Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Karena Baju Jaksa Tak Murah

Kasus pemerasan Kepala Kejaksaan Negeri Takalar menambah panjang daftar jaksa bermasalah. Banyak modus yang dilakukan jaksa untuk memeras.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAS laporan itu diterima Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy awal pekan lalu. Diserahkan tim jaksa pengawasan yang dipimpin Inspektur Muda Intelijen dan Pidana Khusus Tahiya, laporan memuat hasil penyelidikan dugaan pemerasan yang dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Takalar, Sulawesi Selatan, Rakhmat Harianto. "Baru pelanggaran etikanya yang terbukti, pidananya masih perlu didalami," kata Marwan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Dari enam saksi, menurut Marwan, tidak ada satu pun keterangan yang menguatkan tuduhan itu. Rekaman suara saat Rakhmat berupaya meminta uang kepada korban, Rommy Hartono Theos, dianggap baru sebatas petunjuk. Namun, walau tindak pidananya belum terbukti, Rakhmat sudah diganjar sanksi. Pada 23 Desember lalu, ia dicopot dari jabatannya karena dianggap melanggar etika korps adhyaksa.

Kasus "pemerasan Kejaksaan Takalar" ini bergulir setelah Rommy meminta perlindungan hukum kepada Jaksa Agung Basrief Arief pada 20 Desember lalu. Pengusaha Makassar itu mengaku diperas Rakhmat saat menjadi saksi kasus pengadaan fiktif dua kapal penyeberangan di Kabupaten Takalar senilai Rp 1,4 miliar. Selain menguraikan kronologi kejadian, dalam permohonannya, Rommy melampirkan transkrip rekaman upaya pemerasan itu.

Diusut Kejaksaan Negeri Takalar sejak September lalu, kasus korupsi itu merupakan tindak lanjut temuan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap laporan keuangan Takalar 2010. Setelah memeriksa belasan saksi, sebulan kemudian, Kejaksaan menetapkan Sirajuddin Andi Ismail dan William sebagai tersangka. Keduanya rekanan proyek itu.

Dari mulut William, menurut Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Takalar Sandy Rozaldi, nama Rommy muncul. Kepada penyidik, William mengaku modal menggarap kapal Rp 160 juta ia pinjam dari Rommy. Akhir November lalu, Kejaksaan Negeri Takalar melayangkan surat panggilan kepada Rommy untuk menjadi saksi.

Dalam testimoninya kepada Kejaksaan Agung, Rommy tak menyangka dipanggil sebagai saksi karena ia tak tahu-menahu proyek itu. William, menurut Rommy, teman dekatnya sejak di sekolah dasar. Pada Desember 2009, ia meminjamkan Rp 160 juta kepada William untuk modal usaha. Belakangan ia baru tahu duit itu untuk membuat kapal.

Datang ke kantor Kejaksaan Negeri Takalar, Rommy disuruh menemui Rakhmat di ruangannya di lantai dua. Dalam pertemuan itu, Rakhmat memberi tahu bahwa Rommy bakal menjadi tersangka. Bekas jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah itu lalu menyatakan bersedia "mengamankan" Rommy. Syaratnya, ia meminta fee Rp 100 juta. Rommy menyatakan tak menggubris permintaan tersebut.

Awal Desember, ia diminta Rakhmat datang ke kantornya. Lagi-lagi Rakhmat meminta Rommy menyediakan Rp 100 juta jika tak ingin jadi tersangka. Rommy tetap menggelengkan kepala. Sepekan berselang, 13 Desember, melalui telepon, Rakhmat kembali meminta Rommy datang ke kantornya.

Rommy memenuhi panggilan itu. Ia datang bersama pengacaranya, Ayu Anggraini Chaidir. Namun Rakhmat menolak pengacara Rommy ikut pertemuan. Kali ini ia rupanya tak main-main menunjukkan Rommy bakal jadi tersangka. Rakhmat mengajak Kepala Seksi Pidana Khusus Tuwo menemui Rommy. Rommy sendiri diam-diam menyiapkan alat perekam berbentuk pena yang ia selipkan di saku bajunya.

Dalam transkrip rekaman pertemuan itu, yang salinannya diperoleh Tempo, Tuwo mengatakan ia dan sejumlah jaksa sepakat akan menjadikan Rommy sebagai tersangka. Rakhmat lalu menawarkan jalan tengah: Rommy hanya akan jadi saksi asalkan bisa memenuhi permintaannya. Rakhmat ternyata menaikkan tawarannya.

+ Karena banyak orang tahu, kau siapkan 500, bisa?

- Apaan tuh, Pak?

+ 500 supaya saya bisa tutup mulut mereka (jaksa lain), supaya mereka tidak ngoceh.

- 500 apaan tuh, Pak?

+ 500 juta.

- Saya ini korban, hanya bantu teman (William).

+ Ya sudah, berarti kamu masuk penjara.

Rommy sendiri, seperti tertulis dalam transkrip rekamannya, mencoba menawar.

+ Kalau 5 sampai 10 juta, saya ada, Pak.

- Untuk apa kau mau kasih cuma segitu, murah sekali baju saya.…

Pertemuan dua jam itu berakhir buntu. Menurut pengacara Rommy, Ayu Anggraini, karena Rakhmat terus mengancam kliennya, sang klien meminta perlindungan hukum kepada Kejaksaan Agung. "Siapa yang tahan terus ditekan dan diintimidasi?" kata Ayu. Menurut Ayu, Rommy kini di Jakarta. Dia menolak menyebutkan di mana kliennya kini tinggal.

Tak sampai dua hari menerima pengaduan Rommy, Jaksa Agung Basrief Arief meminta Marwan menelisik pemerasan itu. Empat jaksa pengawas dikirim ke Makassar. Di kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan-Barat, selama dua hari, mereka memeriksa Rakhmat, Tuwo, dan Sandy Rozaldi serta tiga jaksa penyidik. Sandy dan tiga jaksa lain pun disebut-sebut dalam rekaman. William dan Rommy juga dimintai keterangan.

Kepada tim yang memeriksanya, Rakhmat mengakui rekaman itu. Namun ia mengatakan ancaman terhadap Rommy hanya guyonan. Rakhmat mengaku ia justru yang kerap diteror Rommy supaya tidak dijadikan tersangka. Namun pleidoi Rakhmat itu tidak digubris. Sesaat setelah pemeriksaan, jabatan Rakhmat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Takalar dicopot. "Jaksa lain tidak terbukti terlibat," kata Marwan.

Setelah dijadikan jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan-Barat, jaksa yang baru bertugas tiga bulan di Takalar itu seperti menghilang. Beberapa kali Tempo mendatangi ruangannya, ia tak terlihat. Sejumlah jaksa mengaku tak banyak mengenal jaksa pendiam ini. "Dia baru bertugas di Sulawesi. Kami tidak tahu banyak soal dia," kata Asisten Pengawas Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan-Barat ­Chaerul Amir.

l l l

KASUS jaksa Rakhmat menambah panjang daftar jaksa bermasalah. Tahun lalu Jaksa Agung Muda Pengawasan mencatat ada 248 kasus jaksa nakal. Setengahnya diduga melakukan pemerasan, penyuapan, atau perbuatan tercela lainnya. Dari jumlah itu, hanya empat kasus yang masuk ranah pidana. Selebihnya berhenti di sanksi administratif.

Dua kasus yang dipidana antara lain jaksa yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Sistoyo, jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong, Jawa Barat, pada November lalu ditangkap ketika tengah menerima suap dari Edward, terdakwa pemalsuan surat pembangunan Pasar Festival Cisarua, Bogor. Edward memberikan fulus agar ia dituntut bebas. Adapun Dwi Seno Widjanarko, jaksa di Kejaksaan Negeri Tangerang, ditangkap pada Februari 2011 saat tengah memeras seorang saksi sebesar Rp 1,1 juta. Dwi berdalih duit itu untuk sumbangan anak yatim dan fakir miskin.

Menurut catatan Tempo, sepanjang 2011, tidak hanya kalangan berduit yang jadi korban pemerasan jaksa. Di Cirebon, misalnya. Agustus lalu, Sri Mulyati, istri terdakwa pencuri tas, Hasan, mengadu ke Kepala Kejaksaan Negeri Cirebon karena diperas dan ditipu jaksa NS. Jaksa itu berjanji akan membantu membebaskan suaminya jika Sri menyetor Rp 2 juta. Sri terpaksa mencari pinjaman. Namun, setelah duit disetor, suami Sri, tukang becak yang mencuri tas untuk anaknya sekolah, tetap dihukum empat bulan.

Menurut Marwan, masih adanya jaksa yang memeras atau bisa disuap karena belum meratanya remunerasi dan mental jaksa yang korup. "Yang paling kerap dilakukan adalah penyalahgunaan wewenang," kata dia. "Tapi sekarang sanksinya tegas."

Modus pemerasan atau penyuapan, menurut Marwan, tak jauh berbeda. Ada yang bermain di penghentian kasus, mengulur-ulur penahanan, "mengamankan" calon tersangka, meringankan tuntutan, sampai mengganti tahanan dengan orang lain. Imbalannya tak melulu uang, bisa benda tak bergerak, kenaikan pangkat, bahkan kenikmatan seksual.

Misalnya kasus Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lamongan, Jawa Timur, Hari Soetopo. Ia dicopot dari jabatannya setelah dilaporkan Martha, seorang narapidana wanita yang mengaku dihamili Hari. Saat kasus Martha baru bergulir, Hari berjanji membantu dia. Kepada tim pemeriksa, Hari mengaku ia memang pernah menggauli napi itu. Ia mengaku melakukannya sekali dan berdasarkan suka sama suka.

Menurut Ketua Komisi Kejaksaan Halius Husen, perlu dilakukan pengawasan ketat dari semua pemangku kepentingan untuk mencegah praktek pemerasan dan penyuapan jaksa. Sanksi yang diberikan juga harus menimbulkan efek jera. "Ini profesi yang rawan godaan," katanya.

Anton Aprianto, Irfan Abdul Gani (Makassar), Ichsan Amin (Takalar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus