SEJAK Pengadilan Tinggi Singapura, Kamis dua pekan lalu, menjatuhkan vonis kasus Thahir -- sekaligus melegitimasi, menerima komisi adalah korupsi -- tiba-tiba saja banyak orang terhenyak. Benarkah minta komisi tergolong korupsi, dan bisa dikenai pasal anti-korupsi? Dari segi hukum pidana, menurut Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Indonesia, Prof Muladi, menerima komisi -- yang berkaitan dengan jabatannya -- memang dilarang, dan ada ancaman pidananya. Ia menunjuk Pasal 418 KUHP. Di situ disebut dengan jelas, pejabat dilarang menerima komisi atau pemberian dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan tugas dan jabatannya. Menerima komisi, kata Muladi, juga bisa dikenai Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971). Dalam UU itu disebutkan, tindakan memperkaya diri yang merugikan keuangan negara, baik langsung maupun tidak, bisa dianggap korupsi. "Komisi itu kan merugikan keuangan negara, jadi pelakunya bisa dikenai UU Anti-Korupsi," katanya. Di lain pihak, Muladi juga menyarankan agar perbuatan dua perusahaan Jerman (Siemens dan Klockner) sebagai pemberi komisi (sesuai dengan Pasal 209 KUHP), dikenai sanksi. "Kita tak bisa tinggal diam. Sebagai penyuap, mereka pun harus diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia." Tentang pengertian komisi, Dekan Fakultas Hukum UGM, Dr Maria Wulani Sumardjono, mengungkapkan, "Kalau mengacu pada hukum dagang Indonesia, pengertian komisi ada dua: komisi dengan pengertian positif dan komisi dalam pengertian negatif." Komisi positif adalah imbalan yang diterima seseorang karena profesi perantara. Ia berhak menerimanya (Pasal 76 KUHD). Tapi komisi yang diterima seorang pegawai yang sebenarnya tak berhak, seperti Thahir, tergolong komisi dalam pengertian negatif. "Komisi semacam itulah yang bisa dikenai ancaman pidana," ujar lulusan University of Southern California itu. "Kalau kita lihat dasarnya, putusan hakim Singapura mengambil dasar pertimbangan hukum Indonesia dan hukum Singapura. Jadi di sini ada similarity," kata Prof Komar Kantaatmadja, salah seorang saksi ahli yang ikut menentukan kemenangan Pertamina. Artinya, putusan pengadilan itu sesuai dengan bagian-bagian hukum Indonesia. Menurut Komar, dengan adanya putusan tersebut penafsiran bahwa minta komisi merupakan korupsi bagi pegawai negeri menjadi semakin tegas. Mereka bisa diancam dengan UU Anti-Korupsi. Dan sesuai dengan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1984 (Pasal 4), komisi itu merupakan hak negara, bukan milik perseorangan. Masalahnya, apakah putusan hakim Singapura bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Hakim Agung M. Yahya Harahap, sesuai dengan asas keadilan umum, putusan pengadilan yang ditetapkan di luar Indonesia itu bisa dilihat sebagai mengandung nilai-nilai keadilan umum. "Jadi bisa saja putusan itu diteladani, sebab hukum kita juga mengatur hal yang sama. Apalagi, putusan itu dikenakan pada orang Indonesia," kata Yahya. Keputusan pengadilan Singapura mengklasifikasikan penerimaan komisi sebagai korupsi, menurut Yahya, "Merupakan pukulan yang membuat kita sadar dalam penegakan hukum di Indonesia." Sekalipun ini merupakan kasus perdata, alasan pokoknya mengacu ke hukum pidana. Dalam alasan pokok ini disebutkan: seseorang tidak berhak atas komisi ilegal. Artinya, aspek pidananya ikut menjadi pertimbangan utama. "Ini merupakan putusan yang menghantam kita sendiri. Dan merupakan pukulan berat bagi hukum Indonesia," ujar Yahya. Mengapa? Karena undang-undang di Indonesia sebenarnya cukup lengkap mengatur soal komisi dan korupsi. Tapi, "Problemnya adalah, undang-undang itu belum dipraktekkan," kata Muladi. Barangkali dipraktekkan sesudah kasus komisi Thahir di Singapura itu. Tapi siapa orangnya yang bakal menjadi tumbal pasal-pasal yang taringnya masih tumpul itu? Wallahualam. Aries Margono, Andy Reza Rohadian, Heddy Lugito, dan Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini