Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN orang berkumpul di titik 21 tanggul penahan luapan lumpur di Desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin pagi pekan lalu. Berbekal cangkul dan gancu, mereka tak sedang bersiap menjadi pemandu wisata seperti hari-hari biasa. Penduduk yang kampungnya terkubur lumpur panas itu marah karena sisa ganti rugi yang dijanjikan lunas bulan ini belum mereka terima.
Tanpa alat pengeras suara, lelaki dan perempuan bergiliran orasi menuntut janji PT Minarak Lapindo Jaya. Perusahaan ini merupakan juru bayar Lapindo Brantas Inc, kelompok usaha milik keluarga Bakrie. Sehabis orasi, pengunjuk rasa serempak mengangkat cangkul dan gancu. Lalu sekuatnya mereka menggali dan melemparkan tanah tanggul. "Biar kami jebol tanggulnya, supaya lumpur membanjiri rel kereta api dan jalan raya," kata seorang perempuan 40-an tahun yang turut berunjuk rasa.
Tentu saja mereka tak benar-benar bisa menjebol tanggul hanya bermodal cangkul dan gancu. Apalagi mereka dijaga anggota Kepolisian Sektor Porong, yang terus berusaha membubarkan aksi. Sampai pukul 11.00, kemarahan korban lumpur Lapindo itu hanya menyisakan lubang yang menganga. Ketika hari semakin panas, pengunjuk rasa pun membubarkan diri.
Bukan berarti aksi korban lumpur Lapindo berakhir sampai di situ. Penduduk desa yang masuk peta area terkena dampak langsung semburan lumpur itu masih mengobarkan ancaman. Sepanjang ganti rugi belum lunas, mereka tak akan mengizinkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo memperkuat tanggul yang retak di banyak tempat. Padahal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sudah mengingatkan, pada akhir Desember ini wilayah Sidoarjo bakal diguyur hujan. Artinya, karena debit air dan lumpur semakin besar, tanpa digali pun tanggul rawan jebol.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo sudah turun tangan meredakan kegusaran warga sekaligus meminta PT Minarak Lapindo memenuhi janjinya. Tapi usaha Gubernur belum jelas hasilnya. Buktinya, hingga Kamis pekan lalu, penduduk masih bergiliran mengawasi dan mencegah pergerakan alat berat ke sekitar tanggul. "Kami tak mau lagi diiming-imingi janji," kata koordinator korban lumpur Lapindo, Pitanto.
Urusan ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo telah menjadi masalah menahun. Kesepakatan politis pemerintah dan DPR pada Maret 2007 tak menyelesaikan masalah. Waktu itu pemerintah dan DPR sepakat bahwa ganti rugi untuk korban lumpur ditanggung renteng oleh negara dan PT Lapindo Brantas Inc. Pihak swasta menanggung ganti rugi di wilayah yang masuk peta area terkena dampak langsung. Adapun negara menanggung ganti rugi di wilayah luar peta itu.
Yang macet justru ganti rugi tanggungan Lapindo. Hingga tahun ini PT Minarak Lapindo Jaya masih menunggak Rp 876 miliar kepada ribuan keluarga di lima desa yang terendam lumpur.
Bukan hanya macetnya ganti rugi yang dipersoalkan. Dana sekitar Rp 4 triliun yang dikucurkan negara melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo juga terus menuai hujatan. Yang terbaru, tiga pembayar pajak menggugat undang-undang yang menjadi dasar pengucuran uang negara itu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah pensiunan marinir Letnan Jenderal (Purnawirawan) Suharto, pensiunan dosen Tjuk Kasturi Sukiadi, dan peneliti lepas Ali Azhar Akbar.
Ketiga orang ini mengajukan berkas uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Mei 2012. Mereka menggugat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012, dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Kedua pasal ini menjadi dasar pengucuran uang negara Rp 1,5 triliun pada tahun anggaran 2012.
Penggugat meminta Mahkamah Konstitusi menguji kedua pasal itu dengan Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Ayat dalam konstitusi ini intinya menegaskan bahwa APBN harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Suharto dan kawan-kawan, semburan lumpur panas Lapindo yang belum reda sejak 29 Mei 2006 itu bukan bencana alam seperti dinyatakan pemerintah dan DPR. Mereka merujuk pada kesimpulan pertemuan ilmiah ahli geologi dunia di Cape Town, Afrika Selatan, pada 2008. Waktu itu, dari 50-an ahli yang hadir, 42 sepakat semburan lumpur Lapindo terjadi karena kesalahan pengeboran. Hanya tiga ahli geologi asal Indonesia yang menyebutkan peristiwa itu sebagai bencana alam akibat pembentukan gunung api lumpur (mud volcano).
Sebagai pembayar pajak, mereka merasa dirugikan karena pajak mereka tak digunakan untuk "sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", tapi untuk melunasi ganti rugi yang seharusnya menjadi tanggung jawab PT Lapindo. Dalam hal ini, mereka berpegang pada prinsip dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup: siapa yang mencemarkan, dia yang harus membayar. Karena itu, Suharto dan kawan-kawan meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan kedua pasal yang mereka uji.
Setelah mendengar keterangan ahli, jawaban pemerintah, dan tanggapan tertulis DPR, Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonan Suharto dan kawan-kawan. "Permohonan para pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., saat membacakan putusan itu pada 12 Desember lalu.
Dalam pertimbangan putusannya, hakim konstitusi menjelaskan bahwa alokasi dana APBN tak meniadakan kewajiban dan tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc. Yang terjadi adalah pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan perusahaan. Terlepas dari penyebab semburan lumpur Lapindo--apakah karena bencana alam atau kesalahan pengeboran--menurut Mahkamah, PT Lapindo dan negara sama-sama bertanggung jawab untuk memulihkan hak warga Porong yang jadi korban.
Majelis hakim konstitusi pun menegaskan, pengucuran dana APBN merupakan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan masalah rakyatnya yang tak bisa diselesaikan pihak swasta. "Jika pemerintah tak turun tangan, korban di luar peta area terkena dampak akan semakin sengsara," kata Mahfud seusai sidang.
Pemohon judicial review tentu saja kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu. "Pak Mahfud ternyata tak seberani yang kami kira," kata Tjuk Kasturi Sukiadi. Sebaliknya, pihak Lapindo menyambutnya dengan sukacita. "Itu memang sudah seharusnya," kata Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan turut mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi ini. Menurut dia, jika target akhirnya adalah menentukan siapa yang harus menanggung ganti rugi, penggugat semestinya membawa kasus ini ke pengadilan umum. Pengadilan umum yang berwenang menetapkan apa penyebab semburan lumpur serta siapa yang harus menanggung ganti rugi. Jika dibawa ke Mahkamah Konstitusi, kata Bagir, "Terlalu jauh dari akar persoalannya."
Saran Bagir sebenarnya tak baru-baru amat. Korban semburan lumpur pernah memakai jalur pidana dengan melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Tapi, pada Agustus 2008, polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atas laporan itu. Lalu, di Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga menggugat pemerintah dan PT Lapindo Brantas secara perdata. Tapi gugatan mereka pun ditolak sejak pengadilan pertama hingga Mahkamah Agung. Alhasil, "Gara-gara kesalahan mengebor tanah, semua pembayar pajak kena getahnya," kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Uchok Sky Khadafi.
Jajang Jamaludin, Fransisco R., Sundari, Bernadette C., Shinta M. (Yogyakarta), Sony W. Wibawa (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo