BUKAN sekali ini gara-gara pemberitaan yang melibatkan Nabi Muhammad saw., sebuah media pers digugat dan dicaci banyak orang. Dan bukan sekali ini pula gara-gara hal tersebut sebuah kantor perusahaan pers dirusak massa. Nasib yang menimpa majalah Monitor pernah juga dialami oleh majalah Sastra, yang pada akhir 1960-an berkantor di bilangan Kramat, Jakarta Pusat. Pasalnya bermula dari sebuah cerita pendek yang berjudul Langit Makin Mendung karangan Kipanjikusmin, yang dimuat di majalah bulanan itu pada edisi Agustus 1968. Cerita fiksi sepanjang enam halaman itu antara lain menceritakan Nabi Muhammad saw., yang memohon izin kepada Tuhan, cuti ke bumi untuk melakukan riset, karena "akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga". Selanjutnya diceritakan pula bahwa sejumlah nabi lainnya dalam keadaan "bosan dengan status pensiunan nabi di surga loka". Mereka lalu menyusun petisi agar "diberi cuti bergilir turba ke bumi". Kipanjikusmin mendeskripsikan Tuhan, yang mengenakan kaca mata model kuno dari emas, "terpaksa menggeleng-gelengkan kepala" setelah membaca petisi tadi. Waktu itu gelombang protes berdatangan. Suara keras lebih dulu datang dari Medan, dan kerusuhan hampir meletus di sana setelah seorang ulama mengungkapkan ihwal "penghinaan terhadap Islam" itu. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran Sastra. Di Jakarta, sekolompok pemuda menyerbu dan merusak kantor majalah Sastra. Dalam edisi berikutnya, Kipanjikusmin menyatakan mohon maaf dan mencabut cerpennya itu. Upaya ini ternyata tak mempengaruhi aparat hukum untuk menyeret Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Majalah Sastra, H.B. Jassin, ke meja hijau pada Februari 1970. Tak kurang ulama terkemuka seperti Hamka ikut menyesalkan pemuatan cerita fiksi itu. Sekalipun begitu Hamka berharap kalau toh Jassin divonis, hukumannya seringan mungkin. Jassin, yang menggunakan hak tolak alias hak ingkar, melindungi nama penulis aslinya -- hingga sampai sekarang belum ketahuan siapa sebenarnya. Ia mengambil alih tanggung jawab dan menganggap tulisan itu sebagai karya imajinasi. "Yang Saudara adili di sini bukanlah H.B. Jassin, bukan Kipanjikusmin, bukan Langit Makin Mendung, tapi imajinasi," kata Jassin dalam pembelaannya di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akhirnya, ia dihukum 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Tapi, pengalaman yang paling mencekam dialami oleh Salman Rushdie. Pengarang novel The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) itu sejak awal tahun lalu hingga kini masih terus bersembunyi di Inggris. Novelnya itu dianggap menghina Nabi Muhammad saw. Di situ Nabi digambarkan "sangat bejat, kejam terhadap wanita, jahat, dan selama bertahun-tahun hidup dari merampas harta orang". Banyak negara -- khususnya negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam -- mengutuk Rushdie dan sekaligus melarang peredaran buku itu. Bahkan mendiang Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, memvonis hukuman mati buat Rushdie. Dan ia menjanjikan hadiah US$ 2,6 juta kepada siapa saja yang bisa membunuh Rushdie. Sebetulnya, apa yang pernah dilakukan oleh mendiang John Lennon juga terhitung perbuatan yang nekat dalam hal menghina nabi. Pemusik kondang itu pada 1964 pernah memproklamasikan kelompok musiknya, The Beatles, lebih terkenal ketimbang Yesus Kristus. Ia malahan nekat mengarang lagu yang liriknya antara lain mencemoohkan Yesus. Kontan para pemimpin Gereja mencak-mencak. Piringan hitam The Beatles dibakar. Akhirnya Lennon menyadari ulahnya yang kontroversial itu. "Maaf, saya tak bermaksud menjadi orang yang antiagama," ujarnya kemudian. Arswendo memang bukan Jassin, bukan juga Rushdie, atau Lennon. Dan "dosa"-nya pun juga masih bisa diperdebatkan apakah sebanding dengan yang pernah dibuat oleh Jassin atau Rushdie dalam hal menghina Nabi Muhammad saw. Suatu hal yang berbeda dengan Jassin atau Rushdie, Arswendo memang tak membuat cerita fiksi. Tapi ia membuat peringkat 50 tokoh yang dikagumi pembaca Monitor berdasarkan kartu pos yang masuk dan diiming-imingi hadiah total sebesar Rp 5 juta. Boleh jadi, karena ada embel-embel "pengumpulan pendapat" seperti itu, penentuan peringkat 50 tokoh tadi -- yang menempatkan Nabi Muhammad saw. di peringkat ke-11 seolah-olah mempunyai landasan legitimasi. Padahal, menurut Soetjipto Wirosardjono, ahli statistik dan juga pengamat sosial, angket yang dibikin oleh Monitor itu tidak terfokus tujuannya dan sasaran respondennya. "Jadi, sensitivitas dari hasil angket itu tak tajam lagi," katanya. Selanjutnya, kata Soetjipto lagi, masyarakat mungkin saja tak akan bereaksi apa- apa kalau hasilnya tak diangkat begitu, dan apalagi, "kalau angketnya bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Heboh gara-gara angket memang bukan sekali ini terjadi. Dua tahun yang silam majalah Matra pernah bikin geger karena pemuatan hasil angketnya yang menyimpulkan: dua pertiga pria di Jakarta pernah melakukan penyelewengan atau hubungan seksual di luar nikah. Kritik terhadap angket itu berdatangan. Banyak yang mempertanyakan metodologi pengumpulan datanya setelah tahu bahwa respondennya cuma 499 orang. "Apakah itu sudah bisa mewakili sekitar 3,5 juta pria di Jakarta?" tanya Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Angket yang menyinggung soal seks memang selalu menarik perhatian banyak orang. Eko, seorang siswa kelas III SMA di Yogyakarta, pada 1983 juga pernah dibikin gempar tatkala membuat angket seks yang diedarkan kepada teman-temannya di SMPP 10 Yogyakarta. Dari hasil angketnya itu, antara lain, terungkap bahwa 8,5% respondennya bila berpacaran selain berciuman juga melakukan senggama. Dan lebih dari 10% menganggap bersenggama sebelum menikah adalah wajar. Hasil penelitian Eko ini kemudian dimuat di koran Yogya Minggu Pagi. Reaksi masyarakat: ada yang pro dan kontra. Soalnya, hasil itu memang "menyeramkan" karena memperlihatkan kondisi moral siswa di sekolah itu. Tak kurang Kanwil Departemen P & K Yogya -- ketika itu dijabat G.B.P.H. Poeger -- mengecam dan menuding angket itu tak bisa dipertanggungjawabkan, dan Eko dinilai telah mencemarkan nama baik sekolahnya. Ia kemudian "dipaksa" pindah ke sekolah swasta di Yogyakarta yang jam belajarnya malam hari. "Musibah" karena soal penelitian pada 1972 pernah juga menimpa PT Suburi -- sebuah perusahaan asing di Jakarta yang bergerak di bidang survei dan riset. Direktur perusahaan itu, John M. di Gregorio, yang berasal dari Amerika, sempat dituduh melakukan kegiatan subversif oleh Amirmachmud, yang ketika itu menjabat Menteri Dalam Negeri. Ceritanya bermula dari laporan dua mahasiswa Universitas Diponegoro yang melapor kepada Satuan Tugas Intelijen Kodam Diponegoro. Mereka merasa curiga melihat kerangka survei PT Suburi yang antara lain meminta pendapat masyarakat tentang delapan tokoh nasional, dan di situ tercantum nama Presiden Soeharto di urutan ketiga. Padahal, seperti kata Harijadi S. Hartowardojo, salah seorang pendiri perusahaan itu, "Presiden Soeharto dicantumkan dalam urutan ketiga, karena dalam metodologi riset, pertanyaan itu haruslah obyektif dan tidak memberikan sugesti kepada responden. Karena tokoh yang dianggap penting selalu ditempatkan pada tempat yang tak mencolok," ujarnya. Namun, apa pun penjelasannya, pihak keamanan tampaknya percaya betul bahwa apa yang dilakukan oleh PT Suburi adalah berbahaya buat keselamatan negara. "Ini semacam spionase," kata seorang pejabat militer di Semarang, ketika itu. Izin operasi Suburi akhirnya dicabut. Semua itu menunjukkan, membuat angket atau pengumpulan pendapat harus berhati-hati. Apalagi kalau mengenai hal yang peka, lebih-lebih bila metodologinya tak diperhatikan benar. Seperti dalam kasus Monitor sekarang ini. Ahmed K. Soeriawidjaja, Sri Pudyastuti R, dan G. Sugrahetty Dyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini