Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saling Tuding Limbah Sibusuk

Kasus pembuangan limbah di Simpang Busung, Riau, berbuntut saling tuding antara PT Artha Saphala (SA) & Trans Media Asia (TMA). Oc Kaligis, kuasa hukum tma menuduh SA licik. Beberapa pelaku diadili.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBOH kasus limbah berbahaya asal Singapura, yang dibuang ke Simpang Sibusuk, Kepulauan Riau, ternyata berbuntut panjang. Pengacara O.C. Kaligis, kuasa hukum Trans Media Asia (TMA) Ltd., Singapura, yang memasukkan limbah itu ke sini, menuding bahwa kasus itu cuma sekadar muslihat mitra usaha TMA di sini, Kurnia Kartamuhari, bos PT Artha Saphala (AS). Kartamuhari, menurut Kaligis, memanfaatkan kasus itu untuk menguasai usaha bersama mereka berupa penambangan pasir di Desa Simpang Busung, Kecamatan Bintan Utara, Kepulauan Riau. Sebab itu, sejak 30 November 1989, katanya, penasihat TMA, Charles Tow, 67 tahun -- ayah kandung pemilik TMA, Allan Tow -- ditahan polisi. "Setelah memberikan uang, menginvestasikan peralatan, mesin-mesin, teknologi, juga know-how, Charles dijebloskan Kartamuhari ke tahanan," kata Kaligis. Yang membuat Kaligis tak habis pikir, kenapa Kartamuhari, yang memperoleh royalti Sing.$ 1,20 per m3 pasir yang diekspor, cuma menjadi saksi dalam kasus itu. Padahal, sambungnya, bagaimanapun bekas promotor tinju itu tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Kedua perusahaan itu, sejak Agustus 1988, secara patungan telah mengekspor 212.500 m3 pasir, bernilai sekitar Rp 3 milyar, ke Singapura. Pasir itu mereka gali dari ladang pasir PT AS seluas 34 ha di Simpang Busung. Kerja sama itu baru berantakan sebagai akibat hebohnya kasus limbah industri dari Singapura, pada Mei silam. Ketika itu, TMA ketahuan membuang sekitar 150 ton cairan padat berwarna hijau kotor. Menteri Lingkungan Hidup Singapura, Ahmad Mattar, sempat menenangkan pihak Indonesia bahwa bahan kimia itu berasal dari sisa industri sabun di sana, yang tak berbahaya, dan disebut soap noodles alias mi sabun. Tapi Menteri KLH Emil Salim, setelah turun tangan bersama Mabes Polri, menduga mengandung bahan kimia berbahaya. "Ada logam berat di dalamnya," katanya, seusai menghadap Presiden. Sebab itu, ia memerintahkan agar limbah itu diangkut kembali ke Singapura (TEMPO, 30 Desember 1989). Selain menahan Charles Tow, Polres Kepulauan Riau juga menahan Manajer Lapangan TMA, Supraniam Pillay -- berkewarganegaraan Singapura -- dan nakhoda tug boat TMA yang mengangkut limbah itu, Muhammad Din. Demikian halnya dua orang anak buah Kurnia Kartamuhari: Manajer Lapangan PT AS, Nanang Suhanang, serta Kepala Cabang PT AS di Tanjungpinang, Cheppy Komarudin. Polisi menyidik para tersangka dengan tuduhan penyelundupan limbah, pelanggaran imigrasi, dan pelanggaran Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) tahun 1982. Hanya saja, menurut beberapa petugas, untuk langkah pertama baru tuduhan penyelundupan yang akan diajukan ke pengadilan. Sementara itu, lokasi penambangan pasir kedua perusahaan tersebut kini praktis tanpa kegiatan. Sejak 6 Desember 1989, Bupati Kepulauan Riau, Murwanto, memang memerintahkan agar penambangan itu dihentikan. Bahkan, sejak 8 Desember 1989, polisi menyegel empat buah truk Izusu roda 10 milik PT AS, tiga tongkang dan dua tug boat TMA. Limbah berbahaya itu, yang berupa tiga gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumputan, kini dikelilingi pagar tali plastik bersegel polisi. Belum bisa dipastikan kapan limbah itu akan "pergi" dari sana. Agaknya, tindakan itu masih harus menunggu proses hukum para terdakwa, yang diperkirakan akan disidangkan pada bulan ini. Yang jelas, kini kasus limbah tersebut berbuntut saling tuding antara PT AS dan TMA. Menurut Kaligis, pada awal 1989 TMA terpaksa mengangkut kembali sekitar 1.000 ton limbah industri milik Philip Ang dari Kimmin Marine & Engineers Singapura. Sebab, limbah itu ditolak calon pembelinya di Johor, Malaysia, karena sudah lewat batas waktu bongkarnya. Ketika itulah, tercapai kesepakatan dengan PT AS untuk menimbun limbah itu di Simpang Busung. Rencananya limbah itu akan digunakan untuk membendung tempat penampungan air bekas pencuci pasir. Tapi pihak PT AS ternyata gagal memperoleh izin untuk memasukkan barang itu. Padahal, sementara izin diurus, limbah itu sudah ditumpuk di Simpang Busung. "Kapan, berapa banyak, dan di mana dibuangnya, saya tak pernah tahu," ujar Charles, sebagaimana dituturkan Kaligis. Ternyata, ujar Kaligis lagi, kini justru Charles yang remuk-redam. Sementara itu, Kartamuhari selamat, kata Kaligis, setelah mengeluarkan uang pelicin sekitar Rp 17,9 juta untuk dua pejabat setempat. Padahal, selama usaha bersama itu berjalan, Charles sudah mengeluarkan dana yang tak sedikit, yakni sekitar Rp 15,4 milyar -- tidak termasuk alat dan mesin. Selain itu, Kaligis juga menganggap tuduhan penyelundupan tak bisa di timpakan kepada Charles. "Limbah itu tak punya nilai ekonomis. Sama saja kalau Anda membawa sandal jepit bekas ke sini," ucapnya. Apalagi, tambahnya, soal tuduhan melanggar UULH. "Limbah itu tak berbahaya. Sampai sekarang juga tak ada hasil tes yang secara tegas menyatakan limbah itu berbahaya," kata Kaligis. Tuduhan Kaligis itu dibantah keras oleh Kurnia Kartamuhari. "Malah terbalik, sebenarnya. Saya tak pernah merencanakan ataupun menyuruh memasukkan limbah itu," kata Kartamuhari. Sewaktu pembuangan limbah itu, katanya, ia dan kedua anak buahnya, Cheppy dan Nanang, justru sedang berada di Jakarta dalam rangka Lebaran. Kartamuhari juga menampik tuduhan bahwa ia berniat mendepak TMA dengan memanfaatkan kasus itu. "Kasus ini justru gara-gara ulah mereka," tuturnya tandas. Menurut promotor tinju yang pernah menampilkan pertarungan Ellyas Pical-Khaosai Galaxy itu, dana TMA yang dituduh sebagai uang pelicin itu sebenarnya mereka gunakan untuk pembebasan tanah seluas 14 ha di Simpang Busung. Sementara itu, Asisten Menteri KLH, Nabiel Makarim, menganggap alasan bahwa limbah itu soap noodles untuk tanggul cuma dalih saja. "Setan, walau diberi nama bidadari, tetap saja setan," kata Nabiel kepada Agung Firmansyah dari TEMPO. Menurut Nabiel, limbah itu sudah terbukti, di antaranya, mencemari air baku di sekitar pembuangan itu. "Yang penting, limbah itu segera diangkut kembali, lapisan tanah yang terkena bekasnya juga harus dikeruk," ujarnya. Hp.S., Ardian T.G. (Jakarta), dan Sarluhut Napitupulu (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus