BANK Bumi Daya (BBD) dituduh tak mau melaksanakan eksekusi putusan Mahkamah Agung. Ini dilontarkan Ismed Machland Munir, 41 tahun, mewakili almarhum ayahnya, Munir Hamid, direktur PT Putri Kayangan Medan. Tudingan keras ini diajukan Ismed Sabtu pekan lalu dalam sebuah surat ke Mahkamah Agung (MA). Yang dipersoalkan, pelaksanaan eksekusi putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 1988. Menyangkut tanah milik Putri Kayangan seluas 7,5 hektare di Jalan Binjai Kilometer 19, Medan. Tanah yang dulunya merupakan agunan kredit Putri Kayangan, dalam putusan MA itu, harus dikembalikan. Sengketa Putri Kayangan dan BBD berawal dari kredit yang diberikan BBD pada tahun 1976. Belakang terjadi perbedaan angka dalam menghitung jumlah pinjaman, yang dalam hitungan BBD berjumlah Rp 920 juta. Ismed, yang merasa sudah melunasi kreditnya, dianggap BBD masih berutang. Karena itu, BBD merasa berhak menahan sejumlah agunan Putri Kayangan. Karena persoalan itu Ismed menggugat BBD ke pengadilan pada tahun 1986. Ismed dan Putri Kayangan menang di tingkat pengadilan tinggi. Karena itu, BBD harus mengembalikan barang-barang agunan Putri Kayangan. Upaya BBD untuk kasasi, dan bahkan peninjauan kembali, ternyata sia-sia. BBD kalah dan wajib mengembalikan barang-barang agunan Putri Kayangan. Dalam proses pengembalian barang-barang agunan itu, muncul persoalan tanah seluas 7,5 ha tersebut. BBD hanya mengembalikan sertifikatnya. Akta kuasa No. 20/ 1975 yang dibuat notaris Agus Salim tak dikembalikan. BBD mengganti akta kuasa untuk jaminan kredit ini dengan akta duplikat yang dikeluarkan notaris Maria Tarigan, karena akta notaris No. 20/1975 itu hilang. Ismed tak bersedia menerima pengembalian sertifikat itu. Hilangnya akta kuasa dinilai Ismed merupakan itikad tak baik yang ada hubungannya dengan kondisi tanah sekarang. Tanah itu sekarang telah dihuni 300 penduduk. "Bisa saja ada oknum yang memainkan akta itu," kata Ismed. Kepala Cabang BBD Medan, Ido Sianturi, ketika dikonfirmasi TEMPO tak mau menjawab bagaimana mekanisme pengawasan terhadap tanah agunan tersebut. Namun ia mengaku tak tahu tanah agunan itu telah digarap ratusan penduduk. Kepala Badan Pertanahan Nasional Binjai, Laden Damanik, malah tak bisa memastikan di mana lokasi tanah bekas agunan itu sekarang. Alasan yang diberikan Damanik, baru pada 1987 kawasan itu masuk wilayah Kota Madya Binjai, tadinya termasuk wilayah Deli Serdang. Namun, Damanik membenarkan, kawasan tempat tanah 7,5 ha itu berada memang telah menjadi tanah garapan rakyat. Di sana sudah dibangun pula rumah-rumah berkondisi semipermanen. "Bahkan ada tanah yang sudah bersertifikat," katanya. Menghadapi tuduhan Ismed, BBD pada tanggal 9 November lalu mengirim surat ke Mahkamah Agung. Dalam surat ini, Dirut BBD Pusat, H. Surasa, mengungkapkan bahwa akta kuasa yang disebut-sebut Ismed tidak termasuk putusan Mahkamah Agung. Soal tanah yang sudah berpenduduk dinilai Surasa bukan kewajibannya untuk mengurus. "BBD hanya menguasai dokumen bukti hak atas tanah, bukan fisiknya," tulis Surasa. Apakah berarti untuk mendapat kembali tanah itu Ismed harus memberi ganti rugi pada penduduk? Inilah persoalannya. "Itu tanggung jawab BBD," kata Ismed. "Saya hanya mau menerima tanah itu sesuai dengan yang diputuskan Mahkamah Agung." Jika BBD tetap tak mau? "Artinya putusan Mahkamah Agung itu cuma macan kertas," kata Ismed. Bersihar Lubis dan reporter Biro Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini