Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Wanita disekitar uang dan laki-laki

Istri almarhum thahir pejabat pertamina. wanita di sekitar uang dan laki-laki. (hk)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULANYA Kartika Ratna hanyalah ibu rumah tangga biasa saja. Wanita yang dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur, dengan nama Tan Kim Giok alias Elsye itu pada 1950 menikah dengan seorang pedagang Malang, Nio Kiauw Lam alias Herlambang, dalam usia 21 tahun. Dari perkawinan itu lahir sepasang anak yang kini ikut Herlamban. Sejak awal perkawinan itu antara keduanya terdapat perbedaan yang menyolok. Kartika, anak pedagang palawija dan tembakau yang kaya di Malang, Tan Tjing Bo, suka hidup mewah - mengunjungi tempat dansa dan makan di restoran. Sebaliknya, si suami hidup hati-hati dan berhemat sebagaimana layaknya pedagang keturunan Cina kelas menengah. Namun, semua perbedaan itu dapat mereka atasi sampai keluarga itu pindah ke Surabaya. Pada 1960, keluarga itu mencoba peruntungan di Singapura. Setahun kemudian Kartika dan Herlambang menyatakan melepaskan kewarganegaraan RRC dan menjadi WNI, di Konsulat Rl Singapura. Sampai kini, setelah sengketanya melawan pemerintah RI menjadi urusan pengadilan, Kartika masih memegang paspor RI. Di Singapura itu pulalah semuanya berubah. Seorang atase KBRI, menurut sumber TEMPO, mempunyai andil besar mengubah ibu dua anak itu. Wanita cantik yang dikabarkan "materialistis" dan mempunyai kemauan keras itu konon diperkenalkan kepada orang-orang kaya Indonesia serta pejabat-pejabat Pertamina oleh atase kita yang kini menjadi swasta itu. Kartika mulai keluar malam. Tahun 1966, rumah tangga Kartika dan Herlambang goyah. Kartika sering tidak pulang dan bahkan tidak diketahui suaminya di mana ia berada. Beberapa lama ia dikabarkan tinggal di Hotel Marcopolo, Singapura, dengan biaya Pertamina. Waktu itu, menurut sumber-sumber TEMPO, Kartika berhubungan erat dengan seorang direktur perusahaan penerbangan domestik dan sejumlah pejabat penting Pertamina antara lain, belakangan, Haji A. Tahir. Ketika itu pula ia bolak-balik Jakarta Singapura dan berkecimpung di kalangan orang-orang "tingka atas" di kedua negara. Pada 1966 itu ia pernah menghilang selama 6 bulan dari Singapura - dan ternyata berada di Jakarta bersama seorang pengusaha, yang kini almarhum, yang dikenal dengan sebutan King of Ebony. Ia juga berhubungan erat dengan pemilik sebuah pabrik tepung dan wakil pabrik kemeja terkenal di Indonesia. Di Singapura ia dekat dengan pengusaha terkenal Robin Loh. Perwakilan Robin Loh di Surabaya, Iwa Kusuma, pernah mengatakan kepada TEMPO, sekitar 1970 ia diminta menjemput Kartika di Lapangan Udara Juanda, Surabaya. Di kalangan ibu-ibu golongan atas, Kartika pun bukan orang asing. Ia sering muncul di organisasi ibu-ibu Indonesia di Singapura. Beberapa istri pejabat di Jakarta juga dikabarkan kenal baik dengan wanita itu. Perceraian antara Kartika dan Herlambang tak terelakkan lagi. Menurut sumber TEMPO itu, pada 1974 Mr. Iskak Tjokrohadisurjo, bekas menteri perdagangan, mengurus perceraian itu di Jakarta dengan alasan bahwa wanita itu berzina. Waktu itu Kartika sudah "hidup bersama" dengan Haji Tahir. Di rumah Mr. Iskak pula pernikahan secara Islam antara Haji Tahir dan Kartika dilangsungkan hanya beberapa bulan setelah perceraian itu. Uniknya, perkawinan itu terjadi hanya beberapa meter di be lakang rumah istri pertama Tahir, Nyonya Rukiah, di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta. Tapi ayah Kartika, Tan Tjing Bo, yang berdiam di Malang, tidak hadir pada upacara itu dengan alasan ia tidak beraama. Sebab itu, dalam buku nikah disebutkan wali nikah Kartika adalah hakim. Bersama Tahir, Kartika seperti "memetik bulan". Mereka membuka rekening bersama di Singapura, di The Chase Manhattan Bank, The Hongkong & Shanghai Bank dan di Sumitomo Bank dengan deposito sekitar US$ 80 juta. Ia juga mempunyai rumah di perumahan mewah, Grange Road, Singapura, di Belanda, dan di tempat ia kini bermukim, Swiss. Tapi, sebaliknya, Haji Tahir. Perkawinannya dengan janda cantik itu bak semut menemukan madu: dua tahun setelah menikah, tanpa anak, haji yang waktu itu merupakan tangan kanan direktur utama Pertamina, Ibnu Sutowo, meninggal mendadak di Jakarta. Nasibnya mirip dengan dua orang lelaki sebelumnya yang pernah dekat dengan wamta itu. Kartika ternyata memang bukan wanita sembarangan. Dua hari setelah Tahir wafat dan dimakamkan di TMP Kalibata, 23 Juli 1976, ia sudah mendarat di Singapura dari Jenewa. Tidak melayat suaminya, hari itu juga ia menarik uang simpanan bersama di Chase dan Hongkong Shanghai Bank. Sehari setelah itu ia berhadapan dengan manajer Sumitomo cabang Singapura, Akira Fujimene, untuk maksud yang sama. Di sini ia tersandung. Dua putra Tahir, dari istri pertama, Ibrahim dan Abubakar, telah lebih dulu meminta bank memblokir rekening ayahnya dan ibu tirinya itu. Deposito di Sumitomo, ketika itu sekitar Rp 35 milyar atau sekarang berikut bunga diperkirakan sekitar Rp 50 milyar, itulah yang sampai kini jadi sengketa antara Kartika, Pertamina, dan anak-anak H. Tahir. Tapi lagi-lagi wanita yang sempat mengenyam bangku sekolah HBS itu membuat soal. Sejumlah nama pejabat Indonesia dituduhnya menerima komisi - seperti yang disebutnya Juga dilakukan suaminya. Peradilan pun, gara-gara tuduhannya itu, menempuh jalan panjang. Sepanjang perjalanan Kartika ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus