SATU orang saksi bukanlah saksi. Asas hukum itulah yang menyelamatkan Muchdarsyah Sinungan, 45 tahun, dari jaring hukum. Anggota MPR dan Ketua Bagian Sosial-Ekonomi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) itu, Selasa pekan lalu, dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dari tuduhan menganiaya pembantu rumah tangganya, Sulastri. Menurut majelis hakim, yang diketuai Eddy Djunaedi, tuduhan penganiayaan itu hanya berdasarkan keterangan saksi Sulastri saja. Sebaliknya, Muchdarsyah menyangkalnya. Sembilan saksi yang dihadapkan di sidang tidak melihat langsung penganiayaan tersebut. Padahal berdasarkan prinsip unus testis nullus testis (pasal 185 ayat 2 KUHAP) tadi, sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti (saksi). Sementara itu, majelis hakim mengganjar istri Muchdarsyah, Nyonya Susilawati, yang sehari-hari dipanggil Susi, dengan hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Begitu pula tiga adik Susilawati -- Tjindar Atuwinsyah, Maya, dan Tjindar Yuliansyah -- masing-masing dihukum setahun penjara. Mereka terbukti pada 1985-1987 melakukan penganiayaan ringan terhadap Sulastri. Vonis itu seakan-akan antiklimaks dari kasus penganiayaan Sulastri alias Lastri, 17 tahun. Kasus yang sempat menghebohkan pada tahun lalu itu seakan-akan potret ketidakberdayaan "wong cilik" terhadap orang yang menguasainya. Persoalan itu semakin menarik perhatian karena Muchdarsyah adalah tokoh buruh (pengurus DPP SPSI) dan anggota MPR. Menurut dakwaan Jaksa J.K. Napitupulu, Lastri selama dua tahun menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Muchdarsyah, 1985-1987, tak henti-hentinya disiksa keluarga majikannya. Hanya gara-gara hal sepele -- seperti lamban menyelesaikan pekerjaan -- pembantu asal Lampung itu sudah ditempeleng atau ditendang. Lastri juga kerap dipukul dengan sapu lidi, bahkan ditempeli setrika panas, ditusuk pisau, dan ditembak dengan senapan angin. Azab berkepanjangan itu tak hanya dialami Lastri selama setahun bekerja di rumah Muchdarsyah di Perumahan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Lastri, yang waktu itu masih berusia 12 tahun, merasakan siksaan serupa ketika dipindahkan ke rumah orangtua Nyonya Susilawati di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Di rumah itu ia disiksa ketiga adik Susi. Akibat penyiksaan itu, sekujur tubuh Lastri penuh luka. Hidungnya bekas "digerus" ulekan cabai, paha dan tangannya bekas disayat dan luka bakar. Batok kepalanya pitak melebar. Ia bisa kabur dari rumah itu berkat pertolongan tetangga, pada Juli 1987. Para tetangga itu pula yang kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polsek Tanah Abang. Sementara itu, Lastri, yang cuma sekolah sampai kelas V SD, ditampung di rumah keluarga Kepala Unit Binmas Polsek Tanah Abang, Toekiman. Anehnya, laporan para warga tadi baru dua tahun kemudian diproses polisi. Itu pun setelah pengaduan serupa disampaikan warga melalui Kotak Pos 5000. Ternyata, setelah kasus itu disidangkan setahun lebih, majelis hakim menolak sebagian tuduhan jaksa, terutama dalam hal keterlibatan Muchdarsyah. Penyebabnya, ya, faktor saksi tadi. Apalagi dua orang saksi ahli tak dapat memastikan luka-luka Lastri itu memang akibat pemukulan. Akan halnya Susi, 36 tahun, menurut majelis, hanya terbukti memukul Lastri dengan sapu lidi. Ketiga adiknya, selain terbukti menempeleng pembantu itu, juga dianggap bersalah membiarkan Lastri sengsara dengan luka di sekujur tubuh. Dalam pertimbangannya, majelis tak lupa memaparkan kualitas Lastri selaku saksi. Pada Agustus 1988, pembantu itu pernah dihukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 2 bulan 15 hari penjara karena mencuri anting dan giwang majikannya, Nyonya Lisa. Rupanya, setelah lima bulan tinggal di rumah keluarga Toekiman, Lastri kabur dan bekerja di keluarga Nyonya Lisa di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Atas vonis itu, tentu saja Muchdarsyah gembira. "Keputusan hakim yang bijaksana," ujar Muchdarsyah. Ia menambahkan bahwa hingga kini keluarganya tak pernah menggunakan jasa pembantu rumah tangga, selain Lastri dulu. Pengacara keluarga Muchdarsyah, Henry Yosodiningrat, berpendapat kelima kliennya itu mestinya dibebaskan. "Kalau memang terjadi penempelengan atau pemukulan, konteksnya kan seperti guru memukul murid yang nakal," kata Henry, yang justru akan menjalani hukuman dua tahun penjara akibat kasus kecelakaan lalu lintas di Lampung. Lastri sendiri, yang tak hadir di persidangan, kaget mendengar vonis "ringan" untuk majikannya itu. "Nggak tahu deh saya mau apa lagi. Padahal, saya nggak bohong," ucap Lastri, yang sudah dua tahun ini tinggal di keluarga Toekiman. Bekas luka di tubuhnya masih terlihat. Yang jelas, nasib Muchdarsyah lebih bagus ketimbang Hadi Agus Bujang di Padang, Sumatera Barat. Hadi, pegawai kantor gubernuran, pada 1988 divonis tiga tahun penjara karena menyiksa pembantunya. Begitu juga Nyonya Rosdiana Silitonga di Bekasi, Jawa Barat, Februari lalu, dihukum 3 bulan penjara karena menganiaya pembantunya, Rominah. Dalam kasus Rominah tak ada masalah alat bukti, yang biasanya sulit ditemukan dalam kasus penganiayaan semacam ini. Soalnya, selain keterangan Rominah, ada kesaksian adik korban, yang juga menjadi pembantu Rosdiana, cukup untuk membuat terdakwa tidak berkutik. Dari kedua kasus itu memang terungkap, keluhan majikan -- yang tak sabar -- bahwa pembantunya selain kurang terampil, juga berkelakuan buruk. Bagaimanapun majikan tak berhak menghukum pembantu seenaknya. "Seburuk-buruknya kelakuan mereka, hendaknya jangan dihakimi sendiri. Serahkan kepada yang berwajib," kata Hakim Eddy Djunaedi. Seandainya dihakimi sendiri, toh tak ada saksi. Heppy S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini