DALAM tiga bulan terakhir, tidak kurang dari sembilan perahu
layar motor . (PLM) karam di Laut Jawa. Puluhan jiwa manusia
ikut melayang bersama bangkai kapal yang terkubur di dasar
laut. Sementara itu, ratusan PLM lainnya melayari Laut Jawa
setiap hari, tanpa gentar. Mungkin karena kita ini konon "bangsa
bahari", yang nenek moyangnya dulu orang pelaut....
Kesembilan PLM yang tenggelam berurutan itu berangkat dari
dermaga PLM Kalimas, Surabaya. Berapa jumlah PLM yang tenggelam,
yang tidak berangkat dari pelabuhan Kalimas, wallahualam.
Karimas mungkin pelabuhan PLM paling sibuk di Nusantara. Dari
sini setiap hari bertolak rata-rata 15 PLM, dengan tujuan
Lombok, Sumbawa, Sulawesi, dan Kalimantan. PLM yang berlabuh di
bandar ini rata-rata 1.200 setiap hari.
Biasanya, faktor alam - musim badai selalu dijadikan kambing
hitam musibah laut yang terjadi setiap tahun ini. Namun, bagi
Dr. Ing. Hans W. Schlott, ketua tim ahli Jerman yang
diperbantukan di Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi
Surabaya (ITS), persoalannya sedikit lain. Ia mengimbau para
pembuat PLM untuk meninjau kembali teknologi nenek moyang.
"Kapal layar dulu bisa bertahan sampai 30-40 tahun," ujar
Schlott. "PLM sekarang, dalam waktu 10-12 tahun sudah tak layak
berlayar." Schlott sendiri, sejak 1979, sudah berkeliling ke
pelbagai pusat pembuatan perahu layar di Indonesla.
Menurut ahli teknologi pembangunan kapal itu, PLM yang membanjir
sejak empat tahun terakhir dibuat hanya berdasarkan perhitungan
komersial. Faktor keamanan, yang sebetulnya bisa diusahakan
semaksimal mungkin dengan mematuhi disain dan konstruksi yang
benar, nyaris dilupakan.
Kesalahan paling prinsipiil dalam pembuatan PLM, menurut
Schlott, adalah diabaikannya fungsi sekat kedap air (SKA) di
dalam palka. Sekat, yang terletak di bagian haluan dan buritan
kapal, ini berguna antara lain untuk mempertahankan daya apung
kapal dalam keadaan bahaya tenggelam. "Juga menangkal perembesan
air ke ruangan lain pada saat kapal bocor," ujar Schlott, 46
tahun. Lebih penting dari itu, SKA sekaligus memperkuat
konstruksi lintang kapal.
"Nasihat itu memang bagus, tapi tidak dimungkinkan oleh
perhitungan ekonomis," kata Sufu, pengusaha galangan PLM di
Gresik, Jawa Timur. Maksudnya, dengan membuat SKA, ruangan palka
menjadi berkurang. Muatan yang bisa diangkut pun jatuhnnya lebih
sedikit. Pemilik kapal jelas tak sudi membeli kapal model
begitu.
Sufu, perantau Bugis itu, agaknya juga terikat pada pola perahu
pinisi. Seperti diakui Schlott, "konsep pembagian ruang dalam
perahu layar pinisi sudah cukup baik. " Tetapi begitu sang
perahu dipasangi mesin, konsep ini tidak bisa dipertahankan.
Menurut Ir. Soegiono, dekan Fakultas Teknologi Kelautan, lTS,
kebutuhan akan SKA tergantung dari panjang kapal. Untuk PLM
sepanjang 90 meter, Soegiono menyarankan paling sedikit empat
SKA. Tapi, menurut Schlott, dua pun sudah memadai.
Soegiono bahkan menambahkan, SKA mampu menghindarkan kapal dari
puntiran yang terjadi akibat gaya angin dan bobot muatan di
dalam palka. Dalam banyak kasus, puntiran ini bisa membuat bocor
sambungan kayu pada lambung.
Kelemahan lain yang dituding Schlott ialah konstruksi kedudukan
mesin pada PLM, yang sebetulnya kurang bisa
dipertanggungjawabkan. Getaran mesin 120 PK, misalnya, sanggup
merontokkan sambungan kayu yang berkaltan dengan mesm tersebut.
Pada PLM di galangan milik Fakhruddin, juga di Gresik, mesin
cuma diikatkan ke balok di bawahnya dengan baut empat biji.
Idealnya, konstruksi kedudukan mesin harus dirancang khusus, dan
disatukan dengan gading-gading kapal. Dengan demikian, getaran
terbagi ke seluruh ruangan.
Konstruksi tiang layar PML juga dinilai Schlott kurang afdol.
Sambungan tiang layar tepat berada di atas geladak, dan hanya
menggunakan balok melintang. Mestinya, tiang layar bertumpu
langsung di bawah geladak, pada sekat melintang. Dengan cara
ini, gaya angin yang menghantam layar bisa didistribusikan
sampai ke gading-gading yang berhubungan dengan sekat lintang.
Pemerataan beban ini mengurangi ancaman patahnya tiang layar
akibat hantaman angin yang tiba-tiba.
Faktor terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pemilihan
jenis kayu. Untuk mendapatkan PLM yang bisa bertahan 30 sampai
40 tahun, kayu yang digunakan tidak sembarangan. Konon yang
terbaik ialah kayu ulin. Berdasarkan pengamatan Schlott, dan
penuturan para pembuat perahu di Gresik kepada TEMPO, kini
banyak PLM dibuat dari kayu meranti. Padahal, kayu ini mudah
menyerap air. "Paling lama umurnya tiga tahun," ujar seorang
pembuat perahu keturunan Bugis. Menurut dia, kayu meranti
dipantangkan orang Bugis untuk membuat perahu.
Di zaman dahulu, kata Soegiono, para pandai perahu turun sendiri
ke hutan-hutan meramu bahan. Bahkan ada jenis kayu tertentu yang
penggunaannya dirahasiakan. Kayu berrnata saja, di zaman dulu
itu, kata Soegiono, "ditolak sebagai bahan perahu." Kayu bermata
tidak tahan direndam air tawar, apalagi air asin. Kini Soegiono
melihat kayu bermata banyak digunakan membuat PLM. "Mungkin
karena harga kayu sekarang ini sangat mahal," katanya,
seolah-olah memahami kesulitan yang dihadapi para pemilik
galangan.
Perhitungan ekonomis tampaknya menjadi faktor utama pembuatan
PLM sekarang ini. Para pembeli kapal ingin mendapatkan PLM yang
sekecil mungkin, dengan kapasitas muatan sebanyak mungkin.
Berdasarkan perhitungan Schlott, pembuatan PLM yang sesuai
dengan standar keamanan memerlukan anggaran ekstra sekitar 25%
sampai 30%. Masalahnya, siapa yang sudi merogoh kocek untuk
pengeluaran tambahan itu?
Dari segi keterampilan, Schlott tidak meragukan para tukang yang
kini bertebaran di pelbagai galangan PLM. Meski tak memiliki
pendidikan khusus, "asal diberi gambar rencana konstruksi dan
rancangan disain, mereka mampu melakukannya dengan hasil yang
memuaskan," kata Schlott. Dua tahun lalu ia pernah bekerja sama
dengan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini