MESKI hanya sebagai mantri kesehatan, Kastari dan Agus Sukirno berani praktek seperti dokter tulen. Dua pembantu di ruang operasi RSU Rembang berumur 46 tahun dan 30 tahun itu ngobyek keluar-masuk kampung. Sewaktu mereka mengoperasi kaki Pai, penduduk Desa Kuangsan, Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, 7 April lalu, pasien itu meninggal. Pai, 24 tahun, ibu seorang anak, sejak tujuh bulan lalu lutut kirinya nyeri. Beberapa kali ia berobat ke puskesmas, namun tak juga sembuh. Malah lututnya makin bengkak, dan ia tak bisa jalan lagi. Dua bulan lalu, Ngarwi, suami Pai, membawanya ke RSU Rembang. Dari pemeriksaan radiologi, Pai mengidap kanker tulang. Lantaran kekurangan tenaga ahli dan alat, pihak rumah sakit menganjurkan agar dibawa ke RS Solo. Keluarga petani gurem itu tak bisa memenuhi anjuran tadi. ''Kami tak punya biaya,'' ujar Rasipan, ayah Pai. Pai makin lemah tergolek di balai-balai bambu di rumah berdinding gedek dan berlantai tanah itu. Tibalah Mantri Kastari di Desa Kuangsan, 4 April lalu, menawarkan jasanya. Kastari yang sudah kondang di beberapa desa sekitar Rembang itu lantas memeriksa kondisi lutut Pai. Kastari menganggap enteng penyakit itu, hanya ia perlu tenaga yang bisa melakukan pembedahan. Tiga hari kemudian, Kastari datang bersama Agus Sukirno, lengkap dengan alat bedah. Mula-mula Agus melakukan pembiusan lokal. Lalu bagian yang bengkak ia sobek sekitar dua sentimeter dengan pisau bedah. Nanah segera mengucur. Yang agaknya tak diduga, darah segar pun turut muncrat dari lubang bedahan. ''Anak saya sampai pingsan,'' tutur Rasipan. Tapi Kastari maupun Agus tak bertindak apa-apa, misalnya membawa Pai ke rumah sakit melihat kondisi yang kritis. Mereka cuma berpesan, kalau Pai siuman, agar diberi minum air gula. Mereka pun pergi setelah dibayar Rp 35.000. Beberapa saat kemudian, nyawa Pai meninggalkan jasadnya. Sampai saat ini hasil otopsi dokter masih dirahasiakan, tapi diduga penyebab kematian Pai lantaran kehabisan darah atau infeksi. ''Saya ikhlas anak saya meninggal. Saya orang kecil, tak mau banyak kerepotan berurusan dengan pemerintah,'' kata Rasipan. Sampai sekarang dua mantri itu tak pernah minta maaf kepada keluarga korban ataupun memberikan uang duka. Malah beberapa hari lalu mereka minta Rasipan mencapkan jempolya di kertas kosong, entah untuk apa. ''Jika pemerintah mau mengusut perkara ini, silakan,'' tambah Rasipan. Sampai sekarang, Kastari dan Agus tidak ditahan polisi. ''Kami masih mengadakan pengusutan, meski tak ada pengaduan dari keluarga korban,'' ujar Kepala Polres Rembang, Letnan Kolonel Sutaryo. Kedua mantri itu beberapa kali ditemui TEMPO, tapi menolak dikonfirmasi. ''Kami dipesan atasan agar tak berkomentar kepada wartawan,'' kata mereka. Agus bertugas di ruang operasi baru sekitar dua tahun. Ia bisa melakukan pembiusan karena pernah kuliah di akademi anestesi selama tiga tahun. Menurut pegawai golongan II-b ini, ia baru pertama kali ngobyek. Lain Kastari, yang punya masa kerja 15 tahun, ia memang suka mengasong. Pegawai golongan II-c berijazah SLTA ini pernah kursus kesehatan beberapa bulan. Mereka masih bekerja hingga kini. Direktur RSU Rembang, Aris Munandar, mengaku tak memberikan sanksi kepada mereka karena perbuatan itu dilakukan di luar rumah sakit. ''Untuk menjatuhkan sanksi, kami menunggu keputusan Departemen Kesehatan,'' katanya. Namun, Kepala Dinas Kesehatan Rembang, Dorodjatun, menilai dua mantri itu telah melakukan perbuatan kriminal. Ia mengusulkan kepada bupati agar mereka dijatuhi hukuman administrasi, meski tidak sampai dipecat. Menurut Dorodjatun, banyak mantri yang ngobyek di luar kantor seperti Kastari. Agar tragedi Pai tak terulang, ia merencanakan mendirikan balai pengobatan dengan penanggung jawab seorang dokter. Tapi, bagi petani miskin seperti Rasipan, agaknya lebih mudah dan murah biayanya bila berobat ke dukun atau mantri yang mengasong itu. Ardian T. Gesuri dan Bandelan Amarudin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini