Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset semakin mendesak untuk disahkan dengan mencuatnya kasus kekayaan jumbo pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Menurut mereka, kasus seperti ini seharusnya mudah untuk diselesaikan jika RUU Perampasan Aset telah disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalam kasus tersebut, ditemukan profil pegawai yang tidak sesuai dengan kekayaan yang dimiliki,” kata peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, Rabu, 8 Maret 2023.
KPK kesulitan menjerat Rafael Alun dengan tindak pidana pencucian uang
Rafael Alun adalah mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II yang saat ini tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidikan itu dilakukan setelah Rafael dinilai memiliki harta kekayaan yang tak wajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) miliknya, Rafael mengaku memiliki harta senilai Rp 56 miliar. KPK menilai jumlah harta tersebut tidak sesuai dengan upah yang dimiliki oleh pejabat Eselon III seperti Rafael.
KPK mencurigai Rafael Alun melakukan pencucian uang. Akan tetapi mereka harus membuktikan terlebih dahulu pidana asal yang dilakukan oleh Rafael.
KPK menyatakan mereka harus membuktikan terlebih dahulu jika Rafael melakukan melakukan korupsi, seperti menerima suap, gratifikasi ataupun menggunakan pengaruhnya untuk memperkaya diri. Setelah kejahatan itu bisa dibuktikan, barulah KPK dapat menerapkan tindak pidana pencucian uang kepada Rafael.
Jika pencucian uang Rafael berasal dari tindak pidana lainnya, maka KPK harus menyerahkan kasus ini ke kepolisian.
Selanjutnya, kerja KPK bisa lebih mudah jika RUU Perampasan Aset telah disahkan
Zaenur Rohman mengatakan KPK seharusnya tak perlu kerepotan melakukan penyelidikan korupsi Rafael seandainya RUU Perampasan Aset sudah disahkan. Dia mengatakan RUU tersebut telah mengadopsi dua konsep yakni illicit enrichment dan unexplained wealth.
Illicit enrichment merupakan konsep yang menjabarkan tentang penambahan harta kekayaan yang tidak wajar. Sementara, unexplained wealth merupakan konsep yang menjelaskan mengenai kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya.
Zaenur berkata bila dua konsep itu diterapkan dalam kasus Rafael Alun, maka penegak hukum seperti KPK tak perlu repot-repot membuktikan Rafael melakukan korupsi. Beban pembuktian, kata dia, akan diberikan kepada Rafael.
“Jadi si pelaku yang harus membuktikan bahwa dia mendapatkan harta itu dari sumber yang sah,” kata dia.
Menurut Zaenur, apabila pelaku tidak dapat menjelaskan asal-usul kekayaannya, negara dapat langsung menyita hartanya. Penyitaan itu, kata dia, tidak memerlukan proses hukum yang panjang.
“Si pemilik kekayaan itu yang harus membuktikan bahwa kekayaan itu berasal dari kekayaan yang sah,” kata Zaenur.
Sayangnya kemudahan yang ditawarkan RUU Perampasan Aset itu masih jauh panggang dari api. Pemerintah dan DPR belum satu suara untuk membahas RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Menurut Zaenur, RUU tersebut sebenarnya sudah diusulkan menjadi UU sejak 2008. Namun, hingga saat ini DPR maupun pemerintah belum juga membahas RUU tersebut.
“Belum ada kemajuan berarti,” kata dia.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly sebelumnya menyatakan bahwa draft final RUU Perampasan Aset baru melalui harmonisasi. Dia menyatakan pemerintah akan segera menyerahkan RUU tersebut ke DPR.
Selanjutnya, awal mula harta Rafael Alun menjadi sorotan
Harta Rafael Alun menjadi sorotan setelah putranya, Mario Dandy Satriyo, melakukan penganiayaan terhadap seorang remaja berusia 17 tahun hingga koma. Mario disebut kerap memamerkan harta kekayaan milik orang tuanya berupa mobil Jeep Rubicon dan motor Harley Davidson di media sosial.
Masalahnya, dua kendaraan itu tak tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disetorkan Rafael ke KPK.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengkonfirmasi kejanggalan harta Rafael dan keluarga. Lembaga intelijen keuangan itu menyatakan telah menelusuri transaksi menrigakan Rafael sejak lama. Mereka bahkan menyatakan telah mengirimkan Laporan Hasil Analisa (LHA) Rafael ke lembaga penegak hukum sejak 2012.
Kemarin, PPATK menyatakan menemukan transaksi senilai Rp 500 miliar yang dilakukan oleh Rafael dan keluarganya dalam kurun waktu 2019 sampai 2023. PPATK menduga transaksi tersebut merupakan upaya pencucian uang.
Setelah Rafael Alun, muncul pula kasus kekayaan jumbo milik Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah mencopot keduanya dari jabatan masing-masing dengan alasan untuk memudahkan penyidikan.
Hari ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyatakan telah mendapatkan informasi soal adanya transaksi keuangan senilai Rp 300 triliun yang dilakukan para pegawai Kementerian Keuangan. Dia menyatakan bahwa nilai itu di luar dari transaksi Rp 500 miliar yang dilakukan Rafael Alun.