Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kalau Nyawa Dianggap Rumput

Ponias karma sidauruk, 34, pembunuh keluarga tony di jalan perniagaan 50 dijatuhi hukuman mati. bermotif perampokan. hasil rampokan digunakan untuk membayar utang. tertuduh gemar berjudi. (krim)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERBUATAN tertuduh itu sangat kejam. Keji dan biadab. Ia telah menganggap nyawa manusia hanya sebagai rumput alang-alang yang dapat dibabat begitu saja". Demikian Hakim Ketua, Kolonel CKH Suwarno SH. Perbuatan Ponias Karman Sidauruk (34 tahun), calon perwira, tertuduh tunggal dalam perkara pembunuhan kejam atas keluarga Tony di Jalan Perniagaan 50 pada tahun 1973, "telah mengakibatkan musnahnya satu keluarga beserta seorang pembantunya". Oleh karena itu, pada sidang Mahkamah Militer Jakarta-Banten 18 Nopember lalu tertuduh PKS telah dijatuhi hukuman pokok: Mati. Itu masih ditambah dengan hukuman lain, yakni dipecat sebagai anggota ABRI dan dicabut haknya untuk memasuki angkatan bersenjata. Sebelumnya Mahkamah menyatakan, "dalam kasus yang sedang dan telah kita periksa bersama, tak ada petunjuk adanya orang lain yang terlibat -- jadi jelas hanya tertuduh sendiri yang melakukan kejahatan tanpa bantuan orang lain". Penjelasan Hakim Ketua ini, agaknya perlu juga. Sebab kasus pembunuhan di Jalan Perniagaan. 50 ini dari semula memang agak ruwet. Beberapa "saksi", yang sebenarnya jauh dari urusan ini, sudah terpaksa menerima kepahitan berurusan dengan polisi. Juga anggota keluarga korban yang kena musibah, ikut-ikut masuk tahanan polisi. Termasuk ibu si korban. Kakak korban, Tomy, malah pernah masuk tahanan polisi hingga 3 tahun lebih -- kini telah bebas, karena tak cukup bukti untuk membawanya ke pengadilan. Tertuduh, setelah berunding sebentar dengan pembela, menyatakan menolak keputusan Mahkamah dan naik banding. Sedang Oditur menyatakan menerima vonis yang memang sesuai dengan tuntutannya. PKS kenal Tony sejak 1963 secara akrab: Menurut PKS, seperti yang dinyatakan di muka sidang, Tony pernah pinjam Rp 200 ribu. Itu dilakukan tanpa tanda terima. Tertuduh pada mulanya tidak keberatan, walaupun uang yang dipinjamnya itu adalah tabungan untuk pesta perkawinannya. Namun hingga ia menikah di Cimahi, Desember 1972, Tony belum juga melunasi hutangnya. Begitu hingga 6 Januari berikutnya, kata tertuduh, ia menerima telepon dari Tony agar berkunjung ke Jalan Perniagaan. Hari berikutnya, seturun dari tugas piket, PKS berangkat ke rumah Tony. Maksudnya mau menagih hutang. Dibawanya serta sebuah tas hitam yang berisi pistol. Katharina Di rumah Tony, sore itu, ia disambut sebagai kawan karib. Minuman dan potongan buah apel disuguhkan. Juga makan malam dihidangkan. Di luar rumah hujan turun. Pesawat TV sudah distel. Pembicaraan antara kawan karib ini ternyata meningkat jadi sengit, setelah menyinggung soal hutang piutang. Menurut tertuduh, Tony enggan membereskan hutangnya. PKS jadi naik pitam. Dikeluarkan pistol dari tas dan langsung dikokang. Maksudnya, begitu diakuinya, PKS hanya mau menggertak saja. Tapi jari PKS ternyata menggeser picu hingga pistol itu meledak. Tony jatuh dengan kepala tertembus pelor yang langsung menghantam tembok. Korban agaknya mati seketika. PKS tertegun. Keluarga Tony tentu saja panik. Tentara tersebut kini mengancam nyonya si korban pertama, Lena, agar ia mengurung anjingnya yang selalu menyalak. Setelah itu, di bawah ancaman pistol, Lena beserta anaknya Katharina (4 tahun), Ivan (2) dan pembantu rumahtangga Siti, digiring ke sebuah kamar. Di sana PKS menembaki kepala masing-masing korban. Lena meninggal seketika sambil memeluk anaknya, Ivan, yang juga mati. Siti terkapar di lantai. Tapi di mana Katharina? PKS hanya menyatakan, korban kecil itu tergeletak,dekat ibunya. Setelah peristiwa itu apa yang dikerjakan PKS? Badannya gemetar dan ia terduduk di kursi selama 30 menit. Lalu pergi dengan taksi gelap, pulang ke Tanjung Priok. Begitu pengakuan PKS. Namun ternyata pengadilan membuktikan lain. Pengakuan itu harus ditambahi pengakuan lain yang disodorkan bersama fakta. Pertama soal di mana gadis cilik Katharina mati. Polisi dan saksi mula-mula melihat korban Katharina yang tengah mengambang di bak mandi. Menurut pemeriksaan mayat lengkap, korban ternyata mati karena lemas akibat terbenam di air setelah mengalami luka tembak di pipi yang tembus ke punggung. Menurut rekonstruksi Mahkamah, korban yang luka tertembak itu masih sempat melarikan diri. Ini terbukti dari tetesan darah dari arah kamar ke kamar mandi. Nah di bak mandi inilah korban dihabisi oleh tertuduh. Juga soal pernyataan PKS, bahwa Tony telah menghutang uang kepadanya sebesar Rp 200 ribu, sangat diragukan Mahkamah. Yang pertama, tertuduh toh tidak dapat membuktikan bahwa ia punya piutang. Malah Mahkamah akhirnya yang dapat membuktikan, bahwa tertuduh, seorang penjudi, telah mencuri beberapa barang perhiasan milik korban. Ini dilakukannya setelah menembak mati seluruh penghuni rumah. Penyelidikan membuktikan almari dicongkel dan isinya berantakan. Dalam pemeriksaan pendahuluan, yang kemudian dibantahnya sendiri di muka Mahkamah, diakuinya bahwa ia memang mengambil barang-barang perhiasan (gelang, kalung, cincin) dan dua arloji. Timbul Niat Walaupun hal itu dipungkiri di muka persidangan, Mahkaman cukup mendapat keterangan dari para saksi akan hal itu: Saksi Suparto,misalnya, telah menerima sejumlah barang perhiasan dari PKS sebagai penebus sepeda motor kapten Wiyono yang digadaikan tertuduh kepadanya. Dari hasil penjualan barang itu, Rp 36 ribu, Suparto diberi Rp 30 ribu. Karena belum cukup, PKS memberikan sebuah arloji wanita kepada isteri Suparto. Jadi kira-kira begini: PKS telah mencuri barang milik korban yntuk pembayar hutang-hutangnya. "Hutangnya kepada Suparto maupun kepada orang lain yang hingga dalam persidangan inipun belum dibayar", kata Hakim Ketua. Dengan begitu Mahkamah berpendapat motif pembunuhan itu sudah cukup jelas. Seperti kata Hakim Ketua: "Perbuatan, kejahatan tertuduh dalam melakukan pembunuhan dan pencurian telah terbukti secara sah dan meyakinkan". Yaitu: "Timbul niat, lalu mengambil uang dari almari. Tapi hanya Rp 7.500. Lalu barang perhiasan dan arloji diambil untuk menebus sepeda motor milik kapten Wiyono yang telah digadaikan". Sedangkan bukti-bukti lain, seperti hasil pemeriksaan sidik jari di tempat kejahatan, tas hitam untuk membawa pistol serta sebuah jaket yang ditemukan di rumah korban -- yang diminta pembela agar diajukan oleh oditur -- dinyatakan tidak perlu diajukan ke persidangan oleh Mahkamah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus