SEBERKAS fotokopi dokumen, pekan silam, mampir ke tangan Muchayat, Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Isinya antara lain berupa fotokopi berita acara rapat pendiri Firma Yusril Ihza Mahendra & Partners tertanggal 12 April 2001, yang ditetapkan dengan akta notaris. "Saya menerima kiriman berkas ini tanpa identitas pengirim," ujar Muchayat, yang mengaku senang menerima informasi ini.
Di tengah gonjang-ganjing Firma Hukum Yusril (yang kini berubah namanya menjadi Ihza & Ihza Law Firm), "bingkisan" tersebut cukup mengejutkan. TEMPO sendiri juga memperoleh berkas serupa. Intinya memperjelas kepemilikan "saham" Yusril pada firma tersebut. Ini bisa merepotkan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ini. Soalnya, diduga tidak melaporkan atau tidak membeberkan secara gamblang hal ini kepada KPKPN. Dalam laporannya pada Agustus 2001, Yusril mencantumkan kekayaannya sebesar Rp 2 miliar lebih. Di situ tidak disebutkan adanya kepemilikan saham di firma itu. Gajinya yang didapat dari sana diduga juga tak tertera.
Muchayat, yang juga memimpin subkomisi eksekutif di KPKPN, tak tahu persis apakah Yusril telah melakukan kelalaian. Dia masih menelitinya. "Kalau memang semua itu tidak tercantum dalam laporan kekayaannya, dia bisa ditengarai tidak jujur," katanya.
Dari dokumen rapat itu, antara lain dinyatakan bahwa para pendiri sepakat membagi hasil firma tersebut dengan persentase yang berbeda. Yusril akan memperoleh pembagian 55 persen. Lima partner lainnya bakal mendapatkan bagian masing-masing 5 hingga 10 persen.
Kenapa bagian sang Menteri paling besar? Ini terungkap pada dokumen yang lain, berupa fotokopi keputusan rapat partner firma itu pada 26 Maret 2003. Di situ disebutkan, adanya kompensasi modal yang telah disetor Yusril ke kantor pengacaranya sebesar Rp 1,9 miliar. Ini berarti, dana yang ditanam bekas dosen Universitas Indonesia tersebut memang cukup besar, sepadan dengan persentase pembagian hasil yang bakal didapatnya.
Dari "warung"-nya itu, Yusril juga mendapatkan gaji. Ini terungkap dari laporan rugi-laba firma per 31 Desember 2002 yang diperoleh TEMPO. Gaji dan biaya lainnya yang masuk ke Yusril sebesar Rp 180 juta.
Jika semua itu luput dilaporkannya ke KPKPN, Yusril bisa terkena sanksi pidana. Hanya, menurut lelaki berbadan tinggi ini, pihaknya telah melaporkannya ke Komisi Pemeriksa. Saat diverifikasi pun, dalam penuturan Yusril kepada TEMPO, disaksikan oleh Ketua KPKPN, Jusuf Syakir. Dia memasukkan modal yang disetor ke firmanya dalam laporan itu di kolom utang. Jadi, "Ada utang yang dipakai untuk mendirikan law firm," katanya.
Hanya, jika dicermati, jumlahnya berbeda. Pada kolom utang di laporan yang dikirim ke KPKN tertera angka Rp 1 miliar. Tapi, dari dokumen keputusan rapat partner, terungkap modal yang ditanam Yusril senilai Rp 1,9 miliar. Kejanggalan inilah yang mungkin perlu ditelusuri oleh KPKPN.
Sejauh ini andil Yusril dalam firma yang kini dikelola oleh adiknya, Yusron Ihza, memang mengundang kontroversi. Menurut advokat Luhut Pangaribuan yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, semestinya pejabat negara seperti menteri tidak boleh berbisnis. Apalagi bisnisnya bersinggungan dengan jabatannya di pemerintahan. "Ini untuk menghindari timbulnya kolusi," kata Luhut.
Hanya, Yusril tak sependapat. Menurut dia, yang dilarang berbisnis adalah pegawai negeri. Pejabat negara? Tidak ada aturan yang melarang. Bagi Yusril, mendirikan kantor hukum tak ubahnya mempunyai saham di perusahaan. Jadi, katanya, "Dari segi hukum, tidak ada masalah."
Kendati begitu, konflik kepentingan bisa muncul. Sehari-hari, firma Yusril selalu berurusan dengan pengadilan dalam membela kliennya. Menurut Gayus Lumbuun, seorang pengurus Ikatan Advokat Indonesia, ini bisa menimbulkan tabrakan kepentingan karena dia menjabat Menteri Kehakiman. Apalagi, "Para hakim secara administratif masih di bawah Departemen Kehakiman," ujar Gayus. Itu sebabnya, menurut dia, Yusril seyogianya mundur total dari firmanya dengan menarik modalnya.
Endri Kurniawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini