KALAU tak meleset, Senin pekan ini titik terang pelaku bom Makassar mulai tersibak di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Enam dari 13 tersangka pelaku pengeboman yang mengguncang ibu kota Sulawesi Selatan 5 Desember silam itu akan mengawali sidang sebagai terdakwa. Mereka adalah Suryadi, Khairul alias Herul, Ilham Riadi, Anton bin Labasse, Muhamad Tang alias Itang, dan Masnur.
Keenam tersangka dijerat pasal berlapis Perpu No. 1/2002 tentang Antiterorisme dan UU Darurat No. 12/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api dan Bahan Peledak. Ancaman hukuman maksimalnya 10 dan 20 tahun penjara. Adapun pengenaan pasal dakwaan, menurut Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Hamzah Tadja, disesuaikan dengan kondisi terdakwa.
Peledakan bom itu terjadi di dua lokasi terpisah. Ledakan pertama memporak-porandakan restoran cepat saji McDonald's di Mal Ratu Indah. Seorang anggota satpam, Gufron Rosadi (60 tahun), dan pengunjung restoran cepat saji, Ria Krisnawati (19 tahun), tewas akibat luka-luka di tubuhnya setelah dilarikan ke rumah sakit. Di titik ledakan, polisi menemukan sesosok mayat dalam keadaan mengenaskan. Korban ketiga itu kemudian diketahui bernama Azhar Daeng Salam, 26 tahun.
Selang sejam, terdengar letusan lain dari ruang pamer mobil milik keluarga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla di perempatan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Andi Pangeran Pettarani, sekitar lima kilometer dari ledakan pertama. Namun tak ada korban jiwa karena semua pegawai telah pulang. "Hanya ada kaca pecah sedikit," tutur Jusuf Kalla kepada TEMPO waktu itu.
Hingga kini otak pelaku pengeboman, Agung Hamid, 40 tahun, masih buron. Polisi baru berhasil menahan 13 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Usai disidik, berkas ke-13 tersangka itu dilimpahkan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ke Pengadilan Negeri Makassar dalam dua tahap, 28 Mei dan 3 Juni 2003.
Koordinator tim pengacara terdakwa, Abraham Samad, menilai proses pelimpahan berkas dakwaan itu batal demi hukum, karena melanggar aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Paling tidak, tiga aturan main telah ditabrak dalam proses pelimpahan berkas itu. Pertama, penyerahan berkas perkara ke pengadilan tak disertai penyerahan tersangka secara fisik. Padahal KUHAP mengharuskan tersangka ikut diserahkan, dan kewenangan penahanan otomatis beralih ke pengadilan.
Bersamaan dengan pelimpahan berkas, seharusnya para tersangka dipindahkan ke rumah tahanan negara (rutan). Menurut Abraham, kasus bom Makassar berbeda dengan bom Bali. Tak ditahannya tersangka bom Pulau Dewata di rumah tahanan Bali karena bangunannya direnovasi. Pelanggaran lain, sebelum penyerahan berkas semestinya ada pemberitahuan kepada tersangka, keluarganya, atau pengacaranya. Kenyataannya, setelah penyerahan pun tim pengacara tak pernah diberi tahu.
Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Hamzah Tadja, menyangkal telah melanggar aturan main. "Kami melakukannya menurut prosedur yang diatur KUHAP," katanya. Keharusan memberi tahu pengacara ihwal pelimpahan berkas terdakwa, misalnya, tak diatur KUHAP. Toh, "Sehari sebelum pelimpahan berkas, kami mengunjungi para tersangka di tahanan dan memberi tahu mereka," Tadja menjelaskan.
Pelimpahan berkas tanpa penyerahan tersangka juga tak menerabas aturan main. Pelimpahan berkas hanya melampirkan surat dakwaan dan barang bukti. Sedangkan tersangka tetap ditahan di kejaksaan, dan dilanjutkan dengan penahanan berdasarkan perintah majelis hakim. Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Andi Haedar, yang dihubungi terpisah, sependapat dengan Hamzah.
Melihat berlapisnya pasal yang didakwakan, sulit bagi para tersangka bisa lolos. Apalagi pasal antiterorisme dikenal tak pandang bulu. Siapa saja—dari pelaku utama hingga yang hanya diduga membantu—bisa dijerat dengan ancaman hukuman yang hampir sama beratnya. Tapi, "Kami memiliki alibi dan saksi yang kuat untuk menyangkal semua dakwaan itu," kata Abraham Samad.
Nurdin Kalim, Syarief Amir, Muannas (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini