BERITA pembunuhan dan pemerkosaan lagi dari Propinsi Sumatera
Utara. Bukan karena Kabupaten Labuhan Ball, Kabupaten Asahan,
atau kabupaten lainnya di sana itu 'gudang kriminalitas'. Tapi
rupanya berita hangat begitu datang dari sana, tiap kali.
Hari Kamis pagi, 10 Maret lalu, pak Atmo (50) dan anak gadisnya
Marni (16) diketemukan mati di pondoknya. Kelihatannya, setelah
mengalami penganiayaan berat. Marni, remaja cantik di
perladangan kampung batu 6 kepenghuluan Pardaungan (Labuhan
Batu), selain mengalami penganiayaan sebelum mati, juga ada
tanda-tanda telah diperkosa lebih dahulu. Polisi telah
bertindak. Beberapa orang telah diperiksa, baik sebagai
tersangka maupun hanya orang yang dimintai keterangan. Namun
juru-warta di sana hingga kini belum memperoleh keterangan:
siapa pelaku kekejaman atas Atmo tua dan anaknya.
Pagi itu, seperti biasa, Sugimin dan Wakijo hendak bekerja di
ladang milik tuannya, Gurdial Singh. Ladang seluas 8 hektar di
pinggiran kota Ack Kanopan milik orang India ini, yang ditanami
pohon karet, kelapa dan padi, sehari-hari dijaga oleh pak Atmo.
Penjaga kebun ini tinggal di pondok dan hanya ditemani seorang
anaknya, si Marni itu. Lain dari biasanya, ketika Sugimin dan
temannya sampai di pondok, suasana kelihatan lengang. Pintu
rumah, sepagi itu, sudah menganga. Marni juga tak kelihatan
menyambut kedatangan kedua pekerja itu.
Mencengklak
Suasana memang mencurigakan. Betul saja. Ketika pekerja kebun
ini hendak masuk ke pondok, tepat ditentang pintu masuk,
kelihatan tubuh pak Atmo tergeletak. Tanpa periksa lagi Sugimin
dan Wakijo balik langkah. Dengan panik keduanya mencengklak
sepeda dan terus pergi. Maksudnya hendak menyusuli majikannya
yang tinggal di Aek Kanopan. Tapi di tengah jalan mereka sudah
ketemu dengan Gurdial yang sedang menggenjot sepeda hendak
menuju ke kota Gunting Saga. Kedua pekerja kebun kontan menyetop
majikannya: "Tuan . . . kakek pingsan!".
Tapi Gurdial menemui pak Atmo lebih gawat dari yang dilaporkan
pekerjanya. Ada darah di lantai sekitar kepala. Tanpa membuang
waktu lagi Gurdial menjemput polisi dari kota. Barulah nasib pak
Atmo lebih jelas lagi: mati. Kepalanya berdarah, mungkin pecah
di sekitar ubun-ubunnya. Ada kayu sebesar lengan, sepanjang
semeter, dekat situ. Barangkali pembunuhnya telah menggunakannya
sebagai alat pembunuh. Polisi lalu membalikkan muka korban yang
tertelungkup. Astagafirullah. Muka pak Atmo rusak. Melihat
bekasnya, untuk sementara polisi mengambil kesimpulan: mungkin
muka korban telah digerogoti anjing.
Di mana Marni? Polisi menemukannya di sebuah kamar yang ada
satu-satunya di pondok itu. Di lantai, di samping balai-balai,
tergeletak tubuh Marni dalam keadaan mati tanpa busana. Ada
tanda-tanda pemerkosaan di tubuhnya. Juga kelihatan ada
perlawanan keras dari korban sebelumnya: kelambu koyak lampu
kecil yang pecah dan keadaan kamar yang centang-perenang.
Tanda-tanda penganiayaan keras lainnya juga jelas: tangan
sebelah kanan patah dan kepala, mungkin, berdarah karena pecah.
Di kamar juga ditemukan kayu pemukul lain yang bernoda darah.
Hasil pemeriksaan mayat di rumah sakit, tak berbeda dengan
kesunpulan polisi di tempat kejadian: pembunuhan yang didahului
dengan penganiayaan berat dan pemerkosaan.
Tinggal: siapa pelaku kekejaman itu? Diduga ia orang yang
dikenal baik oleh keluarga Atmo. Buktinya, pada saat mayat
diketemukan, suasana di pondok menunjukkan hal itu. Ada dua
gelas. Satu berisi sedikit kopi, satunya lagi juga bekas kopi
yang sudah dituangi air teh. Di asbak ada beberapa puntung
rokok. Pasti bukan rokok bekas isapan pak Atmo. Orang tua ini
penghisap rokok kelembak menyan, sedang puntung di asbak
menunjukkan bekas rokok putih merek Union. Juga ada sisa ubi
rebus di piring, tampak seperti untuk menjamu tamu. Tamu biasa
tentu ngeri datang malam-malam ke pondok Gurdial yang ditunggui
Atmo bersama 6 ekor anjing galak. Jadi, mungkin, ia tamu baik
yang dikenal Atmo maupun anjing-anjingnya.
Desas-Desus
Ada desas-desus, mungkin keluarga Atmo ini dibunuh atau disuruh
bunuh oleh seseorang yang menaruh cemburu atas hubungan baik
Gurdial dengan Marni. Tapi, tentu saja, polisi tidak bekerja
atas dasar desas-desus. Seorang bernama P diperiksa. Karena
orang ini sebelumnya pernah ada sengketa dengan Atmo soal
anjing. P pernah meminjam seekor anjing milik Atmo dan lalai
mengembalikannya. Malah, kemudian, pak Atmo tahu kalau anjing
kesayangannya sudah dipotong oleh P. Pak Atmo juga pernah
menuduh P mencuri sekaleng beras.
Di muka polisi, P membantah tuduhan. Ia malah menyebut orang
lain, bernama W, yang disangkanya punya motif untuk berbuat
kejam itu. W, menurut P, pernah mengajaknya "memainkan" Marni.
P, katanya, menolak. W kemudian juga berurusan dengan polisi.
Namun ia membantah semua tuduhan yang tampaknya, waktu itu,
tidak dapat ditunjang bukti-bukti.
Saksi peristiwa tak ada. Hanya seorang penjaga ladang lain,
Kartajak, yang diam di pondoknya 500 meter dari pondok pak Atmo
memang ada mendengar sesuatu pada malam kejadian. Ia mendengar
lolong anjing pak Atmo. Tapi apakah anjing pak Atmo sendiri yang
menggerogoti wajah tuannya? Seperti juga tanda-tanya yang lain,
polisi agaknya masih menemui jalan gelap untuk perkara kekejaman
di antara perkara lain di Sumatera Utara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini