TELAH seminggu lamanya Jedha Hemandas Punyabi (29 tahun)
menghilang dari kesibukan di dua toko tekstilnya di jalan
Malioboro Yogya: toko Soedara dan toko Warna Warni. Ke mana dia?
Ke Singapura, itu menurut keponakannya, S 23 tahun, yang
satu-satunya keluarga dekat anak sungai Gangga itu di Yogya.
Tentu saja mengagetkan mbakyu-nya yang ada di Bandung dan
kakaknya yang ada di Jakarta yang tidak merasa pernah dipamiti
oleh Jedha. Keyakinan bahwa si Jedha tidak ke luar negeri jadi
mantap setelah ditemukan di dalam lacinya surat Keterangan
Kewarga-Negaraan yang amat penting bagi seorang asing untuk
meninggalkan negeri ini. Akhirnya ketahuanlah bahwa si Jedha
bukan ke luar negeri, tapi kembali ke nirwana alias rneninggal
dunia. Rupanya si Jedha punya musuh dalam selimut. Yaitu sang
keponakan sendiri, S, dengan menggunakan pelayan tokonya
sendiri.
Ceritanya demikian. Di penghujung bulan Oktober kemarin,
menjelang tanggal 1 Nopember, sekitar jam 23.30 si Jedha pulang
nonton film. Sd, 20 tahun, yang memang teman tidur si korban di
toko Soedara itu membukakan pintu. Tapi di balik tumpukan kain
dagangannya bersembunyi US, 20 tahun, dan Smd, 25 tahun, yang
rupanya diselundupkan S setelah toko tutup malam itu. Rencana
ternyata berjalan lancar. Begitu Jedha masuk langsung ditusuk
dari belakang oleh U. Jedha berusaha memberi perlawanan tapi Smd
keburu mendaratkan sebilah besi di tengkuk korban. US rupanya
kurang puas, lalu ujung pisaunya menancap lagi pada bagian perut
si Jedha. Jedha tewas. Mayat putera nomor buncit dari lima orang
putera almarhum Hemandas itu terus dibungkus karung plastik dan
bercak-bercak darah di tempat kejadian langsung dipel.
Telepon Dari Singapura
Setelah rapi seluruhnya barulah si S yang menunggu di toko Warna
Warni dipanggil bahwa tugas telah selesai. S datang disertai
pelayannya YW, 18 tahun, dengan mobil Corona merah milik korban.
Mayat masuk mobil dan dibawa ke toko Warna Warni yang kurang
lebih setengah kilometer sebelah selatan toko Soedara. Malam itu
juga kubur digali di dalam sebuah kamar yang tak terpakai di
belakang toko Warna Warni tadi. Tapi hari sudah keburu pagi,
liang lahat belum juga selesai maka penanaman mayat ditangguhkan
sampai Senin malam. Mayat disimpan di loteng.
Seminggu sudah lamanya. Toko buka seperti biasanya. Tak ada
tanda-tanda berkabung. Kakak korban yang di Jakarta, Rochiram,
rupanya makin curiga dan datang ke Yogya. Begitu juga teman
dekatnya di Yogya, seperti si Juk yang pemilik toko Nirwana
Yogya nampaknya ikut curiga. Namun dengan cara apapun si S
ditanyai baik dengan bujuk rayu maupun secara kekerasan, ia
tetap menyatakan si Jedha ke Singapura. Lalu saya pura-pura
terima telepon dari Singapura, kata si Juk pada TEMPO .
Kelihatan paras si S jadi berobah pucat. Ini terjadi pada hari
Sabtu,6 Nopember yakni seminggu setelah kejadian.
Sangkaan pada S makin kuat. Sikapnya pun mulai berubah.
Keterangannya juga mulai berubah. Si Jedha bukan ke Singapura
katanya, tapi diculik oleh orang- orang bersenjata. Tapi mobil
almarhum ada. Mestinya, kata si Juk, kalau diculik mobil itu
dilarikan dan si Jedha dibuang. Saking bingungnya, lalu si
Rochiram sujud di kaki si S. Bagi orang India kalau sudah
disembah berarti yang disembah sudah dianggap se-bagai Tuhan. Si
S menangis seraya mengakui: Jedha sudah tidak ada. Kemudian ia
jatuh pingsan.
S diserahkan pada polisi, berikut komplotannya ditangkap. Hari
Minggu, 7 Nopember, mayat dibongkar dari tempat penguburannya
dan hari Seninnya diperabukan di Krematorium Pingit Yogya.
Rencana yang telah dianggap matang oleh S dan komplotannya itu
ternyata terbongkar juga. Alasan ia menyatakan si Jedha ke
Singapura memang ada dasarnya. Ia tahu bahwa tunangan Jedha yang
kelahiran Tegal dan tinggal di Ja karta sedang pulang ke tanah
leluhurnya, di India. Mereka bertunangan sejak dua bulan lalu
dan merencanakan nikah bulan Januari tahun depan. Menurut Jawar,
keluarga korban, pertengahan Nopember ini tunangan si korban itu
kembali ke Indonesia tapi mampir dulu di Singapura.
Untuk meyakinkan keluarga si korban bahwa Jedha benar-benar ke
Singapura menjemput tunangannya, menurut pengakuan S kemudian di
depan polisi, ia membiayai Yudhishter, seorang pelayan toko
Bombay Bazar Yogya ke Singapura. Tugas si Yudhishter hanya untuk
menelepon ke Yogya seolah-olah dia adalah Jedha. Kata S, ia
telah memberi uang pada Yudhishter sebesar Rp 1 juta untuk itu.
Tapi keterangan ini dibantah Yudhishter. Komandan Distrik
Kepolisian Balapan Yogya, Lettu Banidjo, menyatakan masih
ragu-ragu dengan ucapan si S itu. Mungkin, kata Banidjo hanya
sentimen saja. Sebab, selama dalam tahanan polisi kadang-kadang
seperti orang gila. Menurut si Juk memang S lemah syaraf dan
kalau kambuh bisa seperti orang gila. Tapi untuk pengusutan,
Yudhishter juga ditahan.
Apa motif pembunuhan itu? Balas dendam dan ingin menguasai
keuangan kata si Juk. Sebab, dalam bulan April lalu S pernah
mencuri barang dagangan di toko milik Jedha itu, hingga ia masuk
tahanan polisi 5 hari, setelah tuntutan atas dirinya dicabut
oleh Jedha. Kemudian, menurut Jawar si S ini berusaha
mengumpulkan uang sebesar Rp 30 juta untuk lari ke India. Untuk
itu paspornya ternyata sudah disiapkan. Untuk maksud inilah ia
nekad membiayai para pelaku pembunuhan dengan Rp 1,5 juta
(pelaku utama) dan pelaku lainnya ada yang Rp 250.000 dan Rp
150.000. Sebelum bayaran itu sempat terlunasi seluruhnya,
peristiwa itu telah terbongkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini