DI antara ratusan pengunjung, yang bergantian berdesak-desak di
muka kamar mayat, muncul seorang wanita yang dengan segera
menarik perhatian. Wanita yang berusia 50 tahun tersebut,
kemudian diketahui bernama Nyonya Idayu, minta agar petugas
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta memperlihatkan
sesuatu: sebuah kepala yang sudah terpisah dari badannya!
Di luar kepala, Nyonya Idayu dapat menyebutkan beberapa ciri
pada kepala dan wajah mayat itu: Ada tahi lalat cukup besar di
bawah telinga dan tahi lalat kecil sekali tepat di ujung
hidungnya. Ada bekas luka, pitak, di balik rambut yang agak
panjang itu.
Dokter Abdul Mun'im Idries, ahli patologi dari Lembaga
Kriminologi UI (LKUI), mencocokkan tanda-tanda itu: tepat !
Sejenak kemudian si ibu tadi tercenung. Tangan dan mulutnya
gemetar. Kepada dr. Mun'im ia membisikkan, bahwa kepala tersebut
milik anaknya.
Lalu, tangannya menunjuk ke jendela dan seperti kesurupan Nyonya
Idayu berteriak bukan dengan suaranya sendiri: "Aduh, tolonglah
saya. Masak saya dibikin begini . . . kepala saya di sana . . .
tubuh saya di tempat lain. Saya tak bisa tidur . . . !"
Beberapa potong kata yang keluar secara tak sadar dari mulut
Nyonya Idayu--seolah-olah suara roh anaknya Malam Minggu, 21
November lalu, si anak menjumpai pacarnya yang bekerja di sebuah
bar dengan membawa uang banyak: Rp 1 juta. Mereka biasa membuat
pertemuan di bar tersebut.
Pada malam yang naas itu, katanya, selain ceweknya, ia juga
ditemani minum beberapa orang lain. Salah satu di antaranya
saingannya dalam memperebutkan gadis bar tersebut. Ia dipaksa
minum sampai mabuk. Lalu digiring ke suatu tempat. Di situlah ia
dianiaya dan dirampok uangnya.
Dari sebuah rumah di Jalan Setiabudi, begitu kira-kira
ceritanya, dengan becak ia diangkut dalam dua buah dus.
Lalu diletakkan begitu saja di trotoar Jalan Sudirman, Jakarta
Selatan, tak jauh dari persimpangan Jalan Setiabudi.
Cerita roh korban hanya sampai ia dibawa ke Jalan Sudirman.
Kisah berikutnya dilanjutkan oleh petugas jaga malam E'T Garuda
Mataram Motor. Sejak pukul 2 pagi, 23 November, dua peronda
tersebut menemukan dua buah dus yang menyebarkan bau busuk. Tak
ada yang berani memeriksa isinya -- sementara polisi lalulintas,
yang dilapori siangnya, enggan meninggalkan tugasnya di
persimpangan Jalan Setiabudi yang macet. Sampai kemudian dua
orang gelandangan mengais dus tersebut (TEMPo, 5 Desember.
Dokter Mun'im memeriksa kedua dus tersebut. Yang pertama berisi
13 potong tulang dan sebuah kepala. Dus lain berisi 180 potong
y?ng terdiri dari sayatan daging dan isi perut. Semuanya dapat
disusun menjadi sesosok jasad manusia. Na,nun Mun'im kehilangan
bagian anus, kantung kencing dan pankreas. Tandatanda memberikan
dugaan bahwa kebengisan berlangsung antara malam Minggu, 21
November, hingga dinihari berikutnya.
Menurut Mun'im, yang sudah banyak pengalaman di bidang
kedokteran kehakiman (forensik), kebengisan yang dihadapinya
terakhir ini adalah yang terhebat. Bahwa pembunuhan diikuti
kekejaman lainnya setelah si korban mati, menurut Mun'im, memang
sudah sering terjadi. Tapi terhadap korban yang hingga kini
belum dikenl tersebut, memang bukan main: si pembunuh tak hanya
memotong-motong jasad korbannya secara sistematik -- sempat pula
menyayat dan mengupas seluruh daging dari tulang korbannya!
Apa yang bisa diterangkan Mun'im tentang si korban telah
diumumkan secara luas: umur diperkirakan antara 1821 tahun,
tinggi badan 165 cm, tubuh agak gemuk dan tegap. Beberapa tahi
lalat yang bisa menjadi ciri menonjol, juga disebutkan. Bahkan
penyakit si korban, lubang kencing yang sangat sempit pada ujung
kemaluan yang tak disunat atau fimosis, tak lupa pula diumumkan.
Memang banyak yang terundang ke kamar mayat RSCM -- baik peminat
yang serius mencari sanak keluarganya yang hilang, maupun yang
cuma iseng menonton. Polisi memperoleh keterangan dari beberapa
puluh di antara ratusan orang yang mencoba mengenali si korban
Beberapa keterangan dicocokkan dengan ciri-citi yang bisa
ditangkap dengan mudah.
HARAPAN polisi pertama pada laporan Sim Liong Tjoan. Penduduk
Kelurahan Kapuk (Jakarta Barat) ini melaporkan: seorang
anaknya, Tjin Lian, si jagal babi tiba-tiba menghilang
meninggalkan anak dan istrinya. Betapa tak meyakinkan: wajah dan
cirinya sepintas sama dengan kepala yang tengah dicarikan
pemiliknya oleh polisi tersebut. Peta sidik jarinya pun, menurut
dr. Mun'im, mirip-meski tak begitu meyakinkan.
Namun, beberapa hari kemudian, orang yang disangka terbunuh
ternyata muncul di kantor polisi (Kodak Metro Jaya) tak kurang
suatu apa. Ia, begitu ceritanya kepada pohsi, memang sengaja
menghilang: cuma bersembunyi di rumah tantenya, di Lampung,
untuk menghindari tagihan utang seorang pedagang babi.
Harapan kedua diberikan seorang wanita, Haryati, yang melaporkan
kehilangan adiknya, Lie San Yong. Tanda-tanda yang ditunjukkan
penduduk yang tinggal di jalan Raya Parung (Bogor) tersebut
memang mendekati apa yang tengah dicari polisi. Namun beberapa
hari kemudian, polisi dapat menemukan San Yong, sopir truk
pengangkut babi, di salah satu tempat di Tanjungpriok.
Di tengah teka-teki itu, di sana-sini muncul teori dan spekulasi
--baik mengenai korban, si pembunuh, motif, maupun bagaimana
kebengisan kira-kira dilakukan. Dokter LKUI berpendapat bahwa
korban diserang dari belakang setelah lebih dulu dibikin mabuk.
Hal itu terlihat dari pemeriksaan laboratorium di dalam darah
korban terdapat cukup banyak alkohol.
Namun, kata dokter tadi, jelas korban bukan mati karena
keracunan alkohol. Keadaan hatinya, menurut pemeriksaan, juga
menunjukkan bahwa kor ban tak dikenal tersebut bukan seorang
peminum. Teori ini setidaknya berhu bungan dengan "suara roh"
yang di bawakan Nyonya Idayu, bahwa orang yang naas itu dicekoki
minuman keras di sebuah bar sebelum dianiaya lebih lanjut.
Dokter Mun'im Idries juga berpendapat bahwa korban digarap oleh
lebih dari seorang. Sebab, katanya, mengerat tulang dan
mengelupasi dagingnya bukan pekerjaan mudah. Sebuah tim
autopsi--pemeriksaan melalui bedah mayat--yang berpengalaman pun
memerlukan waktu tak kurang dari dua jam. Sehingga mudah diduga
bahwa si pembunuh dan pembantunya harus punya waktu sedikitnya 3
- 4 jam.
Seorang dokter kepolisian berbeda pendapat dengan Mun'im.
Pembunuh, menurut teorinya, bekerja seorang diri. Sebab,
katanya, diperlukan satu pendapat yang kompak untuk
memperlakukan si korban sampai sekejam itu. Kerewelan salah
seorang --ada yang tidak tega, tidak setuju cara penanganan si
korban selanjutnya (memotong, mengupasi dagingnya atau
membiarkan wajah si korban tetap utuh), atau menentukan di mana
mayat korban harus dibuang-dapat mengharnbat dan bahkan
mengacaukan rencana.
Bahwa tak mudah memotong jasad menjadi bagian kecil, menurut
teori dokter kepolisian tadi, memang benar juga. Namun, bukankah
ia cukup punya waktu? Kejadian sebelumnya, yang menimpa Ir.
Nurdin Koto atau Henny yang mayatnya juga dipenggal-penggal,
terbukti juga bisa dikerjakan pembunuhnya sendirian.
Hanya (para) pembunuh sendiri nanti yang bisa bercerita
bagaimana sebenarnya kebengisan itu berlangsung. Namun,
repotnya, apa dan siapa si korban sendiri hingga dua minggll
belum ketahuan. Memang aneh--padahal wajah dan ciri-ciri si
korban sudah diketahui secara
Boleh jadi, kata sebuah teori, korban memang dihabisi
keluarganya sendiri. Palnya boleh soal harta warisan atau
cemburu atau entah apa lagi. Bukan tak mungkin pula korban
berasal dari suatu daerah terpencil yang tak terjangkau
pemberitaan. Bahkan mungkin orang asing. Untuk yang terakhir
inilah polisi bekerjasama dengan Kantor Imigrasi-barangkali dari
sana cerita lain bisa terungkap.
Polisi tentu belurn putus asa. Sambil nenyatakan bahwa
penyelidikan belum memperoleh kemajuan, Kepala Seksi Penerangan
Kodak Metro Jaya, Letkol. Baroetrisno, menghimbau, agar si
pembunuh menyerahkan diri kepada polisi.
Nah, kalau anda kebetulan si pembunuh, silakan menemui Pak
Baroetrisno. Biar ditangkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini