Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Tanah Rakyat Dijarah

Anak perusahaan Grup Salim dituntut karena menyerobot tanah warga di Lampung. Masih banyak kasus tanah rakyat yang dijarah pengusaha semasa Orde Baru.

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Surabaya Ilir senyap. Gelap malam selalu melingkupi desa di Kabupaten Lampung Tengah itu. Tak ada penerangan. Di rumah Abdul Gani, tokoh masyarakat setempat, cahaya lampu teplok berpendar, nyaris kalah melawan angin yang menerobos lewat kisi dinding rumah. Kamis malam pekan lalu, beberapa penduduk tampak berkumpul di situ. Lantas mereka mengenang kembali saat ketika masih punya "kemewahan", misalnya petromaks, untuk lampu penerangan malam. Namun, lampu-lampu yang sudah tua ataupun rusak lama-kelamaan tak bisa diganti lagi. "Kami sudah kehabisan modal karena berjuang merebut kembali tanah kami," kata Abdul Gani. Segenap warga desanya memang seperti kehabisan darah akibat tanah mereka dikuasai secara sepihak oleh PT Indolampung Perkasa, perusahaan tebu milik kelompok bisnis Salim. Tanah yang dimaksudkan Abdul Gani ter-letak sekitar 20 kilometer dari desa itu. Luasnya 2.835 hektare. Lahan itu kini dipenuhi per-tanaman tebu berusia dua bulan. Suasana di lokasi ini pun sepi. Cuma suara gesekan batang tebu dan semilir angin yang terdengar. Rupanya warga desa tak berani lagi mengunjungi tanah itu akibat kejadian pada 20 Agustus 2001. Waktu itu, sejumlah penduduk selalu menjaga tanah itu sepanjang malam. Malah siangnya banyak warga menanam singkong dan ubi jalar. Sampai tiba-tiba ada orang membawa kabar buruk: warga akan diserbu oleh aparat ke-amanan dan para anggota satuan pengamanan (satpam) PT Indolampung Perkasa. Belum sempat warga mengatur barisan, tujuh truk Fuso Hino dan sebuah kendaraan berat pengeruk tanah keburu menyisir dari samping kiri perkebunan. Truk-truk itu mengangkut ratusan karyawan PT Indolampung Perkasa. Baku hantam pun terjadi antara warga dan rombongan "penyerbu". Tentu saja pertempuran tak seimbang, apalagi warga hanya segelintir. Kusuma, seorang warga, malah diangkat tinggi-tinggi oleh alat penggaruk tanah itu. Begitu sampai di atas, pria berumur 45 tahun itu dibanting ke tanah. Kepalanya luka parah. Warga lainnya luka-luka. Malah dua warga, Wardi dan Paino, hilang hingga kini. Meskipun demikian, Abdul Gani mengaku belum patah semangat. "Kami akan terus menuntut perusahaan bila ganti rugi tanah tak juga dibayar," ujarnya, sembari menggemeratakkan gigi. Sebenarnya tanah seluas 2.835 hektare itu merupakan bagian dari proyek Gula Putih Mataram Group, anak perusahaan Grup Salim. Proyek itu digarap pada tahun 1991 lewat tiga buah perusahaan, yakni PT Indolampung Perkasa, PT Indolampung Buana Makmur, dan PT Indolampung Cahaya Makmur. Mereka membebaskan puluhan ribu hektare tanah warga di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Utara. Indolampung Perkasa memperoleh tanah seluas 11.880 hektare di Lampung tengah, termasuk tanah seluas 2.835 hektare itu, Indolampung Buana Makmur dapat tanah seluas 23.980,20 hektare di Lampung Utara, dan Indolampung Cahaya Makmur mendapatkan tanah seluas 28.407,76 hektare di Lampung Tengah dan Lampung Utara. Menurut kuasa hukum PT Indolampung Perkasa, Soeryadi dari kantor pengacara Gani Djemat, ganti rugi pembebasan semua tanah di atas sudah beres sejak Juni 1998. Ganti rugi dibayar sekitar Rp 300 per meter persegi, berdasarkan keputusan Tim Asistensi Penyelesaian Sengketa Tanah Provinsi Lampung. Yang bermasalah tinggal ganti rugi tanah seluas 2.835 hektare di Desa Surabaya Ilir itu. "Kami belum memperoleh ganti rugi sepeser pun," ucap Abdul Gani. Kendati warga sudah berkali-kali bertemu dengan pihak perusahaan, toh tak kunjung membuahkan hasil. Karena kesal, warga lantas menduduki lahan itu sejak Juli silam. Mereka juga menanami tanah itu dengan singkong, jagung, dan kelapa. Tapi semua tanaman itu musnah dalam kerusuhan tanggal 20 Agustus lalu. Namun, Azis Syamsuddin, yang juga kuasa hukum PT Indolampung Perkasa, membantah terjadinya kekerasan pada saat pengosongan lahan. Yang terjadi, katanya, satpam perusahaan menjaga areal perkebunan dari gangguan warga. Azis juga menepis tudingan bahwa kliennya tak kooperatif. Buktinya, ujar Azis, kliennya yang ikut bergabung dalam tim asistensi telah mampu menyelesaikan 75 persen masalah tanah seluas 2.835 hektare itu. Berarti solusinya tinggal selangkah lagi. Itu kata Azis. Menurut warga, lain lagi. Mereka menyangsikan kerja tim asistensi. "Sudah berbulan-bulan, hasilnya tak ada," kata Abdul Gani. Sayangnya, ketua tim asistensi, Herwan Achmad, enggan menjelaskan. "Semua masih dalam proses," ujar Herwan. Rupanya, batas kesabaran warga kian tipis. Pada 24 September 2001, warga melalui pengacara Muchyar Yara mengirim surat ke kantor pengacara Gani Djemat, yang kini dioperasikan oleh Humprey Djemat karena sang ayah, Gani, sudah meninggal. Lewat surat itu, Muchyar meminta agar Indolampung Perkasa membayar ganti rugi tanah warga. Namun, kantor pengacara Gani Djemat melalui surat tertanggal 1 Oktober 2001 menyatakan masalah tanah itu sudah ditangani oleh tim asistensi. Keruan saja Muchyar menganggap gayung tak bersambut. Jumat pekan lalu, Muchyar melayangkan somasi (peringatan) pertama. Ia menuntut Indolampung Perkasa agar mengembalikan tanah warga atau membayar ganti rugi sebesar Rp 336 per meter persegi. Berarti total ganti rugi tanah yang harus dibayar sebesar Rp 9,5 miliar. Selain itu, warga juga menuntut ganti rugi senilai Rp 169.620.700 akibat barang dan tanaman mereka yang dirusak dan dibakar oleh perusahaan. Warga memberi batas waktu 14 hari bagi perusahaan untuk memenuhi tuntutan itu. Bila tenggang waktu itu terlampaui, warga akan mengajukan perkara ke pengadilan. Entah bagaimana kelanjutan kasus tanah Lampung Tengah itu. Yang jelas, kasus tanah rakyat yang diambil secara paksa?bahkan dengan bantuan aparat keamanan?ataupun dihargai amat murah banyak terjadi di daerah lain. Di Batui di Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, misalnya. PT Banggai Sentral Shrimp, sebuah perusahaan tambak udang, menguasai tanah warga seluas 100 hektare hanya dengan mematok ganti rugi Rp 100 per meter persegi pada tahun 1988. Pihak perusahaan menganggap ganti rugi sebesar itu sudah layak. "Tanah itu sebenarnya tak bertuan," kata Samuel Rengku, Direktur PT Banggai Sentral Shrimp untuk perwakilan Palu, Sulawesi Tengah. Menurut Samuel, hingga tahun 1988 tak seorang pun warga yang membayar pajak tanah tersebut. Karena keadaan politik semasa Orde Baru amat menafikan hak rakyat, mau tak mau warga menerima ganti rugi itu. Ternyata sepuluh tahun kemudian, setelah Presiden Soeharto lengser, warga mempersoalkan ganti rugi yang dianggap tak manusiawi itu. Masyarakat meminta ganti rugi tambahan sebesar Rp 1 juta per hektare. Menganggap zaman memang sudah berubah, perusahaan pun mengabulkan tuntutan warga. Kesepakatan penambahan ganti rugi pun diteken oleh warga dan perusahaan. Selesai? Ternyata belum juga. Awal September lalu, warga Kelurahan Tolando dan Sisipan ramai-ramai menduduki ribuan hektare tambak udang PT Banggai. Rupanya, mereka mengaku belum menerima ganti rugi. Akhirnya dilakukan negosiasi pada 4 Oktober 2001. Hasilnya? Masih kisruh. Soalnya, sementara warga ngebet menghitung jumlah uang ganti rugi, perusahaan malah meminta agar dilakukan pengukuran dulu. Sekali lagi muncul kesepakatan: pengukuran dilakukan secara bertahap. Namun, ketika pengukuran berlangsung, warga malah buru-buru memagari tanahnya masing-masing. Situasi jadi tegang kembali. Malah warga menuntut agar perusahaan menyelesaikan pengukuran secepatnya. Giliran pihak perusahaan yang mengaku merasa berang dengan ulah warga. Bahkan Samuel Rengku menganggap tindakan warga sudah mengancam perusahaan. "Ini serius. Kami akan menutup perusahaan," kata Samuel. Memang, sampai akhir pekan lalu, perusahaan pengekspor 100 ton udang setiap bulan itu belum sampai benar-benar menggembok bisnisnya. Kasus tanah serupa juga terjadi di Kecamatan Pujut di Lombok Tengah, Nusatenggara Barat. Lombok Tourism Development Corporation (LTDC) dituding telah memaksa warga melepaskan tanah seluas 1.250 hektare pada tahun 1990. Harga ganti rugi tanahnya pun dibeda-bedakan. Tanah rakyat dihargai antara Rp 50 ribu dan Rp 250 ribu per 100 meter persegi, sementara tanah pejabat dibayar Rp 750 ribu per are (100 meter persegi). Warga ketika itu mengaku terpaksa menerima ganti rugi karena diintimidasi. ''Saya ditakut-takuti akan digusur kalau menolak,'' tutur Lalu Taji, seorang warga. Seperti juga kasus sebelumnya, penyakit warisan Orde Baru itu pun belakangan digugat. Sejak April 2001, warga beberapa kali menduduki kantor LTDC. "Ini pressure agar kasus ganti rugi tanah yang tak adil itu segera diselesaikan," kata Ervyn Kaffah dari lembaga swadaya masyarakat yang mengaku sebagai pemberdaya masyarakat setempat untuk kasus tanah tersebut. Namun, kepada pers dan kalangan anggota DPRD di sana, pihak LTDC membantah tegas tuduhan di atas. Bahkan penasihat hukum LTDC, Umaiyah, berharap agar kasus itu secepatnya diselesaikan secara hukum. Wens Manggut, Fadilasari (Lampung), Moehamad Kafid (Mataram), dan Darlis Muhamad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus