Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Universitas indonesia perlu digebuk

Universitas indonesia perlu menerima kritikan dari masyarakat luas agar bisa mawas diri dan berusaha lebih baik. ui dicanangkan sebagai "research university" menjelang tahun 2010. ui menatap ke muka.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAR bila pada usianya yang ke-40, 2 Februari lalu, Universitas Indonesia ramai digebuk berbagai kalangan dari luar maupun dari dalam UI sendiri. Keragaman tanggapan, termasuk kritik yang paling pedas, adalah bukti kedewasaan UI sebagai universitas yang selamanya harus memikul tiga beban. Beban pertama adalah namanya: Universitas Indonesia. Sederhana, tetapi sarat makna dan tanggung jawabnya. Tak ada kata sifat atau kata sandang yang mendahului atau menyertainya. Tak perlu dicantumkan kata "Republik" untuk menegaskan komitmen pada kepetingan orang banyak. Tak perlu disebutkan "Islam", "Merdeka", ataupun "Raya" untuk memberi warna khusus. Tak ada tanggal atau nama sakti yang harus dilekatkan padanya untuk menyatakan dirinya tegar menghadap tantangan. Sebab, UI banyak merangkul Universitas Gadjah Mada, Padjajaran, Airlangga, Sjiah Kuala, Cenderawasih. Sebagaimana mereka merangkul UI. Ada juga orang UI-ITB dan orang UI-IPB. Sebab, dulunya Ganesha ITB adalah orang Fakultas Teknik UI dan IPB mekar sebagai institut tersendiri pada 1963. Dan ada dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, yang dulu berjuang bersama-sama Panglima Besar Jenderal Sudirman. Orang luar UI memang mengharap banyak dari UI. Bahkan terlalu banyak sehingga, kalau ada yang dirasakan kurang, kekesalan terhadap UI berlipat ganda. Gelar tak diimbangi prestasi, karena gelar itu dijunjung terlalu tinggi oleh orang luar UI, sedangkan prestasi yang diharap-harap terlalu menjulang. Beban kedua adalah lokasi UI di Jakarta -- tepatnya di Jabotabek. Semua masalah rumit yang berkembang seputar Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi minta "penyelesaian ilmiah" dari UI. Sejak 1970 masalah-masalah industri dan perkotaan minta diselesaikan oleh "orang-orang dari Salemba". Masalah pertanahan, limbah industri, lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dampak terhadap pola reproduksi manusia, senjang kaya-miskin, nasib orang Betawi yang tergusur -- semua ini menuntut perhatian UI. Letak UI di daerah Jabotabek membawa konsekuensi lain, yakni "derita" sebagai orang Jakarta yang sok tahu, kebarat-baratan, kosmopolitan, elitis, borjuis, mapan tak sopan, tidak "merakyat", kehilangan elan, dan seribu satu gebukan lain. Pemukulrataan seperti itu wajar meskipun aneka ragam caci-maki dan kritik sering lebih membuka tabir orang yang melancarkannya daripada menguak hakikat UI karena UI memang sulit dirumuskan. UI yang "otentik" memang tak hanya satu. Lain UI-Salemba, lain UI-Rawamangun, lain UI-Pegangsaan Timur. Bahkan di Kampus UI Depok, hakikat UI dirumuskan secara lain di FT, lain lagi di FMIPA. Beban ketiga, yang dirasakan terberat tetapi sekaligus tak bisa dihindarkan, adalah UI sebagai tolok ukur bagi perguruan-perguruan tinggi lain di Indonesia. Ada perguruan tinggi yang "ingin seperti UI" karena rektor atau beberapa dekannya pernah belajar di UI. Ada juga beberapa perguruan tinggi yang sengaja tidak mau dibandingkan dengan UI karena UI dianggap sebagai suatu kelembagaan yang angkuh, congkak, lupa daratan. Tetapi, bagaimanapun dirumuskan, UI sebagai tolok ukur sadar atau tidak, sengaja atau tidak, selamanya hadir. Bukankah gebukan terhadap UI adalah bukti kehadirannya sebagai perbandingan? Tetapi, jauh lebih penting untuk UI dan orang-orang yang kurang berkenan dengan UI adalah pemetaan UI dalam waktu 20 tahun mendatang. Sebagai ilmuwan dan peneliti, Rektor UI Sujudi mencanangkan UI sebagai research university menjelang tahun 2010. Mengapa research university? Sebab, pergaulan antarbangsa makin ditandai oleh persaingan daya cipta melalui penelitian dan pengembangan. Kelangsungan hidup bangsa dan negara pada akhirnya ditentukan oleh brainpower planning, tidak sekadar manpower planning. UI menatap ke muka karena ketahanan bangsa semakin ditentukan kemampuan diri menjadi "negara niaga", bukan sekadar "negara siaga". Kalau mau survive, harus mampu menjual. Menjual gagasan, menjual pemecahan jalan keluar, menjual keterampilan baru, menjual cara-cara hidup yang akrab dengan gagasan kelestarian lingkungan. Ketaatan UI untuk menjadi research university adalah bagian pertama dari tritunggal UI di masa datang. Yang kedua adalah keterpaduan antara satuan-satuan pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ini memang semboyan lama yang kembali dikumandangkan. Tetapi urgensinya kini makin terasa. Dekan Fakultas Teknik merasakan, industrialisasi untuk sebagian besar adalah masalah persiapan manusia-manusia industri. Dekan Fakultas Ekonomi makin merasakan perlunya mahasiswa ekonomi memperoleh masukan dari bidang ilmu yang dikelola fakultas-fakultas lain. Memang, kenyataan hidup selamanya lebih rumit daripada kenyataan akademis. Karena itulah keterpaduan adalah mutlak. Tritunggal yang ketiga adalah otonomi perguruan tinggi. Pembiayaan pendidikan tinggi makin meningkat. UI sebagai universitas negeri dikontraskan dengan UI sebagai lembaga pendidikan yang berlokasi di daerah mahal. Tuntutan sebagai perguruan tinggi negeri adalah biaya murah, sedangkan desakan sebagai perguruan tinggi di Jabotabek adalah membengkaknya biaya. Karena itu, UI membuka diri terhadap masyarakat sekitarnya. Pada akhirnya keberadaan UI ditentukan juga oleh kemampuannya mengelola secara bertanggung jawab dana tambahan yang diperolehnya melalui penelitian, konsultasi, dan pelatihan. Karena itu, UI merasakan perlunya gebukan-gebukan yang terus-menerus dari masyarakat luas dari seluruh penjuru Tanah Air. Bahkan dari orang-orang UI yang tengah tugas belajar di luar negeri, yang berdiplomasi di kedutaan, konsulat jenderal, perwakilan-perwakilan perdagangan dan industri, serta yang berjuang di bank-bank negara dan swasta. Gebukan-gebukan itu mutlak perlu. Hanya dengan tantangan UI bisa mawas diri dan berusaha menjadi lebih baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus