Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kartika Yang Berlanjut Di Singapura

Sidang kasus simpanan alm. H. Thahir di bank sumitomo yang diperebutkan Pertamina, ny. thahir dan anak-anak Thahir. Perkaranya masih berlanjut, kartika menuduh beberapa pejabat mendapat bagian. (hk)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARANG-jarang terjadi persidangan di Pengadilan Negeri Singapura dinyatakan tertutup. Tapi proses yang tidak biasa itu ditetapkan Ketua Majelis Hakim Peradilan Banding (Court of Appeal) Wee Chong Jin yang memeriksa kasus simpanan Almarhum H. Tahir di Bank Sumitomo, Singapura, yang diperebutkan: Pertamina, Nyonya Kartika Tahir, dan anak-anak Tahir dari istri pertama. Mengenakan rambut palsu cokelat muda dan toga hitam, Wee ChongJin muncul bersama Hakim Anggota Kulasekaram dan Lai Kew Chai dari balik gorden di belakang kursi hakim. Seperti di pentas sebuah teater, mereka duduk berjajar di kursi berukir, jauh lebih tinggi dibanding tempat duduk para pengacara di depannya. Tapi tontonan menarik Senin pekan lalu itu tidak berlangsung lama. Sepuluh menit kemudian Chong Jin mengemukakan putusannya menutup sidang bagi umum. Pengacara Pertamina, Michael Sherrad, Queen's Counsel (QC), didampingi Siva Selvadurai dan Albert Hasibuan, mendukung keputusan hakim itu. "Tidak seorang pun yang diuntungkan dengan dipublikasikannya perkara itu," ujar Sherrad. Sebelumnya, trio pengacara pihak Indonesia itu telah meminta lawannya tidak membesar-besarkan tuduhan mereka tentang beberapa nama pejabat Indonesia yang juga menerima komisi, seperti halnya yang dituduhkan kepada Tahir oleh Pertamina. Sebelum menutup persidangan, Chong Jin, yang juga ketua Mahkamah Agung Singapura, membagikan undang-undang terbaru atau yang disebut Banking Act no. 6 yang dikeluarkan April lalu. Dalam undang-undang itu pengadilan diberi wewenang untuk menyatakan persidangan tertutup bila persidangan mempersoalkan rekening bank. Pengacara Kartika menyerah menerima undang-undang itu dari hakim. "Saya tidak punya pilihan lain," ujar Mark Saville QC yang didampingi rekannya, J. Grimberg. Seorang wartawan pengadilan Singapura, yang mengaku sudah 30 tahun meliput berita di tempat tersebut, mengatakan, peristiwa itu pertama kalinya terjadi untuk perkara perdata. Biasanya, menurut wartawan itu, persidangan ditutup hakim jika menyangkut perkara anak-anak di bawah umur atau perkosaan. "Itu permainan tingkat tinggi antara Lee Kuan Yew dan pemerintah Indonesia," tuduh seorang wartawan Singapura, yang meletupkan rasa kecewanya, seperti belasan pengunjung lainnya. Tuduhan wartawan itu bukan tanpa alasan. Pertamina, sebagai pihak penggugat, berada di atas angin. Tepat setahun lalu Hakim T.S. Sinnathuray di Pengadilan Tinggi Singapura memutuskan bahwa Kartika harus mencabut kembali tuduhannya terhadap pejabat- pejabat Indonesia. Kartika bahkan diwajibkan membayar ongkos perkara kepada Pertamina. Tujuh belas pejabat penting, termasuk presiden RI dan pengusaha terkenal di Indonesia. diseret-seret namanya oleh Kartika di pengadilan. Nama-nama itu disebut Kartika untuk menangkis tuduhan bahwa uang simpanan suaminya berasal dari komisi dan korupsi sewaktu menjadi pejabat Pertamina. Pengacara Kartika di Singapura, Drew & Napier, dalam tangkisannya, Juli 1980, menyatakan bahwa beberapa orang penting di Indonesia tahu persis tentang simpanan Tahir itu dan bahkan "terlibat". Liem Sioe Liong, menurut Kartika, selain mengetahui soal simpanan itu, juga pernah menjadi partner daan Tahir dan seorang Singapura Henry Kwee. Mereka membangun Pertamina Tower, perumah- an Pertamina, dan memasukkan mobil-mobil ke Indonesia. Liem juga dikatakan Kartika sebagai orang yang dekat dengan Tahir dan bahkan sering pesiar bersama ke berbagai negara. Kartika juga mengaku sering menerima hadiah dari Liem, orang yang kemudian menjadi saksi dalam pernikahannya dengan Tahir. Tudingan utama dialamatkan Kartika kepada bekas direktur utama Pertamina, Ibnu Sutowo. Menurut Kartika, bekas atasan suaminya itu tahu persis tentang simpanan mereka di Bank Sumitomo. Bahkan, katanya, Ibnu sendiri juga mendapat uang yang disimpan di tempat yang sama, sebanyak US$ 8 juta. Untuk tuduhan itu, Kartika menyertakan bukti berupa fotokopi rekening Ibnu di Bank Sumitomo. Di situ disebutkan nomor rekening - yang berurutan dengan nomor rekening Tahir - dan alamat Ibnu sebagai nasabah di Singapura. Selain itu, menurut Kartika, Ibnu Sutowo bersama almarhum suaminya dan seorang pengusaha, Yusuf, pada 1974 merencanakan pula membangun pabrik semen di Sumatera yang diperkirakan akan menelan biaya sekitar DM 60 juta. Saham almarhum suaminya, menurut Kartika, direncanakan akan diambilkan dari uang di Bank Sumitomo yang kini menjadi sengketa itu. Selain Ibnu Sutowo, terseret juga nama-nama bekas direktur utama Krakatau Steel, Marjoeni Warganegara, direktur utama Pertamina sekarang, Judo Sumbono (waktu itu direktur Pembekalan Dalam Negeri), Ir.Soediono, direktur muda eksplorasi semasa Ibnu, dan direktur perkapalan, Soekotjo. Marjoeni, misalnya, menurut Kartika, pernah menerima komisi dari kontraktor Jerman Barat, Ferrosthal, sebanyak US$ 1,2 juta. Semua tudingan Kartika melalui pengacaranya itu, tujuan utamanya adalah agar hakim di Pengadilan Tinggi Singapura menerima pendapatnya bahwa komisi semacam yang dituduhkan kepada Tahir merupakan kebiasaan di Indonesia. Dan juga perbuatan Tahir itu, menurut tangkisan Kartika, dilakukan pula oleh pejabat-pejabat Indonesia lainnya. Kartika menganggap, perbuatan suaminya yang ketika itu menjabat asisten umum direktur utama Pertamina itu sah, sebab sudah diketahui atasannya. "Jurus simpanan" Kartika itu sempat membuat pihak Pertamina terkesiap. Jaksa agung, waktu itu Ali Said, satu bulan kemudian membantah sebagian besar tuduhan Kartika. Menurut Ali Said, sudah dilakukan pengecekan langsung kepada Presiden Soeharto tentang tuduhan itu, dan diperoleh jawaban: "Sedikit pun tidak mengandung kebenaran." Sebab itu, Ali Said berniat memeriksa Kartika dengan tuduhan menghina kepala negara. Berbagai nama yang dituding Kartika akhirnya juga membanta tuduhan itu. Berdasarkan bantahan-bantahan itu, Pertamina, Oktober 1980, menganggap semua tudahan Kartika bersifat skandal dan tidak berdasar. Sebab itu, Pertamina meminta pengadilan memerintahkan Kartika mencabut tuduhan dari berkas peradilan. Siasat Kartika dengan menyingkap-nyingkap memang bisa menjengkelkan dan merepotkan. Tuduhan tentang simpanan Ibnu Sutowo, menurut sebuah sumber, belakangan terbukti. Ibnu semula memang membantah mengetahui simpanan Tahir. "Andai kata saya tahu itu, saya pecat Tahir," ujar Ibnu dalam suatu pengakuan tertulisnya kepada pengadilan. Mengenai rekeningnya sendiri, Ibnu mengakuinya. Tapi, menurut bekas direktur utama Pertamina itu, uangnya kemudian ditransfer untuk membeli pesawat helikopter melalui perusahaan miliknya sendiri, Indobuildco - kasus uang heli itu belakangan jadi sengketa tersendiri antara Ibnu dan H.M. Yusuf. Jadi, uang itu, menurut Ibnu, digunakan untuk kepentingan Pertamina juga. Tapi, belakangan, pemeriksaan kejaksaan menemukan bukti baru: uang pembelian helikopter itu diambil lagi oleh Ibnu dari kas Pertamina. "Pengakuannya memang tidak bisa dipegang," ujar seorang sumber. Buktinya, belakangan, setelah Ibnu mengaku, uang itu dicicil kembali ke Pertamin oleh Yusuf dan Pontjo Sutowo. Apa pun motifnya, Hakim Sinnathuray dalam putusannya, 27 September 1982, tetap menolak soal tuduhan itu dimasukkan ke berkas perkara. "Saya setuju dengan Tuan Sherrad bahwa tidak layak memasukkan nama-nama itu ke dalam proses perkara," kata Sinnathuray. Ia juga sependapat bahwa tuduhan semacam itu sebagai prasangka jelek dan hanya memperlambat persidangan saja. Kekalahan itu membuat Kartika naik banding. Dalam memori bandingnya, pembelanya menilai Sinnathuray telah salah menerapkan hukum. Ia tetap beranggapan uang "komisi" itu adalah milik Tahir. "Kalau itu tidak benar, kenapa selama ia masih hidup tidak dipersoalkan," ujar pembela Kartika itu. Dan hukum di Indonesia, menurut para pengacara Kartika, tidak menentukan suatu komisi milik perusahaan, seperti halnya hukum Inggris. Dan pihak Kartika bersikeras bahwa soal komisi merupakan kebiasaan di Indonesia dan dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Sebaliknya, pengacara Pertamina berpendapat bahwa menerima komisi semacam itu terlarang. Sebagai buktinya, sherrad menyerahkan terjemahan undang-undang antikorupsi dan anggaran dasar Pertamina. "Seandainya pun tuduhan Kartika benar, tidak berarti perbuatan Tahir itu sah. Sebab hukum jelas melarang perbuatan itu dan semua orang di Indonesia berada di bawah hukum," ujar Albert Hasibuan. Sebab itu Albert juga yakin, peradilan banding itu akan tetap sependapat bahwa penyebutan nama-nama pejabat Indonesia oleh pihak Kartika tidak relevan dengan materi perkara. Namun, yang jelas, perkara simpanan uang H. Tahir yang sudah berjalan 6 tahun itu masih akan menempuh jalan panjang, dan tidak bisa dipastikan kapan akan berakhir. Putusan peradilan banding itu masih bisa dimintakan kasasi ke mahkamah agung Inggris di London. Jika itu pun selesai, pemeriksaan materi perkara, mengenai siapa pemilik uang sekitar Rp 50 milyar di Bank Sumitomo itu, akan dibuka lagi di Singapura. Yang pasti, semua pihak yang terlibat dalam kasus uang Tahir itu harus membayar mahal untuk melanjutkan perkara. Sebab, honorarium seorang Queen's Counsel - dipakai ketiga pihak dalam sengketa itu -, menurut seorang sumber, setiap datang ke sidang sekitar Rp 18 juta, di luar tiket pesawat, akomodasi, dan honor pengacara pendampingnya dari Singapura. "Tapi, bagi Indonesia, yang penting gugatan itu menunjukkan keseriusan pemerintah sekarang ini menyelamatkan uang negara," ujar Arbert Hasibuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus