PEMBURU bandit itu akhirnya harus masuk penjara. Majelis hakim
pimpinan Letnan Kolonel Emli Suhaeli, Senin dua pekan lalu,
memvonis Letnan Dua (Polisi) Samin Effendy 20 tahun penjara.
Komandan Tekab (Tim Khusus Anti-Bandit) Medan itu juga dipecat
sebagai anggota polisi. Ia, menurut Majelis, terbukti bersalah
melakukan pembunuhan berencana terhadap Abdul Majid, dosen di
Yayasan Pendidikan Keluarga (YPK), Medan. Rekannya, Sersan
Kepala Fatman, kena empat tahun karena ikut berperan dalam
pembunuhan itu.
Ini sebuah akhir yang tragis. Bekas komandan Tekab yang tak
pernah jeri menghadapi bandit itu telah "dikalahkan" istrinya.
Saidah, sang istri yang sering ditinggal bertugas malam hari,
diam-diam menjalin cinta dengan Saleh Arif, 23, anak Abdul
Majid. Kencan tak begitu sukar karena mereka bertetangga, di
Jalan Katya Bakti, Medan. Ibu lima anak yang gemar bersolek itu
kecantol Saleh di lapangan voli. Di klub asuhan Samin itu, Saleh
memang bintangnya.
Hubungan cinta mereka terendus Samin, 45, ketika ia menemukan
setumpuk surat di bawah karpet merah kamar tidurnya. Dalam
sepucuk suratnya, Saleh, yang menamakan diri "Papa", meminta
"Mama" menggugurkan kandungan yang mereka bikin. Samin, menurut
oditur Letnan Kolonel (CKh) M. Thaher, kontan naik pitam. Ia
menonjok bininya yang mollig itu dan mencari Saleh. Yang ditemui
hanya Abdul Majid karena Saleh telah diungsikan ke Bireun, Aceh.
Tapi Majid, tentu saja, tak mau memberi tahu di mana anaknya
berada. "Cari sendiri. Dia bertanggung jawab terhadap dirinya.
Tekab taik, kau," begitu konon Majid berkata.
Mendapat jawaban begitu, polisi yang sudah 20 tahun berdinas itu
pun kalap. Dengan mobil, Majid dilarikan ke arah perkebunan
Liberia, di Deli Serdang. Di sana Samin menghajar korban dengan
dongkrak. Fatman tak bisa berbuat apa-apa, melihat komandannya
dirasuki setan. Karena takut, ia menurut disuruh mengikat tangan
korban dan menurunkannya ke pinggir jalan. Lalu, dua kali Samin
melindas tubuh yang sudah tak berdaya itu, sampai tulang iga
korbannya patah. Terakhir, Samin merampas pistol dari genggaman
Fatman, lalu menembak kening dan langit-langit mulut korban.
Nyawa Majid pun melayang. Itu terjadi, sekitar pukul 21.00, 26
September 1981.
Hampir setahun kemudian, barulah perkara pembunuhan itu
terungkap. Yaitu setelah perkaranya diambil alih Kodak II
Sumatera Utara. Sebelum itu, setiap penyidikan selalu kandas.
Sudah tentu, segab kuncinya ada di laci meja Samin sendiri.
"Bapak sebenarnya orang yang jujur, tak serakah, dan selalu
membela anak buah," tutur seorang bekas anak buah Samin. Selama
tiga tahun menjadi komandan Tekab, Samin juga telah banyak
berbuat. Pada 1980 dia menangkap cukon judi yang cukup beken di
Medan, Tan Tek Gan, yang dikabarkan punya banyak deking. Tahun
berikutnya, ia berjasa meredakan kasus perampokan ramai-ramai,
yang sering menteror penduduk di daerah pinggiran. Ia berhasil
menangkap dan mengirimkan ke penjara tak kurang dari 100
perampok yang senang memakai topeng dan bersenjata kelewang.
"Selama Pak Samin memimpin Tekab, kejahatan di Medan turun
sampai 40%," kata sebuah sumber di kepolisian.
Anak buah senang terhadap Samin karena bila mendapat rezeki ia
tak pernah memakannya sendiri. "Kami tak bisa melupakan jasa Pak
Samin," kata seorang bekas anak buahnya. Ia dan beberapa kawan
lain pernah ditolong ketika hendak mendirikan rumah. Caranya:
Samin menelepon pengusaha bahan bangunan kenalannya, sehingga
batu bata yang harga resminya Rp 12 sebiji, bisa dibeli dengan
harga Rp 8.
Mereka khawatir bila Samin dimasukkan ke Lembaga Pemasyrakatan
Tanjung Gusta, Medan, akan diapa-apakan oleh bandit-bandit yang
menaruh dendam. Ada kabar, mereka mengharap kedatangan bekas
komandan Tekab itu untuk bisa membuat perhitungan.
"Kalau betul mereka mau berbuat yang tidak-tidak, lihat saja,
kami tak akan tinggal diam," kata seorang bekas anak buah Samin
yang lain dengan geram.
Saidah pun menilai Samin sebagai suami vang baik. "Belum pernaL
ia membikin sava sakit hati,"katanya. Setelah tahu ada
penyelewengan pun, Samin tetap tak mau menceraikannya.
"Mestinya, sayalah yang ditembak," katanya lagi. Samin sendiri
kini sudah pasrah. "Hidup saya mungkin akan berakhir di
penjara," katanya. Di balik terali besi, ia kini tekun belajar
agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini