sementara itu, Pasal 88 UU Perlindungan Anak menyebutkan, “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 761 akan diberi sanksi berupa pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).”
Namun, sebagai korban, kedua ibu ini berpeluang mendapat keringanan hukuman ataupun penyelesaian hukum melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Dalam penegakan hukum pidana, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang semula berfokus pada pemidanaan menjadi proses dialog dan mediasi. Dialog dan mediasi ini melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Tujuannya untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi korban ataupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali keadaan semula serta mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Dalam kasus ini, pihak yang dilibatkan dalam proses dialog dan mediasi adalah si ibu (sebagai pelaku sekaligus korban), ayah dari anak yang menjadi korban, dan pihak-pihak lain yang dianggap berkaitan dengan kasus ini.
Tujuan keadilan restoratif dalam konteks hukum pidana adalah memberdayakan korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki akibat dari suatu perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Dalam keadilan restoratif, terdapat konsep memandang keadilan tidak dari satu pihak, melainkan dari berbagai pihak, baik untuk kepentingan korban, pelaku, maupun masyarakat.
Dalam KUHP, restorative justice hanya dapat diterapkan dalam tindak pidana ringan dengan hukuman ancaman penjara paling lama 3 bulan dan denda Rp 2,5 juta. Namun mekanisme ini juga dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum.
Dasar hukum atas perkara yang berkaitan dengan perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH) adalah sebagai berikut:
1. Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita atau CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984.
2. Kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik atau ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005.
3. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
4. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
5. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
6. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
9. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
10. SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
Jika kasus ini diteruskan ke pengadilan, hakim wajib mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi dengan mengidentifikasi fakta persidangan sebagai berikut:
a. Ketidaksetaraan status sosial di antara para pihak yang berperkara.
b. Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan.
c. Diskriminasi.
d. Dampak psikis yang dialami korban.
e. Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban.
f. Relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya.
g. Riwayat kekerasan pelaku terhadap korban/saksi.
Berdasarkan landasan hukum di atas, kami menilai penyelesaian hukum terhadap kedua ibu bisa dilakukan melalui mekanisme keadilan restoratif. Aparat penegak hukum (penyidik, jaksa, dan hakim) patut mempertimbangkan adanya relasi kuasa yang mengakibatkan kedua ibu itu tidak berdaya. Pasalnya, pemberi perintah memanfaatkan kerentanan dan kemiskinan kedua ibu itu.
Demikian penjelasan kami, semoga informasi ini bermanfaat.
Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta