Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undangan diskusi di kantor Sekretariat Wakil Presiden pada Jumat akhir Agustus lalu sejatinya bertajuk pembahasan serapan anggaran pemerintah. Namun yang hadir kebanyakan bukan utusan kementerian. Daftar tamu justru dipenuhi perwakilan kepolisian, kejaksaan, badan audit negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai aktivis antikorupsi.
Ketika membuka diskusi, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Sekretariat Wakil Presiden Dewi Fortuna Anwar bercerita soal banyaknya pejabat yang ragu mengambil kebijakan. Akibatnya, kata dia, penyerapan anggaran pemerintah sampai awal semeter kedua tahun ini sangat rendah, hanya sekitar 25 persen. "Mereka takut dikriminalisasi. Makanya kami mengumpulkan penegak hukum agar satu visi dengan pemerintah," ujar seorang peserta diskusi menirukan Dewi, Senin pekan lalu.
Dewi membenarkan cerita tersebut. Menurut dia, pertemuan itu merupakan lanjutan dari rapat koordinasi Presiden Joko Widodo dengan penegak hukum dan kepala daerah di Istana Bogor pada 24 Agustus 2015. Kala itu Jokowi menginstruksikan lima poin untuk mempercepat penyerapan anggaran pemerintah.
Kelima instruksi Jokowi adalah, pertama, diskresi (kebebasan mengambil keputusan) di bidang keuangan tak bisa dipidanakan. Kedua, dugaan pelanggaran administrasi ditangani secara perdata. Ketiga, perhitungan kerugian negara harus konkret. Keempat, instansi pemerintah harus diberi waktu 60 hari untuk menindaklanjuti temuan badan audit negara. Kelima, aparat hukum tak boleh mengekspose dugaan pidana korupsi sebelum masuk tahap penuntutan.
Kelima poin instruksi Jokowi tersebut, menurut Dewi, merupakan saduran dari rancangan tiga peraturan tentang percepatan pembangunan yang tengah digodok pemerintah. Drafnya berupa Peraturan Pemerintah tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Pejabat Negara serta Peraturan Presiden dan Instruksi Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Ketiga aturan itu merupakan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang disahkan Oktober tahun lalu. "Lebih gampangnya disebut peraturan anti-kriminalisasi," kata Dewi di Sekretariat Wakil Presiden, Kamis pekan lalu.
Bila jadi disahkan, menurut Dewi, ketiga peraturan anti-kriminalisasi ini sekaligus akan menafsirkan ulang makna pemberantasan korupsi. Selama ini, menurut dia, penafsiran aparat hukum atas penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara dalam Undang-Undang Antikorupsi seperti karet yang bisa mulur atau mengkeret. "Makanya Undang-Undang Antikorupsi pun perlu ditinjau ulang," ujar Dewi.
PEMBAHASAN seputar aturan "anti-kriminalisasi" bergulir seiring dengan terbitnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan pada akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu itu bungkusnya pembahasan peraturan pemerintah tentang sanksi administrasi atas pelanggaran oleh pejabat.
Dalam perjalanannya, pembahasan melebar menjadi perlindungan terhadap pejabat negara. Salah seorang anggota tim penyusun rancangan aturan tersebut menuturkan, sejumlah pejabat gerah karena kepolisian dan kejaksaan mulai membidik kekeliruan dalam pengambilan kebijakan. "Puncaknya ketika Dahlan Iskan menjadi tersangka proyek gardu listrik," ucapnya.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara ini dijadikan tersangka pada Juni lalu oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kasusnya bermula ketika PT Perusahaan Listrik Negara membangun 21 gardu induk pada jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Proyek ini dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011-2013 sebesar Rp 1 triliun lebih. Berdasarkan kontrak, proyek dilaksanakan pada Desember 2011-Juni 2013.
Kejaksaan Tinggi mempermasalahkan penandatanganan kontrak sebelum pembebasan lahan selesai. Korps Adhyaksa berpegang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 Tahun 2011. Menurut aturan tersebut, tender baru bisa digelar jika lahan dibebaskan lebih dulu.?Di samping itu, jaksa mempersoalkan pembelian komponen gardu induk sebelum pembangunan dimulai.
Pasca-pengumuman Dahlan sebagai tersangka, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengumpulkan beberapa menteri. Sofyan kala itu mengutarakan kerisauannya bila kasus serupa menimpa proyek di era Presiden Jokowi. Maka Sofyan pun mengusulkan penerbitan aturan yang bisa melindungi pejabat dari kriminalisasi. Untuk mematangkan konsep peraturan tersebut, Kementerian Perekonomian menggelar rapat rutin, termasuk mendatangkan sejumlah ahli untuk mengkaji plus dan minusnya.
Sofyan Djalil, yang kini menjabat Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, membenarkan usul pembuatan aturan anti-kriminalisasi muncul di Kementerian Koordinator Perekonomian. Semangatnya, menurut dia, agar pembangunan tidak tersendat. "Intervensi presiden dibutuhkan dalam bentuk aturan supaya program yang sudah direncanakan terealisasi," kata Sofyan, Rabu pekan lalu.
Sofyan menerangkan rancangan peraturan pemerintah, misalnya, mengutamakan hukum administrasi dari hukum pidana. Dugaan penyimpangan prosedur lelang di lembaga pemerintah atau kesalahan keputusan bisnis di badan usaha milik negara tidak bisa langsung diusut aparat hukum. "Harus melalui audit investigasi internal," ucapnya.
Audit investigasi, menurut Sofyan, akan dilakukan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Lembaga itulah yang akan menentukan apakah kesalahan seorang pejabat termasuk pelanggaran administrasi atau mengarah ke tindak pidana.
Bila tindakan maladministrasi menimbulkan kerugian negara, menurut Sofyan, pelakunya akan dijatuhi sanksi, mulai penurunan atau penundaan jabatan sampai pemecatan. "Kerugian negaranya juga harus dikembalikan," ujarnya. Bila pemeriksaan internal menemukan indikasi korupsi, aparat hukum baru bisa mengusutnya setelah ada audit Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.?
Adapun peraturan presiden tentang akselerasi pembangunan, menurut Sofyan, antara lain akan memperjelas pembagian wewenang antarlembaga pemerintah dan batas waktu pengadaan lahan sebelum proyek berjalan. Selama ini, kata dia, kedua hal tersebut paling sering menghambat proyek pemerintah.
Kalangan pegiat antikorupsi rupanya telah mempersoalkan draf peraturan ini sejak awal, termasuk ketika bertemu dengan Sofyan pada acara buka puasa bersama di kantor Kementerian Perekonomian pada awal Agustus lalu. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, termasuk yang memberikan catatan khusus.
Menurut Donal, potensi persekongkolan sangat besar bila saringan ada-tidaknya indikasi pidana berada di tangan aparat pemeriksaan internal. Soalnya, aparat pemeriksa internal pada dasarnya merupakan bawahan pimpinan sebuah lembaga pemerintah. "Selama ini inspektorat cenderung diam bila menemukan pelanggaran yang dilakukan kepala daerah," ujar Donal.
Donal juga mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada "sesat pikir" dengan menganggap pelanggaran administrasi sebagai kesalahan "biasa". Dalam banyak kasus, menurut dia, kesalahan administrasi merupakan pintu masuk tindakan korupsi. Tak jarang korupsi justru dirancang sejak perencanaan proyek, dengan mengakali atau memanfaatkan kelemahan administrasi. "Jadi jangan meremehkan pelanggaran administrasi," ucap Donal.
Pengganti Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, mengatakan pembahasan ketiga draf aturan tersebut sudah masuk tahap akhir. "Di level internal sudah selesai, tinggal menyamakan persepsi dengan penegak hukum," kata Darmin, Rabu pekan lalu. Pemerintah menargetkan pengesahan ketiga aturan tersebut sebelum akhir tahun.
Syailendra Persada, Ayu Prima Sandi, Praga Utama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo