PT Dirgantara Indonesia (DI) kian diselimuti awan kelabu. Pabrik pesawat "pelat merah" yang dulu dikenal sebagai Industri Pesawat Terbang Nusantara itu tengah diterjang isu korupsi yang dibidikkan ke alamat direksinya. Jajaran direksi juga dituding tak becus mengelola perusahaan itu, hingga merugi terus. Dampaknya apa lagi kalau bukan kesejahteraan karyawan kian terabaikan. Itu sebabnya rentetan demonstrasi karyawan yang menuntut pergantian direksi terus terjadi.
Buntutnya, ternyata dua karyawan yang dianggap sebagai penggerak aksi unjuk rasa dipecat. Sabtu sore dua pekan lalu, saat kantor PT DI di Bandung, Jawa Barat, telah lengang, Arief Minardi dan A.M. Bone, masing-masing Ketua Umum dan Sekretaris Umum Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT DI, diberhentikan oleh direksi PT DI. Kartu identitas karyawan mereka langsung dicopot saat itu. Surat pemecatan ditandatangani direktur umum, Marsekal Muda Kusnadi Djati Juwono.
Arief dan Bone dipecat alias dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran dinilai menjadi penghasut demonstrasi karyawan sehingga proses produksi PT DI tersendat. Selain itu, Arief, yang ahli perhitungan engineering pesawat, dan Bone, yang menguasai komputerisasi pembuatan pesawat, dianggap berkali-kali mogok kerja tanpa mengikuti prosedur yang berlaku.
Kontan, PHK itu diprotes oleh Arief dan A.M. Bone. Mereka berpendapat pemecatan itu sewenang-wenang. Sebab, PHK tersebut tanpa melalui prosedur peringatan, skorsing, serta persetujuan pihak buruh dan perusahaan. "Surat kesepakatan PHK baru disodorkan beberapa jam setelah surat keputusan PHK dikeluarkan," kata Arief. Selain itu, PHK juga seharusnya dengan seizin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat daerah.
Dan yang lebih tak bisa diterima, PHK tersebut tak memenuhi persyaratan materiil. Sesuai dengan peraturan perburuhan, PHK tak diperkenankan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepengurusan serikat pekerja. Demikian pula terhadap pekerja yang sedang melaksanakan tugas dan fungsi serikat pekerja. Berdasarkan itu, Arief dan A.M. Bone akan mendaftarkan gugatan terhadap direksi PT DI di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, Jumat pekan ini.
Itu dari sisi pekerja yang dikenai PHK. Sementara itu, dari sisi pekerja PT DI, menurut Syarief Siregar, yang kini menjadi pelaksana harian Ketua Umum Serikat Pekerja PT DI, tindakan represif berupa pemecatan itu makin mempertajam konflik antara direksi dan karyawan. Karenanya, pihak serikat pekerja akan menggalang aksi solidaritas bagi Arief dan A.M. Bone. Mereka, kata Syarief, juga mau mengimbau segenap relasi bisnis PT DI agar menghentikan sementara bisnisnya dengan PT DI selama perselisihan di perusahaan itu belum selesai.
Toh, pihak direksi PT DI bergeming. Menurut direksi, pemecatan terpaksa dilakukan karena aksi karyawan yang digalang oleh Arief dan A.M. Bone tak dapat ditoleransi lagi. Bahkan direksi juga mengultimatum para karyawan, bila sampai akhir pekan lalu belum jua mengakhiri aksi unjuk rasa, karyawan yang mogok akan dianggap mengundurkan diri. Dan ini berarti pintu legal bagi direksi untuk memecat mereka.
Bagaimanapun, kata Direktur Utama PT DI, Jusman S. Djamal, aksi mogok harus dihentikan. Kalau tidak, kelangsungan hidup perusahaan yang pernah berkibar semasa dipimpin mantan presiden B.J. Habibie itu kian terancam. Akibat mogok, tutur Jusman, semua proses produksi terhenti total. Pesanan banyak dibatalkan. Ditaksir kerugian mencapai Rp 5 miliar.
Contoh kerugiannya, masih menurut Jusman, denda akibat keterlambatan mengirim enam pesawat terbang pesanan negeri jiran, Malaysia. Jusman terpaksa terbang ke Malaysia untuk melobi agar denda tak dibayar penuh. "Untunglah, diberi diskon separuh denda sehingga menghemat US$ 3 juta," ujar Jusman.
Hal serupa akan menimpa badan usaha milik negara itu bila gagal memenuhi janji mengirimkan dua dari delapan pesawat terbang jenis Rokaf pesanan Korea. Pesawat yang seharusnya sudah dikirim pada April 2001 itu baru bisa dikirim pada pertengahan Desember 2001. Karena itu, "Tindakan keras harus diberikan kepada karyawan yang berniat menghancurkan reputasi PT DI," kata Jusman.
Sebenarnya, asap kisruh di PT DI sudah lama mengepul. Setidaknya sejak Maret 2001, karyawan telah menggelar aksi unjuk rasa untuk mengganti direksi karena dianggap tak becus mengelola perusahaan. Selain itu, mereka juga menuntut kenaikan gaji.
Pada Juli 2001, lantas dibentuk tim peng-kajian sistem gaji yang terdiri dari serikat pekerja, direksi, kantor tenaga kerja, dan aparat pemerintah daerah. Toh, itu buntu. Akibatnya, demonstrasi menuntut perbaikan gaji kembali bergaung sejak awal Oktober ini.
Bagi Jusman, sistem penggajian seperti yang dituntut para karyawan tidak masuk akal. Dengan sistem itu, katanya, perusahaan bisa dibebani ongkos untuk gaji sebesar Rp 28 miliar per bulan. Ini lebih besar dari ongkos gaji per bulan saat ini, Rp 10,5 miliar. Dengan ongkos gaji yang dituntut sebesar Rp 336 miliar setahun, kata Jusman, itu berarti hampir setara dengan separuh pemasukan PT DI.
Namun, Arief menganggap keberatan itu berlebihan. Katanya, persoalan yang lebih serius adalah ketidakbecusan direksi mengelola perusahaan dan korupsi yang merajalela di PT DI. Kalau persoalan ini bisa diminimalisasi, tentu pengeluaran jadi tak membengkak sehingga kesejahteraan karyawan bisa dipenuhi.
Hendriko L. Wiremmer, Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini