Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban bisnis

25 petani dari desa cikarang, kecamatan cisewu, garut (ja-bar), dijatuhi hukuman penjara masing-masing 18 bulan, terbukti menyimpan biji ganja. (krim)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun lalu, "Pak Jenderal" dihukum enam bulan penjara karena jual beli ganja. Pekan ini, untuk kedua kalinya, ia akan diadili karena perkara yang sama. "Ia boleh dibilang godfather dalam soal ganja di seputar Garut sini," komentar sebuah sumber di Kejaksaan Negeri Garut, Jawa Barat. Pak Jenderal yang berusia 50 tahun dan tak pernah jadi tentara ini nama aslinya Mustofa, dan sehari-hari dikenal sebagai pedagang tembakau. Tapi penduduk Bayongbong, Kabupaten Garut, yang cukup berada ini ternyata mempunyai usaka lain. Ia suka menyebarkan bibit ganja kepada petani. Beberapa bulan kemudian, lewat kaki tangannya, ia membeli daun terlarang itu dengan harga yang menggiurkan. Sebanyak 25 petani miskin dari Desa Cikarang, Kecamatan Cisewu, menjadi korban kegiatan bisnis gelapnya. November lalu, mereka divonis masing-masing 18 bulan penjara, hanya karena terbukti menyimpan biji ganja. "Barangkali sudah menjadi nasib kami yang bodoh ini. Kepingin untung malah buntung," kata Aman, salah seorang di antara petani itu, kepada TEMPO di LP Garut, dengan nada menyesal. Lewat tangan Aman inilah, memang, penduduk desa terpencil di Garut Selatan itu mengenal ganja. Itu bermula, ketika usaha Aman berdagang tembakau seret, sementara ia tak mungkin bekerja di sawah yang rusak akibat debu Gunung Galunggung. Ia kemudian bertemu Jain, 60, seorang dukun di desanya. Dukun inilah yang menyarankan Aman menemui Pak Jenderal, "kalau ingin cepat kaya." Dasar lagi kepepet, Aman menemui Pak Jenderal, yang segera memberinya 14 butir "jimat". Butir-butir itu, yang sedikit lebih kecil dari merica, tak lain biji ganja. Mustofa lalu memberi kuliah singkat tentang cara menanamnya, disertai jaminan bahwa bila pohon yang diberi nama surawung nagari itu tumbuh, ia sanggup memheli Rp 2,5 juta sekilo. Ini janji yang kelewat muluk karena di Jakarta saja harga ganja hanya Rp 150 ribu, dan di Bali Rp 250 ribu. Aman, 35, begitu pengakuannya kepada TEMPO, tak tahu bahwa itu biji ganja yang dilarang ditanam. Hanya, ia sedikit percaya bahwa Mustofa seorang jenderal karena, "kepalanya botak dan rumahnya besar." Belum jelas kenapa Mustofa dijuluki jenderal. Jaringan operasinya dan peranannya dalam dunia perganjaan juga belum diketahui. Namun, diduga keras, dialah otak penyebaran biji ganja di wilayah Garut. Sekembali dari Bayongbong, Aman memberikan sembilan biji surawung kepada Igor, 36, yang lalu menyemaikannya di dalam bumbung. Yang bisa tumbuh ternyata hanya satu, dan ditanam di belakang rumah. Dalam tiga bulan tumbuhan itu sudah setinggi satu meter lebiL. Daunnya lebat dan bijinya mencapai 300 lebih. Igor segera memanen dan bersama Aman membawa ke hadapan jenderal. Ternyata ditolak. "Daun ini terlalu muda. Mestinya ditunggu sampai enam bulan," kata Mustofa, sembari memberi Rp 4 ribu, sebagai ongkos jalan. Keduanya belum menyerah. Biji ganja hasil panen mereka bagikan kepada para tetangga, untuk ditanam beramai-ramai. Tapi, karena masih muda, tak bisa tumbuh. Sementara itu, Rochman, kepala Desa Cikarang, yang mulai mencium ada yang tak beres, menghubungi polisi. Dua puluh lima orang warganya pun lalu ditahan, termasuk Udi, 48, dan Igor serta Aman. Setelah diperiksa, mereka pun diadili dan dijatuhi hukuman. Wagimin, 51, penduduk Desa Kesamben, Malang, juga dihukum karena melakukan kegiatan yang sama. Dua pekan lalu ia diganjar setahun penjara dan denda Rp 500 ribu atau dua bulan kurungan, karena terbukti menanam ganja. Sedang keponakannya, Soepomo, dihukum satu tahun. Penanaman ganja, meski hanya kecil-kecilan, tak hanya terjadi di Garut dan Malang. Di Jakarta, Bali, dan beberapa daerah lain muncul kasus serupa. Seorang perwira menengah polisi antinarkotik di Markas Besar Polri tak menyangkal bahwa hal itu terjadi karena ladang ganja liar di pedalaman Aceh semakin sering diobrakabrik. Dalam operasi yang kini masih dilancarkan, polisi Aceh berhasil memusnahkan 46 ton lebih batang dan daun ganja, serta menangkap 30 tersangka. Dan akhir tahun lalu, di pedalaman Aceh itu juga ditemukan 38 hektar ladang ganja di 87 lokasi. Tekanan berat dan bertubi-tubi di daerah sumber ganja itu, rupanya, membuat sindikat berpikir untuk menanamnya di daerah yang dekat dengan konsumen - potong kompas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus