Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama bersiap mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Agung bila Presiden Jokowi menandatangani Rancangan Peraturan Presiden tentang PKUB. Koalisi menilai Perpres tersebut diskriminatif terhadap kelompok minoritas berbasis agama maupun kepercayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB, Lola Marina Fernandez menyebutkan aturan ini mempertahankan pasal bermasalah dalam Peraturan Bersama Menteri yang kerap diprotes masyarakat sipil. "Isinya jauh lebih ganas. Negara kembali fasilitasi kasus intoleransi dan kekerasan berbasis agama," kata dia dalam konferensi pers yang digelar di Human Rights Working Group (HRWG) secara daring dan luring pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan itu juga merugikan penghayat kepercayaan karena tidak melibatkan penghayat kepercayaan dalam Forum Kerukunan Umat Beragama. Sekretaris Jenderal Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia atau MLKI, Is Werdiningsih mengatakan raperpres menutup peluang bagi penghayat kepercayaan untuk terlibat dalam FKUB.
Selama ini sudah ada praktek baik tentang pelibatan penghayat kepercayaan dalam FKUB di Cilacap untuk menyelesaikan konflik agama. Lewat raperpres itu, peran penghayat kepercayaan menjadi tersingkir. "Keberadaan penghayat diabaikan dan tidak diakui. Ini bertentangan dengan putusan MK," kata Is.
Pegiat HRWG, Jesse Adam Halim menjelaskan Presiden Jokowi seharusnya mengkaji aturan itu secara mendalam supaya tidak melanggar hak atas kebebasan beragama, terutama hak atas tempat ibadah. Raperpres seharusnya berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Jesse juga menegaskan raperpres itu tidak sejalan dengan komitmen pemenuhan hak asasi manusia di tingkat internasional. Dalam sidang PBB Tahun 2024, Indonesia mendapatkan catatan perlu memperbaiki situasi kebebasan beragama maupun berkeyakinan. "Aturan 90/60 itu bagian dari represifnya pemerintahan Jokowi berbasis populisme sektarian," kata dia.
Koalisi masyarakat sipil telah menggalang petisi online menolak aturan tersebut sejak Kamis sore, 3 Oktober 2024. Koalisi ini mendesak Presiden Jokowi agar tidak menandatangani raperpres dan mendengarkan suara masyarakat sipil.
Pegiat koalisi tersebut, Tantowi Anwari mengatakan raperpres itu melegitimasi kelompok tertentu menghambat pemenuhan hak beribadah, terutama pada bagian syarat dukungan 60/90. “Melalui kebijakannya, negara hadir untuk memfasilitasi kekerasan berbasis agama,” katanya.
Sejumlah lembaga yang tergabung dalam koalisi itu di antaranya Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau Sejuk, Sobat KBB, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI, SETARA Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Circle of Imagine Society atau Cis Timor, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Pelita Padang, Task Force KBB, Aliansi Advokasi KBB Kaltim, AJI Yogyakarta, dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.
Koalisi ini intensif membahas raperpres dan berbagai persoalannya sejak Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 yang diskriminatif ditetapkan. “Kami akan terus bersuara melawan aturan-aturan bermasalah. Judicial Review salah satu yang bisa digunakan,” kata Angelic Maria Cuaca atau akrab disapa Like dari Sobat KBB.
Rancangan perpres yang diterima Tempo menunjukkan aturan bermasalah tentang syarat pendirian rumah ibadah yakni 90/60 atas persetujuan warga tetap dipertahankan. Raperpres ini kini sudah di meja Presiden Joko Widodo.
Pasal yang paling ditolak masyarakat sipil itu mengatur tentang syarat khusus pendirian rumah ibadah, meliputi daftar nama pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Hal itu dibuktikan dengan KTP dan surat keterangan domisili yang diterbitkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah desa/kelurahan atau kecamatan.
Lalu, daftar nama masyarakat yang menyetujui pendirian rumah ibadah paling sedikit 60 orang. Hal itu dibuktikan dengan KTP dan surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah desa/kelurahan.
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Rumadi Ahmad menyatakan rancangan peraturan presiden itu selesai sejak September tahun ini. Pembahasan aturan itu melibatkan Kementerian Agama dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menurut dia, butuh waktu tiga tahun untuk membahas aturan tersebut. “Presiden Jokowi siap tanda tangan. Raperpres sudah di meja setneg,” ujar Rumadi.
Dia menyatakan aturan 90/60 dipertahankan atas permintaan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Majelis Ulama Indonesia. Ma’ruf dan MUI beralasan kesepakatan 60/90 muncul dari majelis-majelis agama pada 2006 dan dicapai dengan susah payah.
Pilihan editor: Pimpinan DPR Minta Para Hakim Batalkan Rencana Mogok Kerja