Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Karena Bukan Duit Negara

Badan Pemeriksa Keuangan tetap mendesak uang perkara di Mahkamah Agung dan pengadilan diaudit. Mahkamah Agung memilih untuk memakai auditor swasta.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Karena Bukan Duit Negara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA salinan surat keputusan soal biaya perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung itu sekilas seperti tak b-ermasalah. Isi surat itu seolah sesuai dengan aturan. Tapi, bagi Anwar Nasution, Ke-tua Badan Peme-riksa Keuangan (BPK), surat keputus-an yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Bagir M-anan itu menyalahi aturan. "Mahkamah Agung lembaga tertinggi di bidang hukum, tapi kok se-perti tidak mengerti Undang-Undang Dasar 1945," ujar Anwar kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Ketiga salinan yang dipegang Anwar adalah Surat Keputusan Ketua Mah-kamah Agung tentang biaya perkara perdata dan tata usaha negara di tingkat peninjauan kembali, Surat Keputus-an Ketua Mahkamah Agung tentang per-ubahan biaya perkara di tingkat ka-sasi, dan Surat Keputusan Mahkamah Agung tentang perubahan biaya per-kara perdata niaga di tingkat kasasi dan pe-ninjauan kembali.

Menurut Anwar, ketiga salinan s-urat keputusan itu hanya mengacu pada aturan internal Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Misalnya, Un-dang-Undang tentang Keten-tuanke-tentuan Kekuasaan Kehakiman, Un-dang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Peradilan Agama.

Surat-surat itu sama sekali tidak men-cantumkan aturan lain soal penarikan dana dari masyarakat oleh negara. Padahal, ada aturan yang mengatur setiap lembaga negara agar tidak se-enak-nya menarik dana dari masyarakat. Yang dimaksud Anwar adalah Pasal 23a Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini, menurut Anwar, menegaskan bahwa pajak dan pemungutan lain yang ber-sifat memaksa untuk keperluan Negara di-atur dengan undang-undang.

Di luar itu, kata Anwar, ada aturan lain yang semestinya diketahui Mahkamah Agung, yakni Pasal 23e U-n-dang-Undang Dasar 1945. Pasal ini menyebutkan, untuk memeriksa penge-lolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan peme-rik-sa-an keuangan yang bebas dan mandiri. "Jadi, BPK satu-satunya lembaga yang diberikan kebebasan dan kemandirian untuk memeriksa keuangan negara," ujarnya.

Karena itu, Anwar menyatakan, pihaknya tetap akan mengaudit Mah-kamah Agung dan pengadilan-peng-adil-an di bawahnya. "Lembaga itu sudah melakukan pungutan liar," ujarnya. Jika menolak, kata Anwar, para hakim agung bisa terancam hukuman penjara satu tahun enam bulan. "Sanksi pidana ini ada dalam Undang-Undang Keuang-an Negara," katanya.

l l l

KETEGANGAN antara BPK dan Mahkamah Agung mencuat dua pekan silam. Awalnya adalah lontaran kekecewaan Anwar yang menunjuk benteng peradilan ini tak sudi diaudit. Sebelumnya BPK melihat selama ini ada pu-ngutan-pungutan perkara MA yang masuk ke rekening Mahkamah Agung yang tak bisa diperiksa BPK. Padahal, sesuai dengan amanat undang-undang, BPK punya hak untuk memeriksa setiap duit masyarakat yang masuk ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung memang kukuh tak mau diaudit BPK. Menurut Ketua Muda Bidang Perdata Mahkamah Agung, Ha-rifin A. Tumpa, BPK hanya berwenang mengaudit uang negara. Adapun uang pungutan perkara perdata sifatnya individual. Pungutan itu sendiri, menurut Harifin, bertujuan untuk tidak membebani negara. "Lagi pula, pemilik yang beperkara sudah mengaudit sendiri," kata Harifin kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Audit yang dimaksud Arifin adalah para pemilik uang itu bisa melihat pertanggungjawaban pengguna-an dana-nya yang ada di lampiran ter-akhir berkas putusan.

Harifin mengakui pihaknya hanya memakai pengawasan internal untuk mengontrol dana yang dipungut dari pihak yang beperkara. Karena itu, Mahkamah Agung dalam waktu dekat akan mengundang satu auditor swasta untuk mengaudit keuangan lembaga ini. "Ya, kami terlena selama ini," ujarnya.

Persoalan pungutan liar di Mahkamah Agung itu sudah lama diamati BPK. Dalam pertemuan dengan Bagir Manan di Istana Negara, Anwar kerap menying-gung soal pungutan tersebut. Menurut Anwar, pihaknya bukan melarang Mahkamah menarik dana dari pihak yang beperkara, namun yang ia minta p-ayung hukumnya. "Harus setingkat de-ngan un-dang-undang," ujarnya.

Mahkamah Agung selama ini menetapkan pungutan biaya perkara yang berbeda untuk masing-masing tingkat-an. Harganya juga tak murah. Untuk tingkat kasasi, misalnya, dikenakan bia-ya perkara Rp 500 ribu dan untuk pe-ninjauan kembali Rp 2,5 juta. Jika dalam sebulan 100 perkara baru yang minta peninjauan kembali, maka minimal uang yang masuk ke MA per bulan Rp 250 juta.

Padahal, menurut data Mahkamah Agung, hingga Juni 2006 jumlah perkara kasasi mencapai 10 ribu dan peninjauan kembali sekitar 1. 300 perkara. Kendati biayanya mungkin tak sebesar seperti sekarang, lantaran perkaranya ada yang didaftarkan sejak bertahun-tahun silam, dengan jumlah perkara sebanyak itu bisa dibayangkan berapa besar duit yang masuk ke Mahkamah Agung.

Anwar sudah "mengadukan" masa-lah ini ke DPR. Awal September tahun lalu, misalnya, ia menyerahkan hasil pemeriksaan tim BPK terhadap Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya kepada para wakil rakyat. Di laporan itu ia sertakan pula temuan BPK tentang pungutan-pungutan yang dianggapnya melanggar undang-undang itu. "Hanya sampai sekarang saya belum melihat respons DPR," ujarnya. Anwar berharap DPR mengeluarkan aturan untuk masalah ini.

DPR tampaknya belum akan meng-atur soal ini. Dihubungi Tempo, Jumat -pekan lalu, Ketua Komisi Hukum DPR Tri-medya Panjaitan menyatakan pihak-nya belum berpikir untuk menge-luarkan kebijakan legislasi yang mengatur soal pungutan tersebut. "Nanti, dalam rapat kerja Komisi Hukum de-ngan Departemen Keuangan dan Mahkamah Agung kami akan mempertanyakan soal pu-ngutan-pungutan ini," ujarnya.

Maria Hasugian, Ramidi, Poernomo Gontha Ridho

Ada Perkara, Ada Biaya

Mahkamah Agung dan pengadilan negeri memiliki aturan resmi mengenai jumlah biaya perkara perdata. Dalam prakteknya, ongkos perkara bisa mengembung berkali-kali lipat.

  1. Pengadilan Negeri (Biaya ditentukan pengadilan setempat)

    Permohonan PerkaraRp 104 ribuMedanRp 300 ribuJakarta SelatanRp 400 ribuJakarta Pusat

    Fakta:Rp 800 ribuJakarta Pusat

    GugatanRp 234 ribuMedanRp 470 ribuJakarta SelatanRp 600 ribuJakarta Pusat

    Fakta:Rp 900 ribuJakarta SelatanRp 900 ribuJakarta Pusat

    Pemeriksaan SetempatRp 400 ribuMedanRp 1 jutaJakarta Selatan

    Fakta:Medan bisa 2X lipatJakarta Selatan bisa 2X lipat

  2. Banding(Biaya ditentukan pengadilan setempat)Biaya Resmi Rp 399,5 ribuMedanRp 750 ribuJakarta SelatanRp 800 ribuJakarta Pusat

    Fakta:>Rp 900 ribuJakarta Selatan>Rp 900 ribuJakarta Pusat

  3. Kasasi (Biaya ditentukan Mahkamah Agung)

    Biaya ResmiRp 500 ribuPerdata Umum, perdata agama, tata usaha negara

    Fakta:Rp 799 ribuMedanRp 950 ribuJakarta Selatan* *(Alasannya, untuk tambahan biaya ongkos pengiriman berkas, penyerahan salinan memori kasasi, pemberitahuan bagi pemohon dan termohon kasasi)

  4. Peninjauan Kembali (Biaya ditentukan Mahkamah Agung)

    Biaya ResmiRp 2,5 jutaPerdata Umum, Perdata agama, Tata usaha negaraRp 10 jutaPerdata Niaga

    Fakta:Rp 2,7795 jutaMedanRp 3,1 jutaJakarta Selatan

Sumber: Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tahun 2004, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan oleh Mahkamah Agung 2003, Penelusuran Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus