Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kekejaman-Kekejaman Kita Kepala Itu Tetap Tak Bernama

Mayat yang ditemukan terpotong-potong 193 bagian di jalan sudirman jakarta belum diketahui identitasnya. banyak korban pembunuhan yang belum dikenal.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara ratusan pengunjung, yang bergantian berdesak-desak di muka kamar mayat, muncul seorang wanita yang dengan segera menarik perhatian. Wanita yang berusia 50 tahun tersebut, kemudian diketahui bernama Nyonya Idayu, minta agar petugas Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta memperlihatkan sesuatu: sebuah kepala yang sudah terpisah dari badannya! Di luar kepala, Nyonya Idayu dapat menyebutkan beberapa ciri pada kepala dan wajah mayat itu: Ada tahi lalat cukup besar di bawah telinga dan tahi lalat kecil sekali tepat di ujung hidungnya. Ada bekas luka, pitak, di balik rambut yang agak panjang itu. Dokter Abdul Mun'im Idries, ahli patologi dari Lembaga Kriminologi UI (LKUI), mencocokkan tanda-tanda itu: tepat ! Sejenak kemudian si ibu tadi tercenung. Tangan dan mulutnya gemetar. Kepada dr. Mun'im ia membisikkan, bahwa kepala tersebut milik anaknya. Lalu, tangannya menunjuk ke jendela dan seperti kesurupan Nyonya Idayu berteriak bukan dengan suaranya sendiri: "Aduh, tolonglah saya. Masak saya dibikin begini . . . kepala saya di sana . . . tubuh saya di tempat lain. Saya tak bisa tidur . . . !" Beberapa potong kata yang keluar secara tak sadar dari mulut Nyonya Idayu--seolah-olah suara roh anaknya Malam Minggu, 21 November lalu, si anak menjumpai pacarnya yang bekerja di sebuah bar dengan membawa uang banyak: Rp 1 juta. Mereka biasa membuat pertemuan di bar tersebut. Pada malam yang naas itu, katanya, selain ceweknya, ia juga ditemani minum beberapa orang lain. Salah satu di antaranya saingannya dalam memperebutkan gadis bar tersebut. Ia dipaksa minum sampai mabuk. Lalu digiring ke suatu tempat. Di situlah ia dianiaya dan dirampok uangnya. Dari sebuah rumah di Jalan Setiabudi, begitu kira-kira ceritanya, dengan becak ia diangkut dalam dua buah dus. Lalu diletakkan begitu saja di trotoar Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, tak jauh dari persimpangan Jalan Setiabudi. Cerita roh korban hanya sampai ia dibawa ke Jalan Sudirman. Kisah berikutnya dilanjutkan oleh petugas jaga malam E'T Garuda Mataram Motor. Sejak pukul 2 pagi, 23 November, dua peronda tersebut menemukan dua buah dus yang menyebarkan bau busuk. Tak ada yang berani memeriksa isinya -- sementara polisi lalulintas, yang dilapori siangnya, enggan meninggalkan tugasnya di persimpangan Jalan Setiabudi yang macet. Sampai kemudian dua orang gelandangan mengais dus tersebut (TEMPo, 5 Desember. Dokter Mun'im memeriksa kedua dus tersebut. Yang pertama berisi 13 potong tulang dan sebuah kepala. Dus lain berisi 180 potong y?ng terdiri dari sayatan daging dan isi perut. Semuanya dapat disusun menjadi sesosok jasad manusia. Na,nun Mun'im kehilangan bagian anus, kantung kencing dan pankreas. Tandatanda memberikan dugaan bahwa kebengisan berlangsung antara malam Minggu, 21 November, hingga dinihari berikutnya. Menurut Mun'im, yang sudah banyak pengalaman di bidang kedokteran kehakiman (forensik), kebengisan yang dihadapinya terakhir ini adalah yang terhebat. Bahwa pembunuhan diikuti kekejaman lainnya setelah si korban mati, menurut Mun'im, memang sudah sering terjadi. Tapi terhadap korban yang hingga kini belum dikenl tersebut, memang bukan main: si pembunuh tak hanya memotong-motong jasad korbannya secara sistematik -- sempat pula menyayat dan mengupas seluruh daging dari tulang korbannya! Apa yang bisa diterangkan Mun'im tentang si korban telah diumumkan secara luas: umur diperkirakan antara 1821 tahun, tinggi badan 165 cm, tubuh agak gemuk dan tegap. Beberapa tahi lalat yang bisa menjadi ciri menonjol, juga disebutkan. Bahkan penyakit si korban, lubang kencing yang sangat sempit pada ujung kemaluan yang tak disunat atau fimosis, tak lupa pula diumumkan. Memang banyak yang terundang ke kamar mayat RSCM -- baik peminat yang serius mencari sanak keluarganya yang hilang, maupun yang cuma iseng menonton. Polisi memperoleh keterangan dari beberapa puluh di antara ratusan orang yang mencoba mengenali si korban Beberapa keterangan dicocokkan dengan ciri-citi yang bisa ditangkap dengan mudah. HARAPAN polisi pertama pada laporan Sim Liong Tjoan. Penduduk Kelurahan Kapuk (Jakarta Barat) ini melaporkan: seorang anaknya, Tjin Lian, si jagal babi tiba-tiba menghilang meninggalkan anak dan istrinya. Betapa tak meyakinkan: wajah dan cirinya sepintas sama dengan kepala yang tengah dicarikan pemiliknya oleh polisi tersebut. Peta sidik jarinya pun, menurut dr. Mun'im, mirip-meski tak begitu meyakinkan. Namun, beberapa hari kemudian, orang yang disangka terbunuh ternyata muncul di kantor polisi (Kodak Metro Jaya) tak kurang suatu apa. Ia, begitu ceritanya kepada pohsi, memang sengaja menghilang: cuma bersembunyi di rumah tantenya, di Lampung, untuk menghindari tagihan utang seorang pedagang babi. Harapan kedua diberikan seorang wanita, Haryati, yang melaporkan kehilangan adiknya, Lie San Yong. Tanda-tanda yang ditunjukkan penduduk yang tinggal di jalan Raya Parung (Bogor) tersebut memang mendekati apa yang tengah dicari polisi. Namun beberapa hari kemudian, polisi dapat menemukan San Yong, sopir truk pengangkut babi, di salah satu tempat di Tanjungpriok. Di tengah teka-teki itu, di sana-sini muncul teori dan spekulasi --baik mengenai korban, si pembunuh, motif, maupun bagaimana kebengisan kira-kira dilakukan. Dokter LKUI berpendapat bahwa korban diserang dari belakang setelah lebih dulu dibikin mabuk. Hal itu terlihat dari pemeriksaan laboratorium di dalam darah korban terdapat cukup banyak alkohol. Namun, kata dokter tadi, jelas korban bukan mati karena keracunan alkohol. Keadaan hatinya, menurut pemeriksaan, juga menunjukkan bahwa kor ban tak dikenal tersebut bukan seorang peminum. Teori ini setidaknya berhu bungan dengan "suara roh" yang di bawakan Nyonya Idayu, bahwa orang yang naas itu dicekoki minuman keras di sebuah bar sebelum dianiaya lebih lanjut. Dokter Mun'im Idries juga berpendapat bahwa korban digarap oleh lebih dari seorang. Sebab, katanya, mengerat tulang dan mengelupasi dagingnya bukan pekerjaan mudah. Sebuah tim autopsi--pemeriksaan melalui bedah mayat--yang berpengalaman pun memerlukan waktu tak kurang dari dua jam. Sehingga mudah diduga bahwa si pembunuh dan pembantunya harus punya waktu sedikitnya 3 - 4 jam. Seorang dokter kepolisian berbeda pendapat dengan Mun'im. Pembunuh, menurut teorinya, bekerja seorang diri. Sebab, katanya, diperlukan satu pendapat yang kompak untuk memperlakukan si korban sampai sekejam itu. Kerewelan salah seorang --ada yang tidak tega, tidak setuju cara penanganan si korban selanjutnya (memotong, mengupasi dagingnya atau membiarkan wajah si korban tetap utuh), atau menentukan di mana mayat korban harus dibuang-dapat mengharnbat dan bahkan mengacaukan rencana. Bahwa tak mudah memotong jasad menjadi bagian kecil, menurut teori dokter kepolisian tadi, memang benar juga. Namun, bukankah ia cukup punya waktu? Kejadian sebelumnya, yang menimpa Ir. Nurdin Koto atau Henny yang mayatnya juga dipenggal-penggal, terbukti juga bisa dikerjakan pembunuhnya sendirian. Hanya (para) pembunuh sendiri nanti yang bisa bercerita bagaimana sebenarnya kebengisan itu berlangsung. Namun, repotnya, apa dan siapa si korban sendiri hingga dua minggll belum ketahuan. Memang aneh--padahal wajah dan ciri-ciri si korban sudah diketahui secara Boleh jadi, kata sebuah teori, korban memang dihabisi keluarganya sendiri. Palnya boleh soal harta warisan atau cemburu atau entah apa lagi. Bukan tak mungkin pula korban berasal dari suatu daerah terpencil yang tak terjangkau pemberitaan. Bahkan mungkin orang asing. Untuk yang terakhir inilah polisi bekerjasama dengan Kantor Imigrasi-barangkali dari sana cerita lain bisa terungkap. Polisi tentu belurn putus asa. Sambil nenyatakan bahwa penyelidikan belum memperoleh kemajuan, Kepala Seksi Penerangan Kodak Metro Jaya, Letkol. Baroetrisno, menghimbau, agar si pembunuh menyerahkan diri kepada polisi. Nah, kalau anda kebetulan si pembunuh, silakan menemui Pak Baroetrisno. Biar ditangkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus