Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Keadilan utang 20 tahun lalu

Keluarga almarhumah ny. dariyah kehilangan 2 rumahnya di jalan bawang putih, jakarta. dieksekusi pengadilan. diserahkan kepada penggugat, firman. pasalnya ny. dariyah 20 tahun lalu punya utang rp 80 ribu.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEADILAN -- maaf -- memang bukan untuk orang kecil seperti anak-anak Nyonya Dariyah. Rabu pekan lalu, keempat orang anak almarhumah Nyonya Dariyah, yang meninggal pada 1987, dengan paksa diusir dari rumah mereka di atas tanah seluas 200 m2 di Jalan Bawang Putih 3, Jakarta Utara. Petugas pengadilan dibantu petugas keamanan mengeluarkan semua perabot rumah dan menggeletakannya di pinggir jalan. Ini untuk kedua kalinya mereka mengalami kejadian serupa. Pada 1987, mereka sudah kehilangan sebuah rumah warisan ibunya, juga seluas 200 m2, dan bernilai jutaan rupiah, di sebelah rumah nomor 3 itu. Kedua rumah itu dieksekusi pengadilan hanya karena Dariyah berutang Rp 80 ribu, 20 tahun lalu. Pada eksekusi Rabu pekan lalu itu, tiga orang anak almarhumah -- Syamsudin, Nuraini, serta Hafzah -- didampingi pengacara mereka dari LBH Jakarta, Abdul Fickar Hadjar dan Johnson Panjaitan, sempat bertahan di tempat berlindung mereka yang terakhir itu. Mereka memohon agar pengadilan menangguhkan eksekusi tersebut. Sebab, kata mereka, untuk melunasi utang almarhumah, mereka sudah menyerahkan sebuah rumah mereka di Jalan Bawang Putih 1 pada 1987. Petugas eksekusi menyarankan agar mereka menyampaikan permohonan itu ke ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tapi ketika mereka berusaha menemui ketua pengadilan, Soenarso -- dan ternyata gagal -- petugas pengadilan, dibantu polisi dan tentara, telah mengosongkan rumah tersebut. "Padahal, Ibu tak pernah menjual rumah ini kepada siapa pun," ujar Syamsudin, 27 tahun. Kedua rumah itu, menurut Syamsudin, berdiri di atas tanah bekas eigendom (beralaskan hak Barat), yang kemudian menjadi tanah negara -- berstatus hak sewa dari PN Pelabuhan Tanjungpriok -- dan dimiliki ibunya sejak 1967. Pada 1969, Dariyah meminjam uang secara bertahap, Rp 10 ribu sampai Rp 40 ribu, sehingga mencapai jumlah Rp 80 ribu, dari Pimpinan Yayasan Bank Suma, M. Arweys Ams. Sebagai jaminannya, ia menyerahkan surat-surat rumah Jalan Bawang Putih 1 tadi. Setahun kemudian, Arweys menagih utang yang berbunga 20% sebulan itu. Dariyah menyanggupi pembayarannya dengan cara Arweys memungut langsung uang sewa rumah dari para penyewa rumah nomor 1 itu, di antaranya Nyonya Kapoyos. Dalam perhitungan Dariyah, selama tiga tahun Arweys memungut sewa rumahnya sebesar Rp 129.600, berarti utangnya sudah lunas. Tapi setelah itu Arweys tak pernah muncul. Dariyah tak pula berhasil mencari orang itu untuk menyelesaikan utang-piutangnya. Kabarnya, Arweys sudah meninggal dunia, sementara Yayasan Bank Suma bubar karena bangkrut. Pada 1976, tiba-tiba muncul Firman Harahap, seorang purnawirawan ABRI, yang mengklaim bahwa rumah nomor 1 itu sudah menjadi miliknya. Menurut Firman, pada 1970 rumah itu diperolehnya dari Yayasan Bank Suma. Ketika Bank Suma bangkrut, Firman punya deposito Rp 300 ribu di bank tersebut. Untuk mengganti deposito itu, ia ditawari rumah tadi seharga Rp 500 ribu, sehingga ia harus membayar Rp 200 ribu lagi. "Daripada uang saya hilang, ya, saya ambil saja rumah itu," tutur Firman. Sejak itu Firman menguasai rumah tersebut, dan mengambil alih hubungan sewa dengan para penyewa. Tapi, dalam penuturan Firman, pada 1977 Dariyah kembali menguasai rumah itu. Para penyewa juga tak mau angkat kaki, kendati masa sewa sudah habis. Sebab itu, Mei 1982, Firman menggugat Dariyah dan dua penyewa lainnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis hakim, yang diketuai Waluyo Sedjati, menghukum Dariyah agar menyerahkan rumah nomor 1 itu kepada Firman. Anehnya, Hakim Waluyo Sedjati juga mengharuskan tergugat membayar ganti rugi sewa bulanan sejak mereka mangkir, tahun 1977. Dariyah, contohnya, diwajibkan membayar uang sewa Rp 30 ribu per bulan sejak Agustus 1980. Belakangan, putusan ini dikukuhkan pengadilan banding dan kasasi. Pada 1987, rumah nomor 1 bisa dieksekusi dan diserahkan kembali kepada Firman. Tapi persoalan belum tuntas. Sebab, Dariyah tak mampu melunasi ganti rugi itu. Sampai Mei 1988, ganti rugi itu membengkak menjadi sekitar Rp 3 juta. Akibatnya, rumah kedua (nomor 3) dilelang seharga Rp 5 juta, yang dimenangkan Aruji Kiswanto, mantu Firman Harahap sendiri. Tapi eksekusi lelangnya pada Maret 1989, ternyata gagal, karena Syamsudin sekeluarga bertahan di rumah itu. Akibatnya, ayah dua anak itu dipidana 3 bulan penjara, sementara seorang penyewa, Nyonya Kapoyos, kena 6 bulan penjara dengan masa percobaan setahun. Baru pada Rabu pekan lalu itulah eksekusi bisa berlangsung mulus. Toh Syamsudin bersaudara, juga para penyewa, tetap bersikukuh tak hendak hengkang dari situ. "Saya akan mempertahankan rumah satu-satunya ini sampai mati," tuturnya. Nyonya Kapoyos juga bersikap serupa. "Kalau bukan ahli waris Nyonya Dariyah selaku pemilik yang mengusir, saya akan bertahan di sini sampai mati," ucapnya. Sikap itu tentu saja mengundang amarah Firman. "Kepalang basah. Kalau mereka tetap membandel, akan saya traktor rumah itu," kata Firman, yang menyatakan sudah merenovasi rumah itu sampai menghabiskan biaya Rp 8 juta. Firman mengaku, ia sudah cukup lama bersabar menanti itikad baik dan kesanggupan lawannya untuk melunasi ganti rugi. Tapi yang diterimanya, katanya, selalu caci-maki dan dituduh sebagai rentenir. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Soenarso, menyatakan bahwa perkara rumah tersebut sudah selesai. "Eksekusinya juga sudah sempurna," ujarnya. Sebetulnya, kata Soenarso, Syamsudin sudah diberi kesempatan untuk menjual rumah itu dengan harga yang lebih besar, untuk kemudian melunasi ganti rugi tersebut. Bahkan, atas dasar kemanusiaan, ia sementara diperbolehkan tetap tinggal di situ. Tapi, yang terjadi, ia tetap bertahan di rumah itu. Maka, "Hukum yang harus ditegakkan," kata Soenarso. Happy S., G. Sugrahetty D.K., dan Liston P. Siregar (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus