Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengamanan militer di Kejaksaan Agung dinilai melanggar UU TNI.
Pengamanan militer di Kejaksaan Agung harus berdasarkan perintah presiden.
Penguntitan Jampidsus oleh anggota Densus 88 harus diusut.
GERBANG kompleks Kejaksaan Agung di Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, tertutup ketika Tempo datang pada Ahad pagi, 26 Mei 2024. Dua petugas berseragam cokelat dan seorang berkaus loreng tampak berjaga di balik gerbang. Tak jauh dari mereka, terlihat mobil Polisi Militer berkelir putih dengan siluet biru terparkir membelakangi dua mobil dinas kejaksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dalam akun resmi Instagram-nya sempat memampang foto pengamanan di gedung Kejaksaan Agung oleh sejumlah anggota Polisi Militer. Pada keterangan foto tertulis, “Situasi keamanan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengalami peningkatan pengawasan setelah adanya dugaan peristiwa penguntitan terhadap Jampidsus oleh anggota Densus 88. Untuk memastikan keamanan dan ketertiban di lingkungan tersebut, personel Polisi Militer TNI dikerahkan guna melakukan pengamanan khusus yang dipimpin oleh Lettu Pom Andri, Jakarta, 24/5/2024.”
Dalam unggahan yang sama dituliskan juga bahwa pengamanan oleh polisi militer tersebut mencakup patroli rutin, pemeriksaan kendaraan, serta pengawasan terhadap individu yang keluar-masuk area Kejaksaan Agung. Namun, hanya berselang sehari, unggahan itu dihapus. Seorang petugas keamanan dalam (pamdal) Kejaksaan Agung tidak membantah adanya pengetatan pengamanan di tempat kerjanya. “Ya, Mas lihat sendiri,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 27 Mei 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Nugraha Gumilar mengatakan pengamanan di Kejaksaan Agung oleh Polisi Militer itu didasari Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman Nomor 4 Tahun 2023 dan Nomor NK/6/IV/2023/TNI. Kesepakatan kerja sama itu ditandatangani pada 6 April 2023 oleh masing-masing pimpinan. "Pelaksanaan pengamanan yang dilakukan normal seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa,” ujarnya, 26 Mei lalu.
Adapun nota kesepahaman itu antara lain mengatur kerja sama dalam pemanfaatan sumber daya dan peningkatan profesionalisme di bidang penegakan hukum. Berdasarkan penelusuran Tempo, kerja sama dalam pengerahan personel itu telah berjalan sejak enam tahun lalu melalui Nota Kesepahaman Nomor KEP-070/A/JA/04/2018 dan Nomor Kerma/17/IV/2018. Kesepakatan tersebut pernah direvisi melalui Nota Kesepahaman Nomor 215 Tahun 2020 dan Nomor NK/21/XI/2020/TNI, sampai akhirnya direvisi kembali pada April 2023.
Secara formal, nota kesepahaman itu berfungsi mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya dan meningkatkan profesionalisme penegakan hukum. Salah satunya dalam bentuk pengamanan oleh personel TNI di lingkungan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil). Selain itu, ada kerja sama dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, pertukaran informasi intelijen untuk kepentingan penegakan hukum, penugasan prajurit TNI di lingkungan kejaksaan, penugasan jaksa sebagai supervisor di Oditurat Jenderal TNI, serta dukungan dan bantuan personel TNI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al A’raf, menilai nota kesepahaman itu tak cukup untuk melegitimasi pengamanan pejabat sipil oleh personel TNI. Menurut dia, TNI merupakan alat negara yang beroperasi atas perintah presiden. Pengerahan personel tanpa dilandasi keputusan presiden justru melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Aturan itu mengatur operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan melalui keputusan presiden. “Kalau ada masalah, Kejaksaan Agung sebaiknya menyampaikan kepada presiden, bukan justru ke TNI,” katanya, 29 Mei lalu.
Menurut Al A’raf, nota kesepahaman antara institusi sipil dan militer sudah terjadi berkali-kali. Paling tidak, dia menemukan lebih dari 30 nota kesepahaman antara TNI dan kementerian atau swasta. Padahal kerja sama ini bertentangan dengan UU TNI. Pasal 7 undang-undang tersebut menyatakan tugas pokok TNI untuk menegakkan kedaulatan dilaksanakan melalui perang dan selain perang. Di luar baku tembak di medan tempur, TNI antara lain berwenang mengatasi gerakan separatis atau pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, dan mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis.
Dalam konteks pengamanan kompleks Kejaksaan Agung, kata Al A’raf, TNI menganggap kantor itu sebagai obyek vital nasional. Namun, permasalahannya, Presiden belum mengoreksi beragam nota kesepahaman yang melanggar undang-undang. Bila Kejaksaan Agung memang memerlukan pengamanan dari TNI, seharusnya Presiden membuat keputusan presiden secara khusus. Sebab, TNI merupakan alat negara yang berada di bawah kendali presiden.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai TNI memang bisa dilibatkan untuk menjaga obyek vital nasional. Ketentuan itu diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional.
Ilustrasi pasukan TNI di Jakarta, 1 Februari 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Adapun definisi obyek vital nasional, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, adalah aset fisik atau sistem yang penting dalam fungsi pemerintahan. “Pengamanan itu bisa dicantolkan ke sana, sepanjang Kejaksaan Agung dapat dimaknai sebagai infrastruktur kritis,” katanya.
Namun, kata Khairul, tak ada ketentuan yang secara khusus menetapkan Kejaksaan Agung sebagai obyek vital nasional. Itu sebabnya, dia memandang pengamanan Kejaksaan Agung oleh militer bukanlah hal biasa. Khairul menyinggung penguntitan Jampidsus oleh anggota Densus 88 beberapa waktu lalu. Dia menilai pengamanan oleh militer itu menjadi relevan. “Sama seperti keterlibatan TNI dalam pengamanan KPK pada kasus ‘Cicak vs Buaya’ dulu,” katanya.
Dari sejumlah peristiwa yang mendahului pengamanan itu, kata Khairul, situasi mengarah pada kesalahpahaman serta konflik antara Kejaksaan Agung dan Polri. Menurut dia, Presiden tidak bisa tinggal diam atas konflik antarlembaga di bawahnya. Presiden harus memerintahkan tindakan hukum terhadap siapa pun yang berupaya menekan, mengintervensi, dan menghalang-halangi penegakan hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo