Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Cinta Sebelum Angkara

Perselisihan pemeluk Syiah dan Sunni di Madura dikipasi perseteruan abang-adik. Dibayangi dendam lama gara-gara perempuan, polisi terkesan membiarkan aksi penyerangan.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH pria berkerumun di bawah pohon mangga sekitar 500 meter dari kompleks Pesantren Misbahul Huda di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang, Madura. Makin siang, jumlah lelaki yang berkerumun di pondok yang diasuh Tajul Muluk itu bertambah banyak. Mereka datang sambil menggenggam parang dan aneka perkakas tajam lain. Begitu matahari naik sepenggalah, massa serempak melangkah ke arah kompleks pesantren Syiah itu di tenggara.

Dari seorang tetangga pesantren penganut Sunni yang melihat orang berkumpul sejak pagi, Iklil Almilal mengetahui pesantren adiknya hendak diserang. Sebelum massa bergerak, dari rumahnya di Geding Laok, Desa Bluuran, Iklil memacu sepeda motornya menuju Misbahul Huda. Sama-sama terletak di Kecamatan Omben, Sampang, rumah Iklil sekitar satu kilometer di barat daya pesantren.

Pagi itu, Kamis, 29 Desember lalu, Iklil segera meliburkan madrasah di kompleks Misbahul. Semua santri yang ada di ruang kelas disuruh pulang ke rumah keluarga masing-masing. Anak dan istri Tajul Muluk ia ungsikan ke rumah tetangga. Tajul Muluk, sang adik, memang tak berada di rumah. Sudah hampir setahun ia diasingkan ke luar Madura. "Belum sempat kami mengemasi barang, massa sudah mengepung," kata Iklil, Rabu pekan lalu.

Itu hampir pukul 10.00. Menenteng parang, batu, kayu, dan botol berisi bensin, tanpa ampun massa meratakan kompleks pesantren. Dalam sekejap rumah Tajul hangus terbakar. Asap juga membubung dari ruang madrasah dan musala. Iklil selamat karena sempat meloloskan diri lewat pagar belakang.

Hampir satu jam kemudian, massa bergerak ke Geding Laok, ke rumah Iklil. Di sana, langgar dan rumah Iklil juga diratakan. Beruntung, anak dan istrinya selamat. "Dari dekat pesantren Tajul, saya lihat asapnya membubung," ujar Iklil. Belum padam api di kompleks Misbahul dan rumah Iklil, asap juga mengepul di arah tenggara. Berjarak tiga kilometer dari pesantren, di sanalah Ummu Hani, adik bungsu Iklil, tinggal. "Rumah dia juga dibakar," kata Iklil, geleng-geleng kepala.

Polisi bukannya tak tahu massa bakal menyerang. Empat hari sebelumnya, Iklil dipanggil Kepala Kepolisian Sektor Omben Ajun Komisaris Aris ke Markas Polsek Omben. Polisi lantas memberitahukan akan ada unjuk rasa besar-besaran menentang ajaran Syiah di Pesantren Misbahul Huda. Polisi, menurut Iklil, juga berpesan bahwa pengerahan massa itu bisa membahayakan jemaah Syiah. "Tapi saat kejadian tak ada polisi mencegah," ujar Iklil.

Ketika Misbahul dibakar, Iklil melihat ada dua polisi berdiri di antara kerumunan massa, tapi cuma mematung. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Hadiatmoko membantah membiarkan kerusuhan. "Anda lihat situasi di sini sudah terkendali," ujarnya. Polisi, kata Hadiatmoko, juga sudah menangkap salah seorang otak penyerangan bernama Muslika. Massa penyerang diduga berasal dari seputaran Omben dan Karang Penang. Sejumlah pemeluk Sunni di Nangkernang mengunci mulut ketika ditanya soal insiden tersebut.

Sehari setelah kerusuhan, Tajul Muluk muncul di Nangkernang. Pemimpin Syiah Sampang itu langsung menunjuk hidung adiknya sendiri, Roisul Hukama, sebagai otak di balik penyerangan. Penyebabnya: dendam lama. Muslika, yang kini mendekam di ruang tahanan, menurut Tajul, bukan siapa-siapa. "Tak ada warga Nangkernang bernama Muslika," katanya. Iklil, sang abang, juga melihat Roisul ada di tengah-tengah massa ketika mereka mulai berkelimun di depan pesantren. "Tapi, saat massa mulai menyerang, ia tak kelihatan," ujarnya.

Roisul membantah terlibat dalam penyerangan pesantren dan rumah saudara-saudaranya. "Saat warga menyerang, saya di rumah. Saya juga takut diamuk massa. Kalau saya pergi ke pesantren, nanti dikira membela Syiah," katanya. Sebagai saudara sedarah, Roisul mengaku menyayangi Tajul Muluk. Tapi ia menuding Tajul terlalu keras menyiarkan Syiah. "Saya tidak bisa mencegah warga menyerang," ujarnya.

l l l

ALKISAH, ada seorang kiai bernama Makmun di Nangkernang. Sang kiai getol mempelajari agama lewat Al-Quran dan kitab-kitab kuning. Suatu ketika, pada awal 1980-an, Kiai Makmun dikirimi sebuah surat kabar Iran oleh sahabatnya di sana. "Dari situlah Kiai Makmun mengenal imam besar Syiah Iran, Ayatullah Khomeini," kata Iklil. Kiai Makmun tak lain dari ayah Iklil, kini 41 tahun, Tajul (40), Roisul (39), dan Hani (37).

Mengagumi sosok Khomeini, Makmun lantas mengirim keempat anaknya ke Pesantren Yayasan Pesantren Islam di Bangil, Pasuruan, pada 1983. Pesantren ini memang dikenal beraliran Syiah. Pada 1991, anak-anak Makmun kembali ke Sampang. Dari keempat anaknya, hanya Tajul yang melanjutkan sekolah di Arab Saudi, pada 1993. Karena masalah biaya, sekolah Tajul berhenti di tengah jalan. Ia banting setir jadi pekerja serabutan dan menetap di sana hingga 1999.

Pulang ke Sampang, Tajul yang bernama asli Ali Murtadha ini tak lekas membuka pesantren. "Saya berdagang sembako dan berbagai kebutuhan petani," ujarnya. Mengetahui pernah berguru agama hingga di Saudi, sejumlah warga meminta Tajul mengajari anak mereka agama. Pada 2004, Tajul merintis Pesantren Misbahul Huda. Di sana, ia mengajarkan Islam ala Syiah yang dianutnya. Seiring dengan berkembangnya Misbahul, pengaruh Tajul pun meluas.

Pengaruh Tajul di masyarakat rupanya menimbulkan kecemburuan. Pada 2006, gesekan mulai terjadi. Sejumlah tokoh masyarakat Nangkernang, terutama kiai yang beraliran Ahlul Sunnah Wal Jamaah atau Sunni, mulai menuding Syiah sesat. Puncaknya pada April 2007, ketika acara Maulud Nabi yang hendak digelar di Misbahul Huda dihadang ribuan warga. Namun protes itu belakangan reda sendiri. Penduduk mulai melupakan soal Syiah. Di luar itu, pada 2007, Tajul dan Roisul dilantik sebagai pengurus Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia wilayah Sampang.

Pergesekan dua aliran ini dilupakan penduduk Nangkernang hingga 2009. Isu miring soal Syiah kembali meruyak setelah Roisul menyatakan diri keluar dari Syiah. "Lewat ceramahnya, Roisul gencar memprovokasi warga bahwa Syiah sesat. Padahal dulu seorang Syi'i," kata Tajul. Ketika itu, sejumlah ulama Sampang bahkan sampai meminta Tajul meneken perjanjian agar tak melakukan syiar.

Menurut Tajul, kemarahan Roisul kepada dirinya disebabkan persoalan sepele: perempuan. Pada 2009, Abadul Latif, santri di Pesantren Misbahul, meminta Tajul meminangkan seorang gadis bernama Halimah, yang belum lulus sekolah dasar. Gadis itu ternyata menyantri di pesantren yang diasuh Roisul, yang berjarak sekitar 500 meter di utara Misbahul. Tanpa bilang-bilang Roisul, Tajul meminangkan Halimah untuk Latif.

Setelah pertunangan terjadi, Roisul melabrak Tajul. "Ini sama saja merebut istri saya," kata Tajul menirukan ucapan Roisul kala itu. Belakangan diketahui, Roisul menyukai Halimah dan hendak memperistrinya. Membereskan persoalan ini, Roisul pun memanggil orang tua Halimah. Tapi Tajul melarang orang tua si gadis menemui Roisul. "Saya tahu dia kasar," ujar Tajul. Sejak itulah Roisul keluar dari Syiah dan kembali ke Sunni. Sejak itu pula dia gencar menjelek-jelekkan Syiah.

Dimintai konfirmasi soal ini, Roisul membantah persoalan Syiah di Nangkernang belakangan ini disebabkan masalah pribadi. Ia menuding insiden pembakaran properti Syiah pada pengujung Desember lalu disebabkan sepak terjang Tajul sendiri. "Ia terlalu keras berdakwah sehingga merusak budaya warga Sunni yang mayoritas," katanya. "Metode dakwah Tajul keliru."

Tajul membantah semua tuduhan Roisul. Tapi, soal mengubah tradisi, Tajul mengakuinya. Contohnya saat peringatan Maulud Nabi Muhammad yang sudah lama dianggap wajib oleh warga Nangkernang. Menurut Tajul, karena kewajiban itu, banyak penduduk Nangkernang harus menjual tanah dan barang berharga lain demi bisa menggelar Maulud Nabi secara sendiri-sendiri. Setelah Maulud selesai, yang tersisa hanyalah tumpukan utang. Karena itu, ia bersama penganut Syiah menggelar Maulud secara kolektif di pesantren. "Apakah keliru kalau saya mau meringankan beban warga?" ujarnya.

Anton Septian (Jakarta), Musthofa Bisri (Sampang)


Saling Simpang di Sampang

MENDIRIKAN Pesantren Misbahul Huda di kampungnya di Nangkernang, Sampang, Madura, Jawa Timur, pada 2004, Tajul Muluk memperoleh pengikut sekaligus musuh. Yang setuju mendekat, yang menentang menjauh. Kamis, 29 Desember lalu, Misbahul Huda dan sejumlah bangunan lain dibakar massa.

  1. Iklil Almilal, kakak Tajul, diberi tahu seorang tetangganya bahwa akan ada penyerangan ke kompleks Pesantren Misbahul Huda di Kampung Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang. Iklil meminta penghuni mengosongkan pesantren, termasuk rumah Tajul.
  2. Pukul 09.15, sekitar 500 orang bersenjata tajam bergerak ke kompleks Misbahul Huda.
  3. Selama hampir satu jam massa merusak dan membakar asrama santri. Musala, ruang kelas, dan warung juga dibakar. Menurut saksi, dua polisi yang berada di lokasi tak mencegah.
  4. Setelah kompleks pesantren dilalap api, massa bergerak lagi menuju rumah Iklil di Kampung Geding Laok, Desa Bluuran--sekitar satu kilometer dari pesantren. Pukul 11.00, massa mulai membakar rumah Iklil.
  5. Massa lantas bergerak lagi menuju rumah Ummu Hani di Kampung Solong Berek, Desa Karang Gayam. Sekitar pukul 12.00, mereka tiba di rumah saudari Tajul Muluk itu dan langsung membakarnya.

Jejak Konflik

2004
Tajul Muluk mendirikan Pesantren Misbahul Huda dan mulai punya pengaruh.

2006
Pengurus pesantren mulai diintimidasi kaum Sunni.

2007
Tajul dan Rosiul Hukama, adiknya, menjadi pengurus Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia Sampang. Pada 9 April, ribuan orang menghalangi penyelenggaraan Maulud Nabi di Misbahul Huda.

2009
Majelis Ulama Indonesia Sampang melerai perselisihan antara kelompok Sunni dan Syiah di daerah itu. Aliran Syiah tak dilarang asalkan tak disebarluaskan. Tajul dipaksa meneken kesepakatan, tapi menolak.

2010
Tajul Muluk diasingkan ke luar Madura.

2011

April
Badan Silaturahmi Ulama Madura mendesak penganut Syiah kembali ke ajaran Sunni.

19 September
Dua aktivis, Andreas Harsono dan Tirana Hassan, yang sedang melakukan riset soal kekerasan terhadap pemeluk Syiah, ditangkap Kepolisian Resor Sampang.

17 Desember
Rumah Muhammad Siri, penganut Syiah, di Karang Penang, Sampang, dibakar massa pada pagi-pagi buta. Menurut sejumlah warga, pembakaran rumah tersebut berkaitan dengan kepulangan Tajul dari pengasingannya.

29 Desember
Massa membakar kompleks Pesantren Misbahul Huda dan tiga rumah warga Syiah.

Naskah: Anton Septian, Musthofa Bisri Sumber: Wawancara, riset

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus