Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menjadi sorotan setelah dilaporkan oleh Menteri Keuangan.
KPK mengklaim telah menangani dugaan korupsi di LPEI sejak tahun lalu.
Kejaksaan Agung dan KPK perlu berkoordinasi untuk menentukan siapa yang akan menangani kasus korupsi di LPEI.
JAKARTA – Dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan enam perusahaan penerima kredit ekspor ke Kejaksaan Agung pada 18 Maret 2024. Laporan Sri Mulyani itu didasarkan atas hasil pemeriksaan dari Tim Gabungan Terpadu yang terdiri atas Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha (Jamdatun), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, serta LPEI. Kerugian negara akibat kecurangan oleh enam perusahaan itu diperkirakan Rp 2,5 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum Kejaksaan melangkah lebih jauh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim telah menerima aduan tentang dugaan korupsi di LPEI pada 10 Mei 2023. Karena itu, sehari setelah Sri Mulyani membuat laporan ke Kejaksaan Agung, KPK buru-buru menggelar jumpa pers. “Disepakati untuk menaikkan ke tahap penyidikan tanpa menyebutkan tersangka,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Alex, biasanya KPK merilis peristiwa pidana ketika sudah ada tersangka beserta barang bukti. Namun, untuk kasus korupsi di LPEI, lembaga antirasuah menempuh langkah yang tidak biasa. Tujuannya demi menghindari kesamaan penanganan kasus oleh penegak hukum dari lembaga lain. Untuk itu, KPK akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. “Jangan sampai penanganan perkara itu terjadi duplikasi atau tumpang tindih di antara penegak hukum,” ucapnya.
Sejauh ini, kata Alex, KPK belum mengetahui detail kasus yang ditangani Kejaksaan untuk dugaan korupsi di LPEI. “Kalau obyeknya sama, tentu nanti kami yang pasti menangani,” kata Alex. Apalagi KPK telah mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan.
Dua Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron (kanan) dan Alexander Marwata, memberikan keterangan perihal dugaan penyimpangan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas penyaluran kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 19 Maret 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Pendapat serupa disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Menurut dia, KPK berpedoman pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 50 ayat 1 dijelaskan bahwa kepolisian atau kejaksaan wajib memberi tahu KPK tentang setiap tindak pidana korupsi yang ditangani. Kemudian pada ayat 2 ditegaskan bahwa setiap penyidikan kasus korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana diatur dalam ayat 1 wajib dikoordinasikan terus dengan KPK.
Selanjutnya, pada ayat 3 dinyatakan bahwa apabila KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi untuk meneruskan penyidikan. Lalu pada ayat 4 diuraikan, jika penyidikan bersamaan dilakukan kejaksaan dan/atau kepolisian, dan KPK, maka penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan harus dihentikan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah menangani tiga perkara di LPEI. Tiga perkara itu sudah disidangkan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Sedangkan dugaan korupsi yang dilaporkan Sri Mulyani adalah kasus baru. Kejaksaan Agung masih mempelajari laporan itu dan menemukan dugaan tindak pidana berupa fraud kepada debitor. “Karena sudah macet dan sebagainya, makanya kami serahkan ke Pidana Khusus untuk recovery asset," kata Ketut. Status kasus akan ditentukan setelah penyelidikan dilakukan oleh tim Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Sejauh ini, kata Ketut, belum ada koordinasi antara Kejaksaan Agung dan KPK tentang dugaan korupsi yang sedang ditangani lembaga antirasuah itu. Sehingga dia tidak bisa memastikan apakah kasusnya sama atau tidak dengan dugaan korupsi yang dilaporkan oleh Menteri Keuangan. “Jadi, kami memang perlu koordinasi dalam penanganan perkara ini,” katanya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sebelumnya mengatakan laporan yang disampaikan Sri Mulyani itu merupakan tahap pertama dengan nilai fraud Rp 2,5 triliun. Perusahaan sebagai debitor LPEI yang diduga terlibat antara lain PT RII sebesar Rp 1,8 triliun, PT SMR sebesar Rp 216 miliar, PT SPV sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar.
Menurut Burhanuddin, akan ada tahap dua untuk dugaan korupsi yang dilaporkan oleh Menteri Keuangan itu. Dia mengimbau para kreditor LPEI memenuhi pemeriksaan serta menindaklanjuti rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Tolong segera tindaklanjuti ini, daripada nanti kami tindaklanjuti secara pidana,” kata Burhanuddin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan Kejaksaan Agung dan KPK sama-sama memiliki legalitas untuk menangani dugaan fraud debitor LPEI. Hanya, kata Hibnu, perlu diperhatikan tentang subyek hukum (pelaku) yang dilaporkan. Jika memang tidak memiliki kesamaan, Kejaksaan dan KPK masing-masing bisa berjalan untuk menuntaskan perkara. “Mungkin KPK dari sisi A, Kejaksaan Agung dari sisi B,” ujarnya.
Saat ini Hibnu belum bisa membaca arah penyidikan Kejaksaan Agung maupun KPK. Jika subyek dan masalahnya sama, memang harus mengacu pada Pasal 50 Undang-Undang tentang KPK. “Sekarang pertanyaannya, penyidikannya berfokus ke mana dulu? Jangan-jangan berbeda,” katanya.
Aktivitas bongkar-muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung, Priok, Jakarta, 15 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Komisi antirasuah sebenarnya tetap bisa melanjutkan penanganan kasus dengan mengandalkan Undang-Undang KPK. Namun, setelah memiliki pengalaman dalam menangani perkara Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, KPK mengikuti prosedur KUHAP seperti yang berlaku di institusi kepolisian dan kejaksaan. “Ini menjadi jalan tengahnya,” kata dia. Strategi itu juga, kata Hibnu, yang sepertinya digunakan untuk kasus pemberian kredit oleh LPEI saat ini. “Itu perkembangan dinamika hukum.”
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan konstruksi kasus LPEI ini mirip dengan permasalahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) beberapa tahun lalu. Kemiripan kasus terletak pada sejumlah jaminan yang diajukan debitor kepada kreditor dan diduga tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Pemberian kredit besar yang bermasalah oleh LPEI memungkinkan debitor lain juga terlibat dalam permasalahan serupa. Namun, Kurnia berpendapat, kasus ini layak ditangani oleh KPK yang sudah melangkah ke tahap penyidikan.
Menurut Kurnia, Kejaksaan Agung sebaiknya membatasi langkah hukum supaya sejalan dengan regulasi, khususnya Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang KPK. Sebab, KPK telah masuk ke tahap penyidikan sehingga Kejaksaan Agung tidak lagi berwenang menangani dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit ini. “Jika ada dalih yang menyebutkan, misalnya, subyek hukumnya berbeda, tentu tidak relevan. Sebab, fakta peristiwa pidananya besar kemungkinan sama,” kata dia.
Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso menghormati proses hukum untuk mengungkap dugaan fraud debitor di lembaganya. Ia akan mematuhi regulasi untuk kooperatif dan bekerja sama dengan tim terpadu. “Dan aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesaian kasus debitor bermasalah,” kata Riyani Tirtoso.
M. FAIZ ZAKI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo