SIAPA sangka "peradilan rakyat" masih ada di Indonesia. Bayangkan, seorang hakim Pengadilan Negeri Lahat, Achmad Zaini, yang bersidang di Tebingtinggi, Sumatera Selatan, dalam satu hari menyidangkan 26 berkas (dari 32 kasus) sejak dakwaan hingga vonis hakim. Persidangan itu, seperti disaksikan TEMPO Selasa pekan lalu, "dikebut" Zaini sejak pukul 11.00 hingga 22.00. Diterangi lampu petromaks pula. Pada hari itu, secara bergiliran, 62 orang terdakwa menghadap Zaini. Sekitar 200 pengunjung, umumnya keluarga terdakwa, memadati ruang sidang berukuran 6 X 5 meter itu. Hanya sekitar 50 orang yang bisa menyaksikan secara berdiri atau duduk di lantai ruang sidang -- maaf, bangku hanya untuk terdakwa. Sisanya bergerombol di jendela atau "nguping" di balik dinding. Jika lapar, mereka menyantap nasi rantangannya. Atau makan di beberapa lepau yang muncul bak "pasar kaget". Mestinya, sesuai dengan KUHAP, meja hakim lebih tinggi daripada meja jaksa. Tapi apa boleh buat di ruang sidang tersebut hakim, jaksa, terdakwa, dan panitera duduk sejajar. Penasihat hukum duduk di sisi terdakwa. Gaya "persidangan rakyat" itu rupanya berlangsung sekali sebulan dan sudah bertahun-tahun dilaksanakan. Semua perkara dipimpin hakim tunggal. Padahal, perkara yang diadili rata-rata diancam minimal 5 tahun penjara -- seharusnya hakim majelis. Pada hari itu, misalnya, Zaini memeriksa Syafei, Ujang, dan Marsuk yang dituduh memperkosa Astuti dan merampok harta korban. Tapi, ini "pintarnya", panitera tetap mencatat bahwa persidangan itu dipimpin tiga hakim yaitu, Achmad Zaini, Ali Akmal, dan Yazid Lukalulu. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Lahat, Muhamad Rawuh, pun menyebutkan ketiga hakim itu bersidang majelis. Kendati begitu, semua aparat Pengadilan Negeri Lahat sudah mafhum keadaan itu. Jumlah hakim yang hanya 10 orang menjadi alasan. Padahal, tempat persidangan tak hanya di Tebingtinggi, tapi juga di Lahat dan Pagaralam. Dan jumlah perkara di Tebingtinggi bertimbun pula. "Bila tidak demikian, perkara semakin banyak bulan depan," dalih Wakil Ketua Pengadilan Negeri Lahat, Soebagijo. Menurut Zaini, keadaan itu malah tak seburuk tahun-tahun lalu. Pada 1986-1989, katanya, setiap bulan bahkan di Tebingtinggi muncul 50 kasus yang harus diselesaikan. Karena itu, setiap hakim mendapat belasan perkara. Pengadilan, konon, pernah mengusulkan agar persidangan di Tebingtinggi berlangsung sekali seminggu. Tapi selain kesulitan dana, jaksa juga sukar menghadirkan saksi. Padahal, jarak Lahat-Tebingtinggi hanya 76 km bisa ditempuh dua jam dengan bis dengan ongkos Rp 1.000 per orang. Tapi, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Tebingtinggi, Maruli Pardede, menilai cara itu memenuhi asas peradilan yang cepat dan murah. Dengan cara sekarang saja, kejaksaan terpaksa mengantar surat panggilan untuk saksi, tiga pekan menjelang sidang. Toh persidangan gaya Tebingtinggi itu disesalkan pengacara LBH Palembang, Bambang Harianto. Ia khawatir persidangan itu tak akan bisa menemukan kebenaran formal dan material. Musyawarah majelis sebelum vonis, misalnya, kerap tidak ada. Semua terdakwa yang umumnya orang miskin itu tak pula didampingi penasihat hukum. Contohnya, pada Selasa itu hanya satu perkara yang didampingi pengacara. Tapi hakim pun "arif" dan tak lupa menanyai terdakwa. "Apakah kamu didampingi pengacara?" tanya hakim. Rata-rata para terdakwa menggeleng karena -- selain mungkin tak mengerti -- juga tak punya uang untuk pengacara. Padahal, pengadilan wajib menunjuk pengacara -- kalau perlu prodeo -- untuk tersangka yang diancam hukuman 5 tahun ke atas. Tapi itulah "peradilan rakyat". Bersihar Lubis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini