KANTOR di Gedung Citra Graha lantai 10, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, itu terasa seperti galeri. Berbagai koleksi lukisan, keramik, dan kerajinan tangan terpampang di seluruh ruangan. Lukisan yang dipajang bermacam-macam, dari karya pelukis tak ternama sampai lukisan Singa Barong karya Affandi. Suasananya terasa nyaman. "Ini semua koleksi Pak Yusril," kata Yusron Ihza, adik Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra.
Itulah markas firma hukum Ihza & Ihza, yang didirikan oleh Menteri Yusril Ihza Mahendra. Namun, di balik kenyamanan dan keindahan kantor ini, sebenarnya telah lama tersimpan benih-benih konflik. Dan awal pekan lalu, perseteruan itu benar-benar mencuat ke permukaan. Seorang bekas partnernya, T.M. Luthfi Yazid, berupaya mengajukan somasi lewat penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Intinya meminta agar Yusron Ihza sebagai likuidator kantor pengacara ini bersedia membuka laporan keuangan hasil likuidasi firma tersebut.
Likuidasi? Benar. Bendera baru firma Ihza & Ihza memang baru belakangan dikibarkan. Sebelumnya, kantor pengacara ini bernama Yusril Ihza Mahendra & Partner (YIM & P).
Tak tanggung-tanggung, dalam melakukan somasinya, Luthfi mengerahkan tujuh pengacara sekaligus, antara lain Bambang Widjojanto, M. Sholeh Amin, M. Luthfie Hakim, Iskandar Sonhaji, dan Iim Abdul Halim. Mereka datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa pekan lalu. "Saya melakukan langkah hukum karena sudah diperlakukan tidak adil," ujar Luthfi Yazid, yang berada di Jepang, ketika dihubungi TEMPO.
Dituturkan oleh Iim Abdul Halim, sepulang dari kuliahnya di Inggris, Maret lalu, kliennya tiba-tiba diminta mengundurkan diri sebagai partner. Kompensasinya? Ia ditawari duit Rp 45 juta. Hanya, Luthfi menolaknya. Soalnya, lelaki berusia 35 tahun ini merasa haknya lebih dari itu. Apalagi firma tersebut diduga telah menghasilkan keuntungan miliaran rupiah. "Ini sebenarnya akan gamblang jika hasil likuidasi tidak ditutup-tutupi," kata Iim.
Alasan yang dipegang Luthfi cukup kuat. Berdasarkan akta pendirian kantor YIM & P tahun 2001, ia memiliki 10 persen saham firma. Lagi pula bekas Wakil Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang ini, menurut para pengacaranya, dinyatakan dalam akta itu telah memasukkan sejumlah uang dan jasa yang sama besarnya dalam kas persekutuan sebagai pemasukan (inbreng) dan modal. Dan berdasarkan akta berita acara rapat, ia berhak atas pembagian hasil senilai 10 persen.
Sejatinya bukan soal duit yang dikejarnya. Dia merasa diperlakukan tak adil karena dulu dialah yang diminta merintis firma tersebut, termasuk merekrut pegawai dan mempersiapkan manajemennya. Ketika itu, setelah Yusril Ihza Mahendra diberhentikan dari kabinet Abdurrahman Wahid, pada Maret 2001, ia mengajak Luthfi membuka kantor pengacara. "Yuk, kita lanjutkan cita-cita kita buka warung," kata Yusril seperti dituturkan Luthfi. Akhirnya firma itu benar-benar terwujud beberapa pekan kemudian. Selain Yusril dan Luthfi, ada dua partner lainnya, yakni Chairul Bachtiar dan Zulfadli. Yusron Ihza sendiri baru belakangan bergabung dengan firma ini.
Seiring dengan berkembangnya "warung" itu, konflik pun muncul. Para perintisnya pelan-pelan diminta mengundurkan diri. Mula-mula Zulfadli yang "disisihkan" dengan kompensasi Rp 500 juta. Lalu Chairul Bachtiar mengalami nasib serupa. Lelaki yang berprofesi sebagai notaris ini mengaku dipaksa meneken akta kesepakatan untuk keluar dengan sukarela karena rangkap profesi, Februari silam. "Juga karena ruangan saya akan dipakai untuk pengembangan firma," katanya.
Chairul sama sekali tak tahu bahwa firma akan dilikuidasi. Ia merasa di-fait accompli. Buntutnya, ia mencabut akta kesepakatan yang ditekennya dengan Yusron, Maret lalu.
Hanya, menurut Hidayat Achyar, pengacara Yusron, semua penuturan itu tidak benar. Hidayat, yang juga partner baru di kantor Ihza & Ihza, mengatakan bahwa Luthfi, misalnya, hanya efektif bekerja 5 bulan, dua bulan sebelum bersekolah ke Inggris dan tiga bulan sesudah pulang ke Indonesia. "Ia sama sekali tak menyetor modal," ujar Hidayat. Sebagai partner pun, menurut Hidayat, Luthfi cuma mendapatkan klien yang nilainya tak berarti. "Apa pantas kalau dia menuntut bagian aset?" katanya.
Hidayat juga menjelaskan, firma tersebut juga telah membantu beban biaya hidup keluarga Luthfi atas usul Yusril. Total uang yang sudah dikeluarkan Rp 429 juta. Sedangkan Chairul, katanya, lebih parah lagi, sama sekali tak menyumbangkan klien. Surat pencabutannya juga bakal tak digubris. "Masih untung, ia mendapat kompensasi duit Rp 150 juta," ujar Hidayat.
Somasi Luthfi juga dianggap terlalu prematur. YIM & P dilikuidasi pada 26 Maret 2003. Nah, sebelum somasi lewat pengadilan, pada 29 April pengacara Luthfi sudah mulai mengundang Yusron untuk meminta laporan hasil likuidasi. "Likuidasi itu proses yang rumit dan memakan waktu lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Hasil perhitungan saja belum keluar, kok, sudah disomasi," ujar Hidayat Achyar.
Yusril sendiri bergeming ihwal ribut-ribut di "warung"-nya. "Karena yang disomasi Yusron, biarlah dia yang menjelaskan," katanya kepada TEMPO. Dia mengaku tahu motif di belakang somasi itu, tapi tak mau mengungkapnya. Yang jelas, "Saya siap meladeni," ujarnya.
Sejauh ini, belum ada kepastian dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan apakah akan mengabulkan permohonan Luthfi. Jika permohonan itu dikabulkan, artinya pengadilan akan meminta Yusron dan juga partner lainnya, termasuk Yusril, menjelaskan hasil likuidasi itu.
Kalaupun pengadilan menolaknya, Luthfi sudah menyiapkan jurus lanjutan buat menghadapi firma Yusril. Katanya, "Saya akan langsung menggugatnya demi keadilan, dengan risiko apa pun."
Arif A. Kuswardono, Endri Kurniawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini