KENDATI vonis 6 bulan penjara telah jatuh, kesepuluh ompung boru (nenek perempuan), yang Jumat pekan lalu duduk sebagai tersangka di Pengadilan Negeri Tarutung, itu masih tak mengerti kesalahan mereka. "Tidak adil, yang kami perjuangkan kan tanah kami sendiri. Kenapa kami yang dihukum?" kata salah seorang nenek itu, Samaria boru Sitorus, 58 tahun, kepada TEMPO. Tanah mereka? Begitulah keyakinan para ompung boru itu. Tanah berupa bukit Sibarungan, seluas 52 hektare, di ujung barat Desa Sugapa, Kecamatan Silaen, Tapanuli Utara, itu memang warisan dari leluhur mereka, Raja Sidomdom Barimbing. Desa yang berpenduduk 62 kk -- termasuk ke-10 ompung itu -- sudah lebih dari seratus tahun didiami turunan Raja Sidomdom tadi. Bukit itu memang tak pernah dimanfaatkan secara ekonomis. Sekitar 10 tahun lalu, dalam rangka penghijauan, penduduk diperintahkan menanam pinus. Toh tak sebatang pinus pun ada di sana. Tegasnya, bukit itu hanya digunakan sebagai tempat penggembalaan kerbau penduduk Desa Sugapa. Karena menganggap tanah itu milik negara, pada 1987 Pemda Tapanuli Utara memberi izin PT Inti Indorayon Utama (IIU) untuk mengolah tanah tersebut. Perusahaan pabrik kertas itu menanam pohon ekaliptus di bukit tersebut, untuk bahan baku pulp dan rayon. Pengambilalihan tanah itu dianggap Pemda Tapanuli Utara sudah sesuai dengan prosedur setelah 20 penduduk Desa Sugapa menandatangani surat penyerahan tanah untuk diusahakan PT IIU. Tapi, belakangan ketahuan bahwa enam penanda tangan surat penyerahan bukit itu adalah fiktif. Dengan kata lain, penyerahan bukit itu tak pernah dimusyawarahkan dengan seluruh penduduk. Karena itulah, sebagian penduduk menentang kehadiran IIU di bukit tersebut. Mereka menghalangi karyawan PT IIU menanam ekaliptus di bukit tersebut. Tapi, protes penduduk tersebut tak dipedulikan PT IIU. Puncaknya, pukul 8 pagi, 10 April 1989, ke-10 ompung boru tadi mencabuti 16.600 batang ekaliptus yang sudah ditanam di bukit itu. Pihak PT IIU mengadukan ke-10 ompung tadi, Samarian Esti boru Sitorus, 55 tahun, Nan Sinta boru Sibarani, 53 tahun, Saur boru Simanjuntak, 65 tahun, Nursiana boru Sibarani, 50 tahun, Untung boru Panjaitan, 60 tahun, Porman boru Siagian 44 tahun, Nai Marintan boru Hutagalung, 40 tahun, Berti boru Siagian, 53 tahun, dan Restina boru Siahaan, 38 tahun, ke polisi. Menurut Jaksa S. Pangaribuan yang menyeret ke-10 ompung tadi ke pengadilan, akibat tindakan para tersangka PT IIU menderita rugi Rp 15 juta. Tegasnya, seperti dikatakan Ketua Pengadilan Negeri Tarutung, Y.H. Gultom, ke-10 ompung itu telah main hakim sendiri. "Mempertahankan hak dengan merusak barang orang lain paling tidak disukai di negara hukum," kata Gultom. Ketua majelis, Marulam Nababan, menganggap ke-10 ompung itu, yang di dampingi pembela Mangaliat Simarmata, terbukti bersalah berbuat kejahatan dengan merusak barang. "Mereka menghalangi pembangunan," kata Nababan. Kendati begitu, Nababan menganggap vonisnya cukup ringan. Ancaman hukuman untuk kejahatan ini maksimal 5 tahun 6 bulan. "Hukuman untuk mereka tidak berat, karena sudah dikorting 5 tahun dari ancaman maksimal," kata Gultom. Tapi, itu tadi, ke-10 ompung itu sejak awal yakin tanah itu hak mereka dan kebenaran akan tegak. Sebelum sidang dibuka, misalnya, mereka kor, membawakan sebuah lagu rohani berjudul Tuhan, Tunjukkan Selalu Jalan Kebenaran kepada Kami. Ternyata, selain mereka dinyatakan melakukan kejahatan, pengaduan mereka bahwa PT IIU tanpa hak menyerobot bukit mereka tak kunjung diadili. Monaris Simangunsong dan Mukhlizardy Mukhtar (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini