Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tiga belas bulan menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan kapal cepat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menemukan bukti kejahatan atas kongkalikong proyek tersebut. Surat perintah penyidikan dengan tiga tersangka diteken pada 24 April lalu. “Diduga telah terjadi pelanggaran hukum dari proses pengadaan hingga pelaksanaan pekerjaan,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Selasa, 21 Mei lalu.
Dua tersangka adalah pegawai Bea dan Cukai, yakni pejabat pembuat komitmen Istadi Prahastanto dan ketua panitia lelang Heru Sumarwanto. Satu lagi tersangka dari pihak swasta, yakni Direktur Utama PT Daya Radar Utama Amir Gunawan. Komisi antikorupsi baru mengumumkan penetapan tersangka ini sebulan kemudian.
Pengadaan kapal patroli cepat merupakan program Direktorat Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang disusun sejak 2012. Awalnya kendaraan untuk menjaga wilayah perbatasan serta buat mengantisipasi penyelundupan dan perdagangan ilegal ini direncanakan berupa helikopter. Menjelang akhir 2012, Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengajukan perencanaan anggaran tahun jamak menjadi pengadaan 16 kapal patroli cepat.
Atas pengajuan itu, akhirnya dialokasikan anggaran pengadaan 16 kapal untuk tahun jamak 2013-2015 senilai Rp 1,12 triliun. Setelah proses penganggaran rampung, panitia menggelar lelang. Pejabat pembuat komitmen pengadaan kapal cepat, Istadi Prahastanto, menggunakan metode pelelangan terbatas untuk kapal patroli cepat 28 meter (dua paket) dan kapal patroli cepat 60 meter. Sedangkan pengerjaan kapal patroli cepat 38 meter dilakukan melalui pele-langan umum. “Pada proses pelelangan terbatas, Istadi diduga telah menentukan perusahaan yang dipanggil,” ujar Saut.
Karena sudah ditentukan sebelumnya, PT Daya Radar Utama keluar sebagai pemenang. Galangan kapal yang berkantor di Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu menang lelang terbatas untuk pengadaan lima unit kapal patroli cepat 28 meter. Nilai kontrak per kapal Rp 52,1 miliar, atau total sebesar Rp 260,5 miliar.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri) dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati di gedung KPK, Jakarta, 21 Mei 2019. /TEMPO/Imam Sukamto
PT Daya Radar Utama ternyata juga menang lelang umum untuk pengadaan empat unit kapal patroli cepat 38 meter de-ngan nilai total Rp 321,1 miliar. Sedangkan paket kapal cepat 60 meter dimenangkan PT Dumas Tanjung Perak Shipyard dengan nilai kontrak Rp 280 miliar dan pengadaan kapal cepat 28 meter (paket 1) digarap PT Multi Prima dengan nilai kontrak Rp 275 miliar. Tak hanya mengatur perusahaan pemenang pe-ngerjaan kapal, Istadi diduga juga cawe-cawe dalam pengadaan jasa konsultasi peng-awas. “Istadi diduga mengarahkan panitia lelang untuk tidak memilih perusahaan tertentu,” ucap Saut.
Seusai pengumuman lelang, Istadi sebagai pejabat pembuat komitmen menandatangani kontrak untuk konsultan perencana, konsultan pengawas, dan pengadaan kapal patroli cepat dengan nilai Rp 1,12 triliun.
Surat perjanjian pengadaan diteken pa--da 3 Desember 2013. Pengerjaan kapal-kapal itu harus rampung dalam kurun 712 hari atau pada 14 November 2015. Dalam proses pengerjaan, Istadi dan tim teknis diajak PT Daya Radar Utama berkunjung ke Jerman dan Singapura untuk tes penerimaan pabrik. Bahkan Istadi dan kawan-kawan disebut menerima 7.000 euro atau setara de--ngan Rp 112 juta sebagai agen penjual mesin yang dipakai oleh 16 kapal patroli cepat.
Dalam proses pengerjaan kapal ini, menurut salah seorang pejabat Kementerian Keuangan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai saat itu, Agung Kuswandono, memberikan disposisi kepada Kepala Kantor Wila-yah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kepulauan Riau kala itu, Hari Budi Wicaksono, untuk melakukan inspeksi ke PT Daya Radar Utama.
Tim Hari mengawasi proses pengerjaan kapal oleh PT Daya Radar Utama. Bahkan, kata pejabat tersebut, Hari juga mengubah desain kapal. “Tidak mempertimbangkan ballast (penyeimbang)-nya,” ujarnya. Pelat baja yang digunakan untuk pembuatan kapal juga di bawah spesifikasi yang telah ditentukan. “Jadinya kapalnya miring. Agar bisa dipakai, di bagian belakang harus dikasih pemberat,” ucap sumber tersebut.
Saat dimintai konfirmasi, Hari Budi Wicaksono membenarkan telah menyampaikan surat kepada Direktur Penindakan dan Penyidikan Bea Cukai. Isinya, kata dia, hanya mengenai masukan atau usul soal kapal berdasarkan pengalaman saat tugas patroli. “Saya mendapat tugas pemasang-an (ceremony lunas kapal) lima unit kapal 28 meter,” ujar Hari, “karena saat itu saya bertugas di Kantor Wilayah Khusus Bea-Cukai Kepulauan Riau.”
Agung Kuswandono, kini deputi di Kementerian Koordinator Kemaritiman, belum bisa dimintai konfirmasi. Sepanjang pekan lalu, Tempo belum berhasil menemui Agung di kantornya. Adapun Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati mengaku tidak tahu soal disposisi dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kantor Wilayah Kepulauan Riau dalam pengadaan kapal itu. “Saya belum mendengar informasi tersebut,” kata Sumiyati saat dimintai konfirmasi pada Selasa, 21 Mei lalu.
Dengan berbagai kendala itulah PT Daya Radar Utama akhirnya gagal merampungkan pembangunan kapal sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan pada 14 November 2015. Bea dan Cukai memberi periode pengampunan 50 hari, yang jatuh pada 3 Januari 2016. Dalam kurun keterlambatan itu, PT Daya Radar Utama juga diharuskan membayar denda Rp 7,1 miliar untuk keterlambatan penyelesaian kapal cepat 38 meter dan Rp 2,4 miliar untuk kapal 28 meter. PT Daya Radar kemudian membayarnya pada 21 Desember 2015.
Kapal Patroli Beraroma Korupsi
Apabila tak kunjung ada serah-terima pada 3 Januari, Bea dan Cukai menyatakan akan memutus perjanjian. Karena kapal tak kunjung selesai pengerjaannya atau baru sekitar 95 persen, Bea dan Cukai memutus kontrak pada 4 Januari 2016.
Meski kontrak telah diputus, Bea dan Cukai tetap melakukan uji coba kapal-kapal itu. “Kapal tidak dapat mencapai kecepatan yang telah ditentukan,” ujar Saut Situmorang. Menurut dia, kapal juga tidak memenuhi sertifikasi dual class seperti yang dipersyaratkan kontrak.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga tetap menerima 16 kapal cepat itu dan menindaklanjuti dengan pembayaran. “Kerugian diduga mencapai Rp 117,7 miliar,” ucap Saut. Kapal-kapal yang diserahterimakan pada April-Agustus 2016 itu kemudian ditempatkan di Karimun, Kepulauan Riau, dan Pantaloan, Sulawesi Tenggara. “Seharusnya bisa disebut total lost karena kapal tidak bisa digunakan sebagaimana seharusnya,” kata seorang penegak hukum.
Seusai serah-terima itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan melakukan audit dan menemukan kekurangan pembayaran denda sebesar Rp 965,9 juta untuk kapal 38 meter dan Rp 663,9 juta untuk kapal 28 meter. Atas tagihan itu, PT Daya Radar Utama kemudian membayar pada 19 Januari 2017.
Bea dan Cukai kembali melakukan penghitungan kekurangan bayar denda dan menagih ulang pada 6 Februari 2017. Rinciannya: kekurangan denda keterlambatan kapal 38 meter senilai Rp 9,7 miliar dan kapal 28 meter sebesar Rp 3,5 miliar. Penagihan selisih kurang denda ini diterbitkan karena pekerjaan tak bisa dirampungkan 100 persen. Namun penagihan itu tak jadi dilakukan karena PT Daya Radar keberatan dan merujuk pada penghitungan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang dianggap benar.
Atas keterlibatan pemilihan PT Daya Radar Utama sejak awal dan soal penerimaan uang 7.000 euro, Istadi Prahastanto eng-gan berkomentar. Dia mengatakan sampai saat ini masih mempelajari masalah yang menjeratnya tersebut.
Istadi mengaku baru menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan beberapa hari sebelum pengumuman resmi pada 21 Mei 2019. Sebelumnya atau saat masih tahap penyelidikan, dia dimintai keterangan sebanyak tiga kali. “Dan tidak ada prasangka apa-apa. Saya menghargai proses yang berlangsung. Saya hanya bisa diam dan berzikir,” tutur Istadi.
Istadi juga prihatin terhadap adanya kasus suap di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai lantaran sedang gencar-gencarnya penertiban importir berisiko tinggi. “Namun ternyata salah satu pengadaan sarana-prasarana yang sangat kami perlukan ada masalah, yang ditemukan KPK,” kata Sumi-yati.
Direktur PT Daya Radar Utama Amir Gunawan masih bungkam atas kasus ini. Surat permohonan konfirmasi yang dititipkan kepada kuasa hukum Amir, Maqdir Ismail, tak direspons. “Akan kami sampaikan,” ujar Maqdir.
LINDA TRIANITA
Persekongkolan di Kementerian Kelautan
Kapal pengawas yang dilengkapi Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia./news.kkp.go.id
Sengkarut pengerjaan proyek kapal tak hanya terjadi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. PT Daya Radar Utama ternya-ta juga bermasalah ketika menggarap empat unit Sistem Kapal Inspeksi -Perikanan Indonesia (SKIPI) di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun anggaran 2012-2016. Kementerian Kelautan menyatakan PT Daya Radar Utama sebagai pemenang pada Oktober 2012.
Pada Januari 2013, pejabat pembuat komitmen Kementerian Keuangan, Aris Rustandi, dan PT Daya Radar Utama (DRU) menandatangani kontrak pemba-ngunan empat unit SKIPI tahap I dengan nilai sebesar US$ 58,3 juta atau setara dengan Rp 558,5 miliar. Dua tahun kemudian, Aris dan tim teknis dibiayai PT Daya Radar Utama melakukan kegiatan factory acceptance test di Jerman. “Untuk kegiat-an tersebut, PPK (pejabat pembuat komitmen) dan tim teknis diduga menerima fasilitas dari PT DRU sebesar Rp 300 juta,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang.
Pada April 2016, Aris melakukan serah-terima empat kapal SKIPI bernama ORCA 1 hingga ORCA 4 disertai berita acara yang menyatakan pembangunan kapal -SKIPI telah 100 persen. Kemudian Aris membayar seluruh termin kepada PT Daya -Radar Utama senilai US$ 58,3 juta atau Rp 744 miliar (nilai kurs dua tahun kemudian). “Padahal diduga biaya pembangunan empat unit kapal hanya Rp 446,2 miliar,” ujar Saut. Menurut dia, dalam proses pengadaan kapal ini telah terjadi persekongkolan tender dan ada dokumen yang tidak benar.
Sama seperti halnya kapal patroli cepat Bea dan Cukai, SKIPI juga tidak sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan dan dibutuhkan. Ketidaksesuaian itu antara lain kecepatannya tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 sentimeter, serta terjadi markup volume pelat baja dan aluminium. Dalam taksiran KPK, diduga kerugian negara sekitar Rp 61,5 miliar. Dalam kasus ini, Amir Gunawan selaku Direktur Utama PT Daya Radar Utama ditetapkan sebagai tersangka. KPK juga menjerat Aris sebagai tersangka.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Suherman, mengatakan kapal tersebut kini tetap beroperasi. “Dan berhasil menangkap kapal-kapal asing yang mencuri ikan,” katanya.
LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo