Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dugaan korupsi impor gula.
Kebijakan menteri seharusnya tidak bisa dipidanakan.
Tidak selamanya kerugian yang dialami negara menjadi indikasi korupsi.
SETELAH sembilan tahun, Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi impor gula kristal yang terjadi pada 2015-2023. Namun, baru Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang menjadi tersangka dan langsung ditahan serta importir gula Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia Charles Sitorus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tom Lembong menjadi Menteri Perdagangan pada 2015-2016. Saat itu dia mengeluarkan kebijakan impor gula kristal mentah. Kebijakan serupa dijalankan Menteri Perdagangan lain penggantinya, bahkan dalam jumlah yang lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 2015-2023 ada lima Menteri Perdagangan. Setelah Tom Lembong, kursi menteri ini dijabat Enggartiasto Lukita, politikus Partai NasDem. Ia tercatat mengimpor gula kristal sebanyak 13,97 juta ton pada 2017-2019. Setelah Enggartiasto, Agus Suparmanto dari Partai Kebangkitan Bangsa juga mengimpor gula sebanyak 5,53 juta ton.
Setelah Agus, Menteri Perdagangan pindah kepada Muhammad Lutfi, yang pernah menduduki jabatan ini pada 2014. Lutfi mengimpor gula kristal sebanyak 11,49 juta ton selama dua tahun menjabat dengan volume 2022 paling tinggi dibanding menteri lain. Setelah itu Zulkifli Hasan, politikus Partai Amanat Nasional yang membuat kebijakan impor gula sebanyak 5,06 juta ton.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, membantah tudingan adanya politisasi dalam penetapan Tom Lembong sebagai tersangka. Penyidik sudah menelusuri dugaan korupsi ini sejak Oktober 2023 dan menemukan bukti-bukti yang kuat. “Ketika ditemukan bukti yang cukup, penyidik menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," kata Abdul, Selasa, 29 Oktober 2024.
Abdul mengklaim selama setahun ini penyidik telah memeriksa 90 saksi. Adapun barang bukti yang telah dikumpulkan, antara lain, adalah catatan-catatan, dokumen, dan keterangan ahli. "Ini (barang bukti) sudah kami dapat semuanya,” katanya.
Dugaan korupsi yang melibatkan Tom Lembong itu bermula dari rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015. Menurut Abdul, dalam rapat itu disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu lagi mengimpornya. Namun di luar rapat itu Tom Lembong justru memberikan persetujuan impor gula kristal mentah kepada PT AP. “Tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan real gula di dalam negeri," ucapnya.
Direktur Pengembangan Bisnis Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus setelah menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, 29 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Selain Tom Lembong, penyidik menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus sebagai tersangka. Peran Charles dalam kasus ini adalah memerintahkan sejumlah bawahannya bertemu dengan delapan perusahaan swasta yang untuk impor gula.
Delapan perusahaan itu mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih. Padahal perusahaan-perusahaan itu hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi. Setelah itu, jaksa menuduh PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. “PT PPI mendapat fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," kata Abdul.
Keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Abdul menyatakan, atas perbuatan keduanya, negara dirugikan sekitar Rp 400 miliar.
Jaksa penyidik saat ini masih menelusuri aliran dana yang dihitung sebagai kerugian negara sebesar Rp 400 miliar. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan belum ada bukti Tom Lembong menikmati aliran dana tersebut.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Kejaksaan Agung keliru menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka jika hanya sebatas kebijakan impor gula. “Kebijakan itu tidak bisa dikriminalkan,” katanya.
Kebijakan adalah konsekuensi dari satu jabatan, kata Fickar. Jadi, menurut dia, kebijakan impor gula oleh Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan sudah sesuai dengan aturan dan tidak bisa dipidanakan. “Kalau ini terus berlanjut, orang enggak akan lagi mau menjadi pejabat publik."
Ceritanya akan berbeda jika pembuat kebijakan memiliki kepentingan pribadi atas keputusannya itu. Misalnya, Fickar mencontohkan, pejabat mendapat imbalan berupa uang atau barang atas kebijakan yang dikeluarkan. “Itu artinya kebijakan yang dikeluarkan didasari motif lain,” ujar Fickar.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, mengatakan Kejaksaan Agung perlu memperjelas kasus ini secara transparan. Misalnya, jika Tom Lembong disebut memberikan izin impor kepada swasta untuk memenuhi permintaan koperasi. “Harus diusut siapa di belakang koperasi itu,” ucap Chudry.
Pendapat serupa disampaikan peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha. Bahkan dia meminta penyidik menemukan aktor-aktor lain yang diduga terlibat. Apalagi kebijakan impor gula kristal mentah itu tidak hanya dilakukan pada masa Tom Lembong, tapi juga di era menteri-menteri berikutnya.
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong (kanan) duduk dalam mobil tahanan setelah menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, 29 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Egi mengatakan, dalam kasus korupsi yang memberi dampak kerugian keuangan negara, setiap perbuatan melawan hukum harus diikuti dengan niat jahat (mens rea). Nilai kerugian negara juga harus bisa dipastikan karena tidak semua kerugian negara itu dikategorikan sebagai kejahatan korupsi. ”Ini penting disampaikan agar langkah aparat penegak hukum tidak distigma negatif atau dianggap politisasi oleh masyarakat,” katanya.
Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Rudianto Lallo, dugaan korupsi impor gula ini terjadi pada 2015 ketika Tom Lembong menjadi Menteri Perdagangan. Sembilan tahun kemudian Kejaksaan baru mengusut status ini dan menetapkan tersangka. Selama periode sembilan tahun itu, posisi Menteri Perdagangan setelah Tom Lembang pindah ke empat orang.
“Kalau Kejaksaan Agung mau serius mengusut dugaan korupsi ini, seharusnya semua Menteri Perdagangan selama periode 2015- 2023 diperiksa dan diusut dugaan keterlibatannya,” kata politikus Partai NasDem itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dinda Shabrina dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini