PERKARA penyelundupan lewat bandar udara Kemayoran itu cepat
sekali diproses. Pekan ini, polisi menyerahkan berkasnya ke
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, setelah belasan tersangka yang
diduga terlibat diperiksa. Yang didakwa sebagai pemeran utama
dalam kasus yang menghebohkn itu, menurut sebuah sumber, tak
lain memang Ir. Hamid, direktur utama PT Multi Episode, yang
mencarter pesawat Fokker 27 milik Sempati Air Transport.
Pesawat itu dicarter untuk mengangkut barang sekitar empat ton,
sekali angkut, dengan tarif Rp 1,5 juta per jam terbang. Dalam
kontrak disebutkan bahwa barang yang akan diangkut berupa
peralatan elektronik dan komputer milik PT Nurtanio. Dan, karena
peralatan itu memerlukan suhu rendah, pihak Sempati menyetujui
pesawat diterbangkan pada malam hari. Maka, pada sekitar pukul
02.00 dinihari, 6, 7, dan 9 November lalu. Fokker-27 yang
bernama Natalus itu pun mendarat di Kemayoran.
Selama parkir di taxi way Golf, Natalus memuntahkan muatannya
yang kemudian ditampung dua truk. Tanpa melewati pemeriksaan apa
pun, truk meninggalkan Kemayoran.
Ternyata, barang yang dibawa Natalus bukan milik Nurtanio.
Asisten direktur utama Nurtanio bidang komersial, Ir. S.
Paramajuda, kepada TEMPO menyatakan bahwa pihaknya memang pernah
memesan seperangkat komputer IBM. Peralatan seberat sekitar 8,5
ton itu dipesan lewat agen tunggalnya, PT Usaha Sistem Informasi
(USI): "Kami tak pernah berhubungan langsung dengan perusahaan
yang mengangkutnya. Sebab, sebagai pembeli, kami hanya tahu
barang sampai di tempat," katanya.
Proses pengangkutan itu, menurut sumber TEMPO yang lain,
berlangsung pada 14-22 November lalu. Jadi, sekitar seminggu
sampai dua minggu setelah "peristiwa Kemayoran". Barang itu,
katanya, diangkut dengan pesawat JAL dari Jepang, 14 November.
Setelah tiba di Singapura, empat hari kemudian barang
dipindahkan ke pesawat CL-44 milik Bayu Airlines. Esoknya, Setia
Usaha, yang mencarter pesawat, mengangkut peralatan itu ke
Jakarta.
Pesawat tadi, menurut sumber itu lagi, sempat tiga hari parkir
di Jakarta karena pihak Nurtanio di Bandung perlu menyiapkan
penempatannya. Untuk pengangkutan Jakarta-Bandung, masih dengan
pesawat yang sama, barulah PT Multi Episode - yang tak lain anak
perusahaan Setia Usaha - berperan. "Baru pertama kali itu kami
berhubungan dengan Multi Episode," katanya.
Jadi, rupanya, barang-barang - berupa peralatan elektronik,
tekstil, dan parfum yang diangkut Fokker:27. Sempati pada 6,7,
dan 9 November, tak ada sangkut paut sama sekali dengan
perusahaan pesawat terbang di Bandung itu. Barang-barang
sekitar 12 ton itu, menurut sumber TEMPO, sepenuhnya tanggung
jawab Hamid. "Sebagian miliknya sendiri, sebagian yang lain
barang titipan," katanya. Untuk menggolkan kerja besarnya, ia
mengadakan kerja sama dengan beberapa pejabat di Kemayoran.
Pesawat carteran, menurut sebuah sumber di Kemayoran, sebenarnya
tak aneh bila digunakan menyelundup. Supaya tidak menanggung
rugi, pencarter pesawat biasanya menyewakan ruangan yang masih
kosong. Barang gelap itu disisipkan di antara barang resmi
seperti tercantum dalam dokumen. "Istilahnya split," kata sumber
tadi.
Karena tersamar, barang selundupan itu bisa langsung dibawa
keluar bandar udara, nebeng "kekebalan" barang yang resmi. Kerja
sama begini menguntungkan semua pihak. "Pencarter pesawat untung
karena bisa menekan ongkos carter, dan pemilik barang titipan
senang pula karena, selain harganya - jatuh lebih murah, proses
pengeluarannya bisa cepat," kata sumber tadi. Yang rugi, tentu
saja negara, karena bea masuk tak dibayarkan.
Penyelundupan sistem "tembak langsung" - bukan hanya split,
seperti terjadi 6,7, dan 9 November - sudah tentu menyebabkan
kerugian negara lebih besar, sebab tak satu sen pun membayar
bea.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini