Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Celaka Di Laut, Sebabnya Di Darat

Perahu layar motor (plm) banyak yang karam di laut jawa. dr. schlott mengemukakan beberapa syarat agar plm bisa aman dan tahan lama. (ilt)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM tiga bulan terakhir, tidak kurang dari sembilan perahu layar motor . (PLM) karam di Laut Jawa. Puluhan jiwa manusia ikut melayang bersama bangkai kapal yang terkubur di dasar laut. Sementara itu, ratusan PLM lainnya melayari Laut Jawa setiap hari, tanpa gentar. Mungkin karena kita ini konon "bangsa bahari", yang nenek moyangnya dulu orang pelaut.... Kesembilan PLM yang tenggelam berurutan itu berangkat dari dermaga PLM Kalimas, Surabaya. Berapa jumlah PLM yang tenggelam, yang tidak berangkat dari pelabuhan Kalimas, wallahualam. Karimas mungkin pelabuhan PLM paling sibuk di Nusantara. Dari sini setiap hari bertolak rata-rata 15 PLM, dengan tujuan Lombok, Sumbawa, Sulawesi, dan Kalimantan. PLM yang berlabuh di bandar ini rata-rata 1.200 setiap hari. Biasanya, faktor alam - musim badai selalu dijadikan kambing hitam musibah laut yang terjadi setiap tahun ini. Namun, bagi Dr. Ing. Hans W. Schlott, ketua tim ahli Jerman yang diperbantukan di Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Surabaya (ITS), persoalannya sedikit lain. Ia mengimbau para pembuat PLM untuk meninjau kembali teknologi nenek moyang. "Kapal layar dulu bisa bertahan sampai 30-40 tahun," ujar Schlott. "PLM sekarang, dalam waktu 10-12 tahun sudah tak layak berlayar." Schlott sendiri, sejak 1979, sudah berkeliling ke pelbagai pusat pembuatan perahu layar di Indonesla. Menurut ahli teknologi pembangunan kapal itu, PLM yang membanjir sejak empat tahun terakhir dibuat hanya berdasarkan perhitungan komersial. Faktor keamanan, yang sebetulnya bisa diusahakan semaksimal mungkin dengan mematuhi disain dan konstruksi yang benar, nyaris dilupakan. Kesalahan paling prinsipiil dalam pembuatan PLM, menurut Schlott, adalah diabaikannya fungsi sekat kedap air (SKA) di dalam palka. Sekat, yang terletak di bagian haluan dan buritan kapal, ini berguna antara lain untuk mempertahankan daya apung kapal dalam keadaan bahaya tenggelam. "Juga menangkal perembesan air ke ruangan lain pada saat kapal bocor," ujar Schlott, 46 tahun. Lebih penting dari itu, SKA sekaligus memperkuat konstruksi lintang kapal. "Nasihat itu memang bagus, tapi tidak dimungkinkan oleh perhitungan ekonomis," kata Sufu, pengusaha galangan PLM di Gresik, Jawa Timur. Maksudnya, dengan membuat SKA, ruangan palka menjadi berkurang. Muatan yang bisa diangkut pun jatuhnnya lebih sedikit. Pemilik kapal jelas tak sudi membeli kapal model begitu. Sufu, perantau Bugis itu, agaknya juga terikat pada pola perahu pinisi. Seperti diakui Schlott, "konsep pembagian ruang dalam perahu layar pinisi sudah cukup baik. " Tetapi begitu sang perahu dipasangi mesin, konsep ini tidak bisa dipertahankan. Menurut Ir. Soegiono, dekan Fakultas Teknologi Kelautan, lTS, kebutuhan akan SKA tergantung dari panjang kapal. Untuk PLM sepanjang 90 meter, Soegiono menyarankan paling sedikit empat SKA. Tapi, menurut Schlott, dua pun sudah memadai. Soegiono bahkan menambahkan, SKA mampu menghindarkan kapal dari puntiran yang terjadi akibat gaya angin dan bobot muatan di dalam palka. Dalam banyak kasus, puntiran ini bisa membuat bocor sambungan kayu pada lambung. Kelemahan lain yang dituding Schlott ialah konstruksi kedudukan mesin pada PLM, yang sebetulnya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Getaran mesin 120 PK, misalnya, sanggup merontokkan sambungan kayu yang berkaltan dengan mesm tersebut. Pada PLM di galangan milik Fakhruddin, juga di Gresik, mesin cuma diikatkan ke balok di bawahnya dengan baut empat biji. Idealnya, konstruksi kedudukan mesin harus dirancang khusus, dan disatukan dengan gading-gading kapal. Dengan demikian, getaran terbagi ke seluruh ruangan. Konstruksi tiang layar PML juga dinilai Schlott kurang afdol. Sambungan tiang layar tepat berada di atas geladak, dan hanya menggunakan balok melintang. Mestinya, tiang layar bertumpu langsung di bawah geladak, pada sekat melintang. Dengan cara ini, gaya angin yang menghantam layar bisa didistribusikan sampai ke gading-gading yang berhubungan dengan sekat lintang. Pemerataan beban ini mengurangi ancaman patahnya tiang layar akibat hantaman angin yang tiba-tiba. Faktor terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pemilihan jenis kayu. Untuk mendapatkan PLM yang bisa bertahan 30 sampai 40 tahun, kayu yang digunakan tidak sembarangan. Konon yang terbaik ialah kayu ulin. Berdasarkan pengamatan Schlott, dan penuturan para pembuat perahu di Gresik kepada TEMPO, kini banyak PLM dibuat dari kayu meranti. Padahal, kayu ini mudah menyerap air. "Paling lama umurnya tiga tahun," ujar seorang pembuat perahu keturunan Bugis. Menurut dia, kayu meranti dipantangkan orang Bugis untuk membuat perahu. Di zaman dahulu, kata Soegiono, para pandai perahu turun sendiri ke hutan-hutan meramu bahan. Bahkan ada jenis kayu tertentu yang penggunaannya dirahasiakan. Kayu berrnata saja, di zaman dulu itu, kata Soegiono, "ditolak sebagai bahan perahu." Kayu bermata tidak tahan direndam air tawar, apalagi air asin. Kini Soegiono melihat kayu bermata banyak digunakan membuat PLM. "Mungkin karena harga kayu sekarang ini sangat mahal," katanya, seolah-olah memahami kesulitan yang dihadapi para pemilik galangan. Perhitungan ekonomis tampaknya menjadi faktor utama pembuatan PLM sekarang ini. Para pembeli kapal ingin mendapatkan PLM yang sekecil mungkin, dengan kapasitas muatan sebanyak mungkin. Berdasarkan perhitungan Schlott, pembuatan PLM yang sesuai dengan standar keamanan memerlukan anggaran ekstra sekitar 25% sampai 30%. Masalahnya, siapa yang sudi merogoh kocek untuk pengeluaran tambahan itu? Dari segi keterampilan, Schlott tidak meragukan para tukang yang kini bertebaran di pelbagai galangan PLM. Meski tak memiliki pendidikan khusus, "asal diberi gambar rencana konstruksi dan rancangan disain, mereka mampu melakukannya dengan hasil yang memuaskan," kata Schlott. Dua tahun lalu ia pernah bekerja sama dengan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus