Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Berdebar Menunggu Tembusnya Batas 7

Yopie Hidayat, Kontributor Tempo

26 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,38 persen atau 24,81 poin ke level 6.425 pada penutupan perdagangan Senin (29/4) sore ini. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasar finansial Jakarta relatif tenang-tenang saja melihat bentrokan perusuh melawan polisi. Selasa dan Rabu, 21 dan 22 Mei lalu, kawasan di sekitar Petamburan, Tanah Abang, dan perempatan Sarinah di dekat kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum memang berubah menjadi ajang tawuran. Tapi baik pasar saham maupun pasar uang bergeming.

Harga saham dan nilai rupiah bergolak sebentar saja Rabu siang itu. Selanjutnya, kembali pergerakan pasar finansial di Jakarta lebih banyak mengikuti gejolak pasar global. Bagi investor, situasi sebetulnya memang lebih mencekam di sana karena perang dagang Amerika Serikat-Cina yang makin panas. Jika eskalasi konflik tak segera berhenti, imbas sengketa dua ekonomi terbesar di dunia ini tentu memukul Indonesia.

Pada akhir pekan itu, Jumat, 24 Mei, indeks harga saham gabungan sudah kembali ke wilayah di atas 6.000. Rupiah juga relatif stabil di bawah 14.500 per dolar Amerika Serikat. Energi perusuh, setidaknya untuk sementara, sudah menyusut. Namun investor justru harus makin waspada mengantisipasi perkembangan yang sedang terjadi di Cina.

Salah satu senjata Cina untuk mengatasi perang dagang adalah dengan memanipulasi nilai mata uangnya. Jika bank sentral Cina sengaja membuat nilai renminbi merosot terhadap dolar Amerika, harga barang-barang asal Cina di Amerika akan menjadi lebih murah. Maka, meski pemerintah Amerika menerapkan bea masuk tambahan, harga barang asal Cina di tingkat konsumen tidak akan naik setinggi kenaikan tarif bea masuk itu.

Pasar menilai, agar devaluasi renminbi berpengaruh cukup signifikan mengompensasi kenaikan tarif, nilai renminbi terhadap dolar harus melampaui batas 7 per dolar Amerika. Maka kini para pedagang uang di pasar global sedang berdebar menunggu po qi. Artinya, menembus tujuh. Kamis, 23 Mei, renminbi sudah berada di titik terendahnya dalam enam bulan terakhir pada kurs 6,92 per dolar.

Pasar finansial terus menguji spekulasi ini. Sejak awal Mei, volume perdagangan renminbi meningkat. Namun bank sentral Cina terlihat masih menahan nilai renminbi terhadap dolar tetap di bawah angka patokan 7. Pada 2016 ataupun 2018, ketika ada tekanan pasar yang cukup kuat, bank sentral Cina juga teguh menahan renminbi. Maka, sampai tulisan ini naik cetak, pasar masih berdebar menanti tembusnya batas 7 yang belum juga terjadi.

Kurs

Tentu bank sentral Cina juga harus menimbang-nimbang banyak soal lain, tak bisa asal menurunkan nilai renminbi demi mencapai kemenangan dalam perang dagang. Salah satunya, keyakinan pada renminbi tentu tak boleh goyah. Jika nilainya turun tajam, tentu kepercayaan pada renminbi bisa luruh dan dapat memicu pelarian modal keluar dari Cina. Pemerintah Cina tak bisa meremehkan efek buruk devaluasi ini. Sudah sejak 2016 terbit berbagai aturan yang memperketat kendali aliran dana agar tak terjadi pelarian modal keluar.

Sementara itu, di seberang Pasifik, pemerintah Amerika Serikat juga tak tinggal diam. Kamis, 23 Mei lalu, Kementerian Perdagangan Amerika sudah melempar sinyal tegas. Amerika akan menghukum negara-negara yang memanipulasi nilai mata uangnya dengan menerapkan tarif bea masuk ekstra. Celakanya, pukulan balasan ini tak hanya akan menohok Cina. Sudah lama Negeri Abang Sam menuding banyak negara sebagai manipulator nilai mata uang, seperti Jepang, Korea Selatan, Vietnam, juga Indonesia. Jika aturan itu benar berlaku, ekspor Indonesia ke Amerika pun bakal terkena bea masuk tambahan yang merugikan.

Begitulah, bukan hanya perang dagang, konflik mulai meluas menjadi perang mata uang. Jika po qi terjadi, rupiah akan ikut melemah. Pasar finansial selalu menghubungkan nilai rupiah dengan renminbi. Jika kemudian Amerika membalas dengan menerapkan tarif tambahan, makin runyamlah keadaan. Perang dagang dan perang mata uang yang berkecamuk bersamaan ibarat perang dunia yang menyeret banyak negara. Ini sungguh mengkhawatirkan.

 

Peringkat Kredit Indonesia

​Standard & Poor's

Rating ​BBB-      Outlook​ Stable

Fitch Ratings

​Rating BBB     Outlook Stable

Moody's Investor Service ​

Rating Baa2     Outlook ​Stable

Japan Credit Rating Agency

Rating ​BBB     Outlook ​​Stable

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus