MULANYA Kartika Ratna hanyalah ibu rumah tangga biasa saja.
Wanita yang dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur, dengan nama Tan
Kim Giok alias Elsye itu pada 1950 menikah dengan seorang
pedagang Malang, Nio Kiauw Lam alias Herlambang, dalam usia 21
tahun. Dari perkawinan itu lahir sepasang anak yang kini ikut
Herlamban.
Sejak awal perkawinan itu antara keduanya terdapat perbedaan
yang menyolok. Kartika, anak pedagang palawija dan tembakau
yang kaya di Malang, Tan Tjing Bo, suka hidup mewah -
mengunjungi tempat dansa dan makan di restoran. Sebaliknya, si
suami hidup hati-hati dan berhemat sebagaimana layaknya pedagang
keturunan Cina kelas menengah. Namun, semua perbedaan itu dapat
mereka atasi sampai keluarga itu pindah ke Surabaya.
Pada 1960, keluarga itu mencoba peruntungan di Singapura.
Setahun kemudian Kartika dan Herlambang menyatakan melepaskan
kewarganegaraan RRC dan menjadi WNI, di Konsulat Rl Singapura.
Sampai kini, setelah sengketanya melawan pemerintah RI menjadi
urusan pengadilan, Kartika masih memegang paspor RI.
Di Singapura itu pulalah semuanya berubah. Seorang atase KBRI,
menurut sumber TEMPO, mempunyai andil besar mengubah ibu dua
anak itu. Wanita cantik yang dikabarkan "materialistis" dan
mempunyai kemauan keras itu konon diperkenalkan kepada
orang-orang kaya Indonesia serta pejabat-pejabat Pertamina oleh
atase kita yang kini menjadi swasta itu. Kartika mulai keluar
malam.
Tahun 1966, rumah tangga Kartika dan Herlambang goyah. Kartika
sering tidak pulang dan bahkan tidak diketahui suaminya di mana
ia berada. Beberapa lama ia dikabarkan tinggal di Hotel
Marcopolo, Singapura, dengan biaya Pertamina. Waktu itu, menurut
sumber-sumber TEMPO, Kartika berhubungan erat dengan seorang
direktur perusahaan penerbangan domestik dan sejumlah pejabat
penting Pertamina antara lain, belakangan, Haji A. Tahir.
Ketika itu pula ia bolak-balik Jakarta Singapura dan
berkecimpung di kalangan orang-orang "tingka atas" di kedua
negara.
Pada 1966 itu ia pernah menghilang selama 6 bulan dari Singapura
- dan ternyata berada di Jakarta bersama seorang pengusaha, yang
kini almarhum, yang dikenal dengan sebutan King of Ebony. Ia
juga berhubungan erat dengan pemilik sebuah pabrik tepung dan
wakil pabrik kemeja terkenal di Indonesia. Di Singapura ia
dekat dengan pengusaha terkenal Robin Loh. Perwakilan Robin Loh
di Surabaya, Iwa Kusuma, pernah mengatakan kepada TEMPO, sekitar
1970 ia diminta menjemput Kartika di Lapangan Udara Juanda,
Surabaya.
Di kalangan ibu-ibu golongan atas, Kartika pun bukan orang
asing. Ia sering muncul di organisasi ibu-ibu Indonesia di
Singapura. Beberapa istri pejabat di Jakarta juga dikabarkan
kenal baik dengan wanita itu.
Perceraian antara Kartika dan Herlambang tak terelakkan lagi.
Menurut sumber TEMPO itu, pada 1974 Mr. Iskak Tjokrohadisurjo,
bekas menteri perdagangan, mengurus perceraian itu di Jakarta
dengan alasan bahwa wanita itu berzina. Waktu itu Kartika sudah
"hidup bersama" dengan Haji Tahir.
Di rumah Mr. Iskak pula pernikahan secara Islam antara Haji
Tahir dan Kartika dilangsungkan hanya beberapa bulan setelah
perceraian itu. Uniknya, perkawinan itu terjadi hanya beberapa
meter di be lakang rumah istri pertama Tahir, Nyonya Rukiah, di
Jalan Mangunsarkoro, Jakarta. Tapi ayah Kartika, Tan Tjing Bo,
yang berdiam di Malang, tidak hadir pada upacara itu dengan
alasan ia tidak beraama. Sebab itu, dalam buku nikah disebutkan
wali nikah Kartika adalah hakim.
Bersama Tahir, Kartika seperti "memetik bulan". Mereka membuka
rekening bersama di Singapura, di The Chase Manhattan Bank, The
Hongkong & Shanghai Bank dan di Sumitomo Bank dengan deposito
sekitar US$ 80 juta. Ia juga mempunyai rumah di perumahan mewah,
Grange Road, Singapura, di Belanda, dan di tempat ia kini
bermukim, Swiss.
Tapi, sebaliknya, Haji Tahir. Perkawinannya dengan janda cantik
itu bak semut menemukan madu: dua tahun setelah menikah, tanpa
anak, haji yang waktu itu merupakan tangan kanan direktur utama
Pertamina, Ibnu Sutowo, meninggal mendadak di Jakarta. Nasibnya
mirip dengan dua orang lelaki sebelumnya yang pernah dekat
dengan wamta itu.
Kartika ternyata memang bukan wanita sembarangan. Dua hari
setelah Tahir wafat dan dimakamkan di TMP Kalibata, 23 Juli
1976, ia sudah mendarat di Singapura dari Jenewa. Tidak melayat
suaminya, hari itu juga ia menarik uang simpanan bersama di
Chase dan Hongkong Shanghai Bank. Sehari setelah itu ia
berhadapan dengan manajer Sumitomo cabang Singapura, Akira
Fujimene, untuk maksud yang sama. Di sini ia tersandung. Dua
putra Tahir, dari istri pertama, Ibrahim dan Abubakar, telah
lebih dulu meminta bank memblokir rekening ayahnya dan ibu
tirinya itu.
Deposito di Sumitomo, ketika itu sekitar Rp 35 milyar atau
sekarang berikut bunga diperkirakan sekitar Rp 50 milyar, itulah
yang sampai kini jadi sengketa antara Kartika, Pertamina, dan
anak-anak H. Tahir. Tapi lagi-lagi wanita yang sempat mengenyam
bangku sekolah HBS itu membuat soal. Sejumlah nama pejabat
Indonesia dituduhnya menerima komisi - seperti yang disebutnya
Juga dilakukan suaminya. Peradilan pun, gara-gara tuduhannya
itu, menempuh jalan panjang. Sepanjang perjalanan Kartika ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini