DUA tahun lalu, "Pak Jenderal" dihukum enam bulan penjara
karena jual beli ganja. Pekan ini, untuk kedua kalinya, ia akan
diadili karena perkara yang sama. "Ia boleh dibilang godfather
dalam soal ganja di seputar Garut sini," komentar sebuah sumber
di Kejaksaan Negeri Garut, Jawa Barat.
Pak Jenderal yang berusia 50 tahun dan tak pernah jadi tentara
ini nama aslinya Mustofa, dan sehari-hari dikenal sebagai
pedagang tembakau. Tapi penduduk Bayongbong, Kabupaten Garut,
yang cukup berada ini ternyata mempunyai usaka lain. Ia suka
menyebarkan bibit ganja kepada petani. Beberapa bulan kemudian,
lewat kaki tangannya, ia membeli daun terlarang itu dengan harga
yang menggiurkan.
Sebanyak 25 petani miskin dari Desa Cikarang, Kecamatan Cisewu,
menjadi korban kegiatan bisnis gelapnya. November lalu, mereka
divonis masing-masing 18 bulan penjara, hanya karena terbukti
menyimpan biji ganja. "Barangkali sudah menjadi nasib kami yang
bodoh ini. Kepingin untung malah buntung," kata Aman, salah
seorang di antara petani itu, kepada TEMPO di LP Garut, dengan
nada menyesal.
Lewat tangan Aman inilah, memang, penduduk desa terpencil di
Garut Selatan itu mengenal ganja. Itu bermula, ketika usaha Aman
berdagang tembakau seret, sementara ia tak mungkin bekerja di
sawah yang rusak akibat debu Gunung Galunggung. Ia kemudian
bertemu Jain, 60, seorang dukun di desanya. Dukun inilah yang
menyarankan Aman menemui Pak Jenderal, "kalau ingin cepat kaya."
Dasar lagi kepepet, Aman menemui Pak Jenderal, yang segera
memberinya 14 butir "jimat". Butir-butir itu, yang sedikit lebih
kecil dari merica, tak lain biji ganja. Mustofa lalu memberi
kuliah singkat tentang cara menanamnya, disertai jaminan bahwa
bila pohon yang diberi nama surawung nagari itu tumbuh, ia
sanggup memheli Rp 2,5 juta sekilo. Ini janji yang kelewat
muluk karena di Jakarta saja harga ganja hanya Rp 150 ribu, dan
di Bali Rp 250 ribu.
Aman, 35, begitu pengakuannya kepada TEMPO, tak tahu bahwa itu
biji ganja yang dilarang ditanam. Hanya, ia sedikit percaya
bahwa Mustofa seorang jenderal karena, "kepalanya botak dan
rumahnya besar." Belum jelas kenapa Mustofa dijuluki jenderal.
Jaringan operasinya dan peranannya dalam dunia perganjaan juga
belum diketahui. Namun, diduga keras, dialah otak penyebaran
biji ganja di wilayah Garut.
Sekembali dari Bayongbong, Aman memberikan sembilan biji
surawung kepada Igor, 36, yang lalu menyemaikannya di dalam
bumbung. Yang bisa tumbuh ternyata hanya satu, dan ditanam di
belakang rumah. Dalam tiga bulan tumbuhan itu sudah setinggi
satu meter lebiL. Daunnya lebat dan bijinya mencapai 300 lebih.
Igor segera memanen dan bersama Aman membawa ke hadapan
jenderal. Ternyata ditolak. "Daun ini terlalu muda. Mestinya
ditunggu sampai enam bulan," kata Mustofa, sembari memberi Rp 4
ribu, sebagai ongkos jalan.
Keduanya belum menyerah. Biji ganja hasil panen mereka bagikan
kepada para tetangga, untuk ditanam beramai-ramai. Tapi, karena
masih muda, tak bisa tumbuh. Sementara itu, Rochman, kepala Desa
Cikarang, yang mulai mencium ada yang tak beres, menghubungi
polisi. Dua puluh lima orang warganya pun lalu ditahan, termasuk
Udi, 48, dan Igor serta Aman. Setelah diperiksa, mereka pun
diadili dan dijatuhi hukuman.
Wagimin, 51, penduduk Desa Kesamben, Malang, juga dihukum karena
melakukan kegiatan yang sama. Dua pekan lalu ia diganjar setahun
penjara dan denda Rp 500 ribu atau dua bulan kurungan, karena
terbukti menanam ganja. Sedang keponakannya, Soepomo, dihukum
satu tahun. Penanaman ganja, meski hanya kecil-kecilan, tak
hanya terjadi di Garut dan Malang. Di Jakarta, Bali, dan
beberapa daerah lain muncul kasus serupa.
Seorang perwira menengah polisi antinarkotik di Markas Besar
Polri tak menyangkal bahwa hal itu terjadi karena ladang ganja
liar di pedalaman Aceh semakin sering diobrakabrik. Dalam
operasi yang kini masih dilancarkan, polisi Aceh berhasil
memusnahkan 46 ton lebih batang dan daun ganja, serta menangkap
30 tersangka. Dan akhir tahun lalu, di pedalaman Aceh itu juga
ditemukan 38 hektar ladang ganja di 87 lokasi.
Tekanan berat dan bertubi-tubi di daerah sumber ganja itu,
rupanya, membuat sindikat berpikir untuk menanamnya di daerah
yang dekat dengan konsumen - potong kompas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini