Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pinokio dari Jepun

Teater Konyakuza dari Jepang mementaskan Opera Pinokio di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Menyegarkan, dua jam anak-anak anteng menonton.

21 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak-anak tertawa ketika Pinokio bersin-bersin. Anak-anak bersorak ketika Pinokio diborgol, diikat kakinya, karena dianggap mencuri tomat.

Itulah Teater Konyakuza. Sebuah kelompok teater anak-anak yang dimainkan orang dewasa. Grup ini terkenal dengan kemampuan menyanyi para pemainnya. Malam itu seorang menjadi Pinokio. Tiga lainnya bergantian menjadi Gepetto, rubah, peri, kucing.…

Set panggung sederhana. Di pentas tercogok sebuah piano, akordeon, dan lima karung. Kyoko Hagi, pianis itu, menghadap partitur, mengeluarkan nada-nada riang. Ia yang menjaga irama adegan. Ia yang menghidupkan suasana. ”Komposisi saya sama sekali bukan dari Walt Disney,” kata wanita paruh baya itu.

Garis besar cerita persis Pinokio Italia karya Carlo Collodi. ”Hei, kayu ini bisa bicara,” mula-mula Gepetto, pembuat boneka, terheran-heran. Lalu muncullah si Pinokio (dimainkan Takao Mura) bertopi kerpus hijau dari dalam karung sembari minum susu dan makan roti.

Ho-ho! Inilah boneka nakal yang ingin jadi manusia. Ia tak mau belajar, malah ikut mengembara bersama rombongan pertunjukan boneka. Ia mendapat upah lima koin emas. Lalu muncullah rubah dan kucing. Mereka menipu Pinokio, mengibul bila Pinokio menanam koin di tanah akan tumbuh pohon berbuah emas. Pinokio percaya. Ia menguburkan, lalu uangnya dicuri para binatang.

Cara menampilkan adegan-adegan ini cerdas dan komunikatif—dengan dialog bahasa Indonesia terselip di sana-sini. Dari dalam karung itu para aktor mengambil aneka properti sederhana: janggut palsu, payung-payungan, ayam-ayaman, motor-motoran, ekor-ekoran, tanduk-tandukan, dan lalu sigap berganti peran. Semua pergantian cepat tanpa mengganggu pertunjukan. Kadang mengejutkan. Misalnya saat menampilkan bos pertunjukan yang berjuluk si pemakan api. Sebuah kain merah dikibas-kibaskan—mengimajikan api yang menyembur dari mulut.

Kelompok ini piawai mengolah imaji fabel. Ingat pertunjukannya di Jakarta pada 2003: Gauche the Cellist karya Miyazawa Kenji (1896-1933), kisah tentang Gauche yang belajar musik pada kucing, burung tekukur, anak musang maupun tikus. Lihatlah malam itu. Saat si rubah dan kucing bersijingkat, menyamar menjadi hantu lalu mengikat, menggantung Pinokio di pohon. Pinokio kemudian menangis sendiri. Ia teringat Gepetto.

Lalu peri menyelamatkannya. Pinokio bebas, tapi ia tak kapok. Memang inilah inti cerita. Pinokio yang tersesat terus. Pinokio lalu menuju negeri mainan, tempat setiap anak bisa berpuas hati meskipun kemudian menjadi keledai. Aktor Takao Imura meniup-niup gelembung sabun. Dan hap, Pinokio berubah menjadi seekor keledai. Di panggung, adegan itu cukup diperagakan dengan mengikat dan menarik Pinokio ke sana-kemari.

Yang paling menarik adalah saat Pinokio dibuang ke laut. Para pemain tiba-tiba membentangkan kain besar berwarna merah dengan pelipit hitam. Sembari berteriak, ”Ikan paus,” Pinokio yang berada di tengah kain seolah-olah berada dalam perut ikan besar itu. Bravo! Di situ ia ketemu Gepetto, ayah tirinya yang rupanya juga tertelan. ”Bapak, Bapak…,” ia berteriak meloncat dalam gendongan.

Dari awal sampai akhir lagu-lagu enak di kuping, tak membosankan meski kita tak mengerti artinya. Stamina suara para aktor luar biasa. Sama sekali tak ngos-ngosan, mengendur, atau fals. Bahkan ketika menampilkan kor dengan suara satu dua tiga menjelang menit-menit akhir, tetap apik. ”Kami giat berlatih senam konnyaku,” kata Kyoko Hagi setelah pementasan. Ini, menurut dia, latihan dasar melepas energi yang tidak perlu dan menjaga artikulasi agar selalu fresh.

Pertunjukan berlangsung dua jam. Anak-anak terlihat tak mengantuk. Tapi yang dinanti-nanti tak kunjung muncul: hidung Pinokio yang memanjang. ”Mana, Ma, hidungnya? Mana, Ma…?” di bangku seorang anak bertanya kepada ibunya. Agaknya kebohongan bukan yang utama dalam pentas olahan sutradara Tae Ito ini.

Dalam kisah aslinya, Pinokio akhirnya berubah menjadi manusia. Namun, dalam versi Teater Konyakuza, Pinokio memilih tetap menjadi boneka. Dari pengalamannya mengembara, ia sadar bahwa manusia penuh kelicikan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus