Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menanggapi permintaan dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pembebas Ronald Tannur, Erintuah Damanik dan Mangapul, untuk menjadi saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator (JC). Kedua hakim PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas untuk Gregorius Ronald Tannur itu kini menjadi terdakwa suap hakim dan gratifikasi pengurusan perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Harli Siregar mengatakan perkara ini sedang berproses di meja hijau sehingga permintaan justice collaborator tersebut merupakan kewenangan pengadilan. "Menjadi domainnya pengadilan apakah akan mempertimbangkan menerima atau tidak menerima permohonan JC yang bersangkutan," ujarnya saat dihubungi pada Rabu, 19 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esensi justice collaborator adalah bagaimana peran pengaju membuka perkara ini seterang-terangnya. "Misalnya apakah ada keterlibatan pihak lain atau tidak," kata Harli.
Sebelumnya, penasihat hukum Erintuah Damanik dan Mangapul mengajukan kliennya menjadi justice collaborator lewat surat resmi kepada pengadilan. "Pak Mangapul dan Pak Erintuah bersedia diperiksa sebagai saksi kapan pun yang diinginkan JPU (jaksa penuntut umum)," kata pengacara dua terdakwa tersebut, Philipus Sitepu, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 19 Februari 2025.
Alasan pengajuan JC itu, kata Philipus, karena saksi-saksi yang telah dihadirkan jaksa di persidangan belum bisa membuktikan tindak pidana ini. Keterangan Erintuah dan Mangapul dapat menjadi kunci untuk membuktikan adanya pidana suap dan gratifikasi pengurusan perkara Ronald Tannur.
Ditemui usai persidangan, Philipus mengatakan Erintuah dan Mangapul sudah menyesali perbuatannya. Mereka berdua juga ingin berubah dan memperbaiki diri. Sebagai bukti, dua kliennya itu telah mengembalikan uang yang mereka terima kepada Kejaksaan. Pengembalian itu dilakukan lewat istri mereka. "Jadi total yang diserahkan oleh klien kami itu 115 ribu dolar Singapura," ujarnya. "Apalagi klien kami ini sudah tua, jadi tidak ingin persidangan yang berlarut-larut."
Satu anggota majelis hakim perkara Ronald Tannur yang juga menjadi terdakwa, Heru Hanindyo, tidak mengajukan diri menjadi justice collaborator. Penasihat hukum Heru, Farih Romdoni, mengatakan konsep itu untuk pelaku yang membantu menguak peristiwa pidana sedangkan Heru bersikukuh tak terlibat dalam kasus suap pengurusan perkara Ronald Tannur.
"Jadi, bagaimana kami bisa mengajukan klien kami sebagai JC kalau klien kami tidak pernah terlibat dalam kasus ini?" ucap Farih usai persidangan. "Makanya ketika ada justice collaborator ini, kami cukup kaget lah, siapa lagi yang mau dikenakan?"
Dia mengklaim, hingga saat ini tidak ada saksi yang menyatakan kenal Heru Hanindyo. Bahkan, tidak ada saksi yang bilang Heru menerima sesuatu.
Dalam perkara ini, tiga hakim PN Surabaya didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar dan S$ 308 ribu (sekitar Rp 3,67 miliar). JPU menduga hadiah atau janji itu untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada tiga hakim tersebut. Ketiganya diduga telah mengetahui uang yang diberikan oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahcmat, adalah untuk menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap kliennya dari seluruh dakwaan penuntut umum.
Selain itu, jaksa penuntut umum mendakwa Erintuah Damanik menerima uang gratifikasi dalam berbagai mata uang. Duit uang diterima itu sebesar Rp 97,5 juta, S$ 32 ribu, dan RM 35.992,25.
Mangapul juga didakwa menerima gratifikasi. Ia diduga menerima uang tunai sebesar Rp 21,4 juta, US$ 2.000, dan S$ 6.000.
Sedangkan Heru Hanindyo didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 104.500.000 atau Rp 104,5 juta, US$ 18.400, S$ 19.100, ¥ 100.000, € 6.000, dan SR 21.715.
Ketiga hakim PN Surabaya itu didakwa menerima suap ihwal vonis bebas Ronald Tannur yang melanggar Pasal 12c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas penerimaan gratifikasinya, ketiganya didakwa melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.