JARANG-jarang terjadi persidangan di Pengadilan Negeri Singapura
dinyatakan tertutup. Tapi proses yang tidak biasa itu ditetapkan
Ketua Majelis Hakim Peradilan Banding (Court of Appeal) Wee
Chong Jin yang memeriksa kasus simpanan Almarhum H. Tahir di
Bank Sumitomo, Singapura, yang diperebutkan: Pertamina, Nyonya
Kartika Tahir, dan anak-anak Tahir dari istri pertama.
Mengenakan rambut palsu cokelat muda dan toga hitam, Wee
ChongJin muncul bersama Hakim Anggota Kulasekaram dan Lai Kew
Chai dari balik gorden di belakang kursi hakim. Seperti di
pentas sebuah teater, mereka duduk berjajar di kursi berukir,
jauh lebih tinggi dibanding tempat duduk para pengacara di
depannya. Tapi tontonan menarik Senin pekan lalu itu tidak
berlangsung lama. Sepuluh menit kemudian Chong Jin mengemukakan
putusannya menutup sidang bagi umum.
Pengacara Pertamina, Michael Sherrad, Queen's Counsel (QC),
didampingi Siva Selvadurai dan Albert Hasibuan, mendukung
keputusan hakim itu. "Tidak seorang pun yang diuntungkan dengan
dipublikasikannya perkara itu," ujar Sherrad. Sebelumnya, trio
pengacara pihak Indonesia itu telah meminta lawannya tidak
membesar-besarkan tuduhan mereka tentang beberapa nama pejabat
Indonesia yang juga menerima komisi, seperti halnya yang
dituduhkan kepada Tahir oleh Pertamina.
Sebelum menutup persidangan, Chong Jin, yang juga ketua
Mahkamah Agung Singapura, membagikan undang-undang terbaru atau
yang disebut Banking Act no. 6 yang dikeluarkan April lalu.
Dalam undang-undang itu pengadilan diberi wewenang untuk
menyatakan persidangan tertutup bila persidangan mempersoalkan
rekening bank. Pengacara Kartika menyerah menerima undang-undang
itu dari hakim. "Saya tidak punya pilihan lain," ujar Mark
Saville QC yang didampingi rekannya, J. Grimberg.
Seorang wartawan pengadilan Singapura, yang mengaku sudah 30
tahun meliput berita di tempat tersebut, mengatakan, peristiwa
itu pertama kalinya terjadi untuk perkara perdata. Biasanya,
menurut wartawan itu, persidangan ditutup hakim jika menyangkut
perkara anak-anak di bawah umur atau perkosaan. "Itu permainan
tingkat tinggi antara Lee Kuan Yew dan pemerintah Indonesia,"
tuduh seorang wartawan Singapura, yang meletupkan rasa
kecewanya, seperti belasan pengunjung lainnya.
Tuduhan wartawan itu bukan tanpa alasan. Pertamina, sebagai
pihak penggugat, berada di atas angin. Tepat setahun lalu Hakim
T.S. Sinnathuray di Pengadilan Tinggi Singapura memutuskan bahwa
Kartika harus mencabut kembali tuduhannya terhadap pejabat-
pejabat Indonesia. Kartika bahkan diwajibkan membayar ongkos
perkara kepada Pertamina.
Tujuh belas pejabat penting, termasuk presiden RI dan pengusaha
terkenal di Indonesia. diseret-seret namanya oleh Kartika di
pengadilan. Nama-nama itu disebut Kartika untuk menangkis
tuduhan bahwa uang simpanan suaminya berasal dari komisi dan
korupsi sewaktu menjadi pejabat Pertamina. Pengacara Kartika di
Singapura, Drew & Napier, dalam tangkisannya, Juli 1980,
menyatakan bahwa beberapa orang penting di Indonesia tahu persis
tentang simpanan Tahir itu dan bahkan "terlibat".
Liem Sioe Liong, menurut Kartika, selain mengetahui soal
simpanan itu, juga pernah menjadi partner daan Tahir dan
seorang Singapura Henry Kwee. Mereka membangun Pertamina Tower,
perumah- an Pertamina, dan memasukkan mobil-mobil ke Indonesia.
Liem juga dikatakan Kartika sebagai orang yang dekat dengan
Tahir dan bahkan sering pesiar bersama ke berbagai negara.
Kartika juga mengaku sering menerima hadiah dari Liem, orang
yang kemudian menjadi saksi dalam pernikahannya dengan Tahir.
Tudingan utama dialamatkan Kartika kepada bekas direktur utama
Pertamina, Ibnu Sutowo. Menurut Kartika, bekas atasan suaminya
itu tahu persis tentang simpanan mereka di Bank Sumitomo.
Bahkan, katanya, Ibnu sendiri juga mendapat uang yang disimpan
di tempat yang sama, sebanyak US$ 8 juta.
Untuk tuduhan itu, Kartika menyertakan bukti berupa fotokopi
rekening Ibnu di Bank Sumitomo. Di situ disebutkan nomor
rekening - yang berurutan dengan nomor rekening Tahir - dan
alamat Ibnu sebagai nasabah di Singapura.
Selain itu, menurut Kartika, Ibnu Sutowo bersama almarhum
suaminya dan seorang pengusaha, Yusuf, pada 1974 merencanakan
pula membangun pabrik semen di Sumatera yang diperkirakan akan
menelan biaya sekitar DM 60 juta. Saham almarhum suaminya,
menurut Kartika, direncanakan akan diambilkan dari uang di Bank
Sumitomo yang kini menjadi sengketa itu.
Selain Ibnu Sutowo, terseret juga nama-nama bekas direktur utama
Krakatau Steel, Marjoeni Warganegara, direktur utama Pertamina
sekarang, Judo Sumbono (waktu itu direktur Pembekalan Dalam
Negeri), Ir.Soediono, direktur muda eksplorasi semasa Ibnu, dan
direktur perkapalan, Soekotjo. Marjoeni, misalnya, menurut
Kartika, pernah menerima komisi dari kontraktor Jerman Barat,
Ferrosthal, sebanyak US$ 1,2 juta.
Semua tudingan Kartika melalui pengacaranya itu, tujuan utamanya
adalah agar hakim di Pengadilan Tinggi Singapura menerima
pendapatnya bahwa komisi semacam yang dituduhkan kepada Tahir
merupakan kebiasaan di Indonesia. Dan juga perbuatan Tahir itu,
menurut tangkisan Kartika, dilakukan pula oleh pejabat-pejabat
Indonesia lainnya. Kartika menganggap, perbuatan suaminya yang
ketika itu menjabat asisten umum direktur utama Pertamina itu
sah, sebab sudah diketahui atasannya.
"Jurus simpanan" Kartika itu sempat membuat pihak Pertamina
terkesiap. Jaksa agung, waktu itu Ali Said, satu bulan kemudian
membantah sebagian besar tuduhan Kartika. Menurut Ali Said,
sudah dilakukan pengecekan langsung kepada Presiden Soeharto
tentang tuduhan itu, dan diperoleh jawaban: "Sedikit pun tidak
mengandung kebenaran." Sebab itu, Ali Said berniat memeriksa
Kartika dengan tuduhan menghina kepala negara. Berbagai nama
yang dituding Kartika akhirnya juga membanta tuduhan itu.
Berdasarkan bantahan-bantahan itu, Pertamina, Oktober 1980,
menganggap semua tudahan Kartika bersifat skandal dan tidak
berdasar. Sebab itu, Pertamina meminta pengadilan memerintahkan
Kartika mencabut tuduhan dari berkas peradilan.
Siasat Kartika dengan menyingkap-nyingkap memang bisa
menjengkelkan dan merepotkan. Tuduhan tentang simpanan Ibnu
Sutowo, menurut sebuah sumber, belakangan terbukti. Ibnu semula
memang membantah mengetahui simpanan Tahir. "Andai kata saya
tahu itu, saya pecat Tahir," ujar Ibnu dalam suatu pengakuan
tertulisnya kepada pengadilan. Mengenai rekeningnya sendiri,
Ibnu mengakuinya. Tapi, menurut bekas direktur utama Pertamina
itu, uangnya kemudian ditransfer untuk membeli pesawat
helikopter melalui perusahaan miliknya sendiri, Indobuildco -
kasus uang heli itu belakangan jadi sengketa tersendiri antara
Ibnu dan H.M. Yusuf. Jadi, uang itu, menurut Ibnu, digunakan
untuk kepentingan Pertamina juga. Tapi, belakangan, pemeriksaan
kejaksaan menemukan bukti baru: uang pembelian helikopter itu
diambil lagi oleh Ibnu dari kas Pertamina. "Pengakuannya memang
tidak bisa dipegang," ujar seorang sumber. Buktinya, belakangan,
setelah Ibnu mengaku, uang itu dicicil kembali ke Pertamin oleh
Yusuf dan Pontjo Sutowo.
Apa pun motifnya, Hakim Sinnathuray dalam putusannya, 27
September 1982, tetap menolak soal tuduhan itu dimasukkan ke
berkas perkara. "Saya setuju dengan Tuan Sherrad bahwa tidak
layak memasukkan nama-nama itu ke dalam proses perkara," kata
Sinnathuray. Ia juga sependapat bahwa tuduhan semacam itu
sebagai prasangka jelek dan hanya memperlambat persidangan
saja.
Kekalahan itu membuat Kartika naik banding. Dalam memori
bandingnya, pembelanya menilai Sinnathuray telah salah
menerapkan hukum. Ia tetap beranggapan uang "komisi" itu adalah
milik Tahir. "Kalau itu tidak benar, kenapa selama ia masih
hidup tidak dipersoalkan," ujar pembela Kartika itu. Dan hukum
di Indonesia, menurut para pengacara Kartika, tidak menentukan
suatu komisi milik perusahaan, seperti halnya hukum Inggris. Dan
pihak Kartika bersikeras bahwa soal komisi merupakan kebiasaan
di Indonesia dan dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
Sebaliknya, pengacara Pertamina berpendapat bahwa menerima
komisi semacam itu terlarang. Sebagai buktinya, sherrad
menyerahkan terjemahan undang-undang antikorupsi dan anggaran
dasar Pertamina. "Seandainya pun tuduhan Kartika benar, tidak
berarti perbuatan Tahir itu sah. Sebab hukum jelas melarang
perbuatan itu dan semua orang di Indonesia berada di bawah
hukum," ujar Albert Hasibuan. Sebab itu Albert juga yakin,
peradilan banding itu akan tetap sependapat bahwa penyebutan
nama-nama pejabat Indonesia oleh pihak Kartika tidak relevan
dengan materi perkara.
Namun, yang jelas, perkara simpanan uang H. Tahir yang sudah
berjalan 6 tahun itu masih akan menempuh jalan panjang, dan
tidak bisa dipastikan kapan akan berakhir. Putusan peradilan
banding itu masih bisa dimintakan kasasi ke mahkamah agung
Inggris di London. Jika itu pun selesai, pemeriksaan materi
perkara, mengenai siapa pemilik uang sekitar Rp 50 milyar di
Bank Sumitomo itu, akan dibuka lagi di Singapura.
Yang pasti, semua pihak yang terlibat dalam kasus uang Tahir itu
harus membayar mahal untuk melanjutkan perkara. Sebab,
honorarium seorang Queen's Counsel - dipakai ketiga pihak dalam
sengketa itu -, menurut seorang sumber, setiap datang ke sidang
sekitar Rp 18 juta, di luar tiket pesawat, akomodasi, dan honor
pengacara pendampingnya dari Singapura. "Tapi, bagi Indonesia,
yang penting gugatan itu menunjukkan keseriusan pemerintah
sekarang ini menyelamatkan uang negara," ujar Arbert Hasibuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini