Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tertindih Rugi, Terlibas Korupsi

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beginilah nasib bisnis bila menggayut pada politik. Semasa Orde Baru, B.J. Habibie sesumbar bahwa PT Dirgantara Indonesia (DI) akan menjadi industri andalan Indonesia. Ternyata kini untuk bertahan hidup saja pabrik pesawat terbang itu megap-megap. Ia merugi sampai Rp 205 miliar, bahkan digerogoti korupsi lebih dari Rp 500 miliar. Ironisnya, yang gencar mengungkap korupsi di PT DI justru karyawannya sendiri. Melalui gelombang aksi unjuk rasa, mereka menuntut pembersihan direksi PT DI. Berbagai instansi, terutama kejaksaan selaku lembaga pengusut korupsi, juga mereka datangi. Dari tuntutan karyawan, beberapa kasus korupsi di PT DI pun dibidik oleh Kejaksaan Negeri Bandung. Kasus-kasus itu antara lain pengadaan barang fiktif, mark-up biaya pembelian komponen pesawat, biaya renovasi 6 bus karyawan, hilangnya 18 mesin pesawat, pemakaian dana non-gedung dan tanah, serta uang muka perjalanan ke luar negeri dan dalam negeri direksi. Pada kasus pengadaan barang fiktif, saat ini seorang manajer PT DI, Irwin Abdul Wahid, masih disidik kejaksaan. Irwin, yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kebunwaru, Bandung, diduga memanipulasi dana ratusan juta rupiah dengan membuat laporan palsu pembelian barang. Ceritanya, PT DI sejak 1997 melakukan pengembangan usaha. Lantas, datanglah pesanan untuk membuat 40 ribu unit parabola mini dari Matahari Lintas Cakrawala, pengelola Indovision. Nilai pesanan itu lumayan, sebesar Rp 1,4 miliar. Sebagai manajer proyek itu, Irwin kemudian men-"suborder"-kan bisnis tersebut ke perusahaan lain dengan membayar tiga tahap. Namun, Irwin membuat laporan fiktif seolah tahap pertama selesai, untuk memperoleh dana tahap kedua. Demikian pula untuk dana tahap ketiga. Setelah diusut, ternyata dana sebesar Rp 300 juta diduga ditilep Irwin. Adapun kasus berikutnya adalah pembelian 143 unit suku cadang helikopter, yang diduga digelembungkan sampai 24 kali lipat dari nilai sebenarnya. Selanjutnya adalah kasus pembengkakan harga dua kali lipat untuk pembelian 24 unit komponen CN-235. Akibatnya, PT DI menderita kerugian sekitar Rp 500 miliar. Untuk merenovasi enam bus karyawan pun diduga terjadi mark-up sebesar Rp 110 juta dari yang seharusnya Rp 79 juta. Selain itu, sebanyak 18 mesin pesawat yang harganya Rp 1 miliar raib. Masih ada lagi kasus uang muka perjalanan dinas dalam dan luar negeri para direksi PT DI sebesar US$ 257.400 dan Rp 20,4 miliar. Namun, baru kasus Irwin yang diproses kejaksaan. Berbagai kasus lainnya tak menunjukkan perkembangan berarti. Kepala Kejaksaan Negeri Bandung, Marwan Effendy, mengaku hal itu lantaran kasusnya sudah lama terjadi sehingga mereka yang diduga terlibat tak bekerja lagi di PT DI. Selain itu, kata Marwan, pihak manajemen PT DI kurang membuka diri terhadap langkah hukum kejaksaan. Bahkan permintaan kejaksaan agar PT DI menyertakan tim asistensi untuk mengungkap kasus-kasus tersebut tak kunjung ditanggapi. Tapi argumentasi kejaksaan dibantah oleh Direktur Utama PT DI, Jusman S. Djamal. Katanya, PT DI selalu siap mendukung upaya pemberantasan korupsi. "Silakan saja diperiksa. Kami siap membantu," ujar Jusman. Kalau begitu, kejaksaan, yang punya monopoli kekuasaan negara untuk memaksa, tinggal menunggu apa lagi? Katakanlah aksi pemberangusan kanker korupsi di tubuh PT DI bisa berlangsung, masih mungkinkah sosoknya yang rapuh selamat dari ancaman merugi? Dua tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan pernah mengisyaratkan bahwa badan usaha milik negara itu rugi Rp 205 miliar. Lagi-lagi Jusman mencoba bersikap optimistis. Menurut dia, PT DI masih berprospek bagus. Contohnya, banyak negara, di antaranya Pakistan, berminat membeli CN-235 produk PT DI. Pengembangan usaha PT DI juga telah menurunkan kerugian PT DI dari tahun ke tahun. Diharapkan kerugian bisa ditekan sampai Rp 90 miliar tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus