Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kawin Kontrak Jabal Sampay

Kebutuhan uang membuat mereka mau menjadi istri kontrak. Padahal, menurut hukum Islam, menikah tidak bersifat sementara.

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kawasan Puncak, Bogor, masih terasa sejuk meski matahari telah tinggi. Di ujung Jalan Sindang Subur, Cisarua, sejumlah tukang ojek menanti penumpang. Jalan ini hanya berjarak tiga kilometer dari pertigaan Jalan Raya Cisarua menuju Taman Safari.

Dari Jalan Sindang Subur itulah tiga desa yang terkenal sebagai tempat turis Timur Tengah ”berwisata” dapat dicapai: Desa Tugu Utara, Desa Tugu Selatan, dan Desa Citeko. Desa-desa ini selalu menjadi tujuan karena di sinilah mereka bisa mendapatkan perempuan yang mau diperistri meski hanya dalam hitungan minggu. Istilah kerennya: kawin kontrak.

Meski disebut desa, tak terlihat satu pun rumah gubuk beratap rumbia berdinding gedek. Desa penuh rumah-rumah batu, tampak modern, bercat mencolok. Di ujung pertigaan jalan menuju desa itu berjejer rumah toko.

Di Kampung Sampay, Desa Tugu Utara, Kamis pekan lalu, Tempo menjumpai puluhan tempat sewa: dari vila mewah, bertingkat, dan berpagar besi tinggi-tinggi hingga wisma-wisma ala kadarnya. Beberapa warung telepon, restoran, dan biro perjalanan memajang tulisan Arab pada kaca jendela atau pintunya. Sungguh tak terasa suasana pedesaan di kampung yang juga dikenal sebagai Warung Kaleng ini. Para turis menyebutnya Jabal Sampay. Dalam bahasa Arab, jabal berarti bukit.

Di beberapa vila, tampak orang-orang berwajah Timur Tengah asyik mengobrol. Di antaranya mengisap shisha. Tak banyak memang warga Timur Tengah yang Tempo temui. Turis asal Timur Tengah banyak berdatangan di saat liburan, yakni sepanjang Maret-April atau Oktober-November. Di bulan-bulan itulah musim kawin kontrak tiba. Vila dan wisma laku keras tersewa. ”Sewanya bisa sampai dua bulan,” kata Wina, penjaga warung telepon.

Liburan mereka ke Cisarua biasanya difasilitasi biro perjalanan dari negara asal. Mereka kerap datang berombongan 5-10 orang. Begitu mereka sampai, calo-calo kawin kontrak sudah menanti.

Diana, 29 tahun, mengaku sudah empat kali menjadi istri kontrak lewat calo bernama Salim. Maskawin yang ditawarkan bernilai Rp 3 juta. Tapi janda dua anak ini hanya menerima sete­ngahnya. ”Setengahnya lagi diambil Salim,” katanya.

Menjadi istri kontrak, kata dia, biasanya cuma satu bulan. ”Kalau lagi mujur, bisa dua bulan,” ujarnya. Lebih mujur lagi jika seperti teman Diana, yang dibawa ke Arab Saudi oleh suami kontraknya. ”Jadi penjaga toko,” Diana menuturkan.

Selain karena alasan uang, Diana mau menjadi istri kontrak karena caranya sah menurut agama Islam. ”Saya dinikah siri, ada saksi dan wali nikah,” tuturnya—meski yang menjadi wali bukan orang tua atau anggota keluarga, melainkan anggota jaringan kawin kontrak. Selama menjadi istri kontrak, Diana mengaku diberi uang belanja Rp 500 ribu per hari. Dengan uang itulah dia menghidupi anak yang dititipkan pada orang tuanya di Jalan Salemba, Jakarta. Tapi, gara-gara itu juga, Diana bersama lima temannya pernah digelandang polisi, tiga tahun silam.

Sebenarnya, sebagian warga Warung Kaleng sudah gerah dengan kebiasaan kawin kontrak. Menurut Nurjaman, tukang ojek, sejak 2006, sudah tak ada lagi perempuan yang mau jadi istri kontrak. Apa daya, jaringan calo sudah terlampau mengakar. Mereka seolah memba­yang-bayangi warga. Kalau tidak mendapat perempuan dari Warung Kaleng, mereka mendatangkannya dari luar Bogor, seperti Cianjur atau Sukabumi. ”Kebanyakan pekerja seks komersial,” kata Nurjaman.

Sekretaris Desa Tugu Utara, Baini, mengaku tak punya data berapa jumlah pelaku kawin kontrak. Sebab, tak ada warga yang melaporkannya. Beberapa kali aparat desa bersama polisi merazia pelaku kawin kontrak. ”Ternyata perempuannya ada yang dari Semarang,” ujarnya.

Cap ”surga kawin kontrak” bagi Kampung Sampay memang tak mengenakkan. Tapi Baini tak bisa memungkiri, kedatangan turis Timur Tengah menaikkan taraf hidup warga desanya. Itu tampak dari menjamurnya rumah kontrak, warung makan, atau telepon yang dimiliki warga.

Apa pun alasannya, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia Bogor Kiai Haji Ahmad Mukri Aji, mayoritas ulama fikih menyatakan nikah kontrak atau nikah mut’ah itu haram. Dalam hukum Islam, kata dia, menikah bersifat permanen, tidak sementara. ”Sebab, yang hendak dijangkau adalah kebahagiaan keluarga, anak, dan keturunannya,” tuturnya.

Deffan Purnama, Diki Sudrajat (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus