KABURNYA Lukman Hartono dan Herlina Salim, dalam kasus pemalsuan saham palsu belum lama ini di Bursa Efek Jakarta, ternyata telah memperpanjang daftar nama buronan polisi. Lukman dan Herlina, yang berhasil mengantongi Rp 3,9 miliar, kabarnya terbang ke Hong Kong, dan menurut info terakhir mereka sudah menerobos ke daratan Cina. ''Kalau sudah kabur ke luar negeri, memang sulit ditangkap,'' kata Wakil Kepala Sub-Direktorat Serse Ekonomi Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri), Letnan Kolonel Hamim Suariamidjaja, kepada TEMPO. Pernyataan Hamim beralasan. Sejak tahun 1985, tercatat sekitar 31 penjahat perbankan yang dinyatakan sebagai buronan polisi. Mereka diduga telah membawa kabur dana masyarakat sebanyak lebih dari Rp 80 miliar. Hingga kini, jumlah mereka itu hanya menyusut menjadi 19 orang. Yang masih belum tertangkap termasuk para penjahat kelas kakap. Contohnya seperti yang dilakukan Lobak Chendra alias Tan Thian Tek. Direktur Utama PT Bank Pasar Dwimanda ini telah membawa lari uang milik 1.000 nasabah sebesar Rp 20 miliar. Atas kejadian itu, para nasabah tentu dibuat kelabakan. Belum reda dengan kasus Lobak Chendra, para nasabah Bank Pasar Gunung Palasari juga dihoyak kalang-kabut. Anthony Juwono, direktur umum bank yang berkantor di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat ini, ternyata telah membawa kabur uang milik 702 nasabah, sebesar Rp 20 miliar. Pada tahun 1989, giliran 4.000 nasabah PT Telagamas Murnibenghar dibuat panik. Kosim Wahab, bos perusahaan yang mengaku bergerak dalam bidang ekspor-impor itu, kabur dengan mengantongi Rp 40 miliar uang rekanannya itu. Selain kasus-kasus tersebut di atas, deretan daftar kasus serupa juga masih menyibukkan jajaran polisi. Menurut Hamim, kaburnya para pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime) itu ke luar negeri menghadapkan posisi polisi pada beberapa kesulitan. Soal perjanjian ekstradisi, misalnya. Jika tak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan negara tempat penjahat itu bersembunyi atau berlindung, tentu polisi di sini menghadapi batu sandungan. Hamim memberi contoh antara Singapura dan Indonesia. Singapura, katanya, adalah satu-satunya negara ASEAN yang belum mau meneken kerja sama ekstradisi dengan Indonesia. Hingga kini, tidak diketahui apa alasannya. Tapi, yang jelas, akibat alotnya perjanjian itu, polisi Indonesia yang menerima getahnya. Misalnya, sulitnya mengusut Anthony Juwono, yang kini kabarnya berleha-leha di Singapura. Padahal, sejak empat tahun silam, lelaki ini menjadi buronan Mabes Polri. Hingga kini, polisi belum dapat membawa Anthony ke Indonesia. Demikian pula Lobak Chendra. ''Kita sudah tahu alamatnya yang terakhir di Kanada, tapi kami tidak bisa menangkapnya,'' kata Hamim. Ini semua karena polisi terbentur pada tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan negara tersebut. Sebenarnya, menurut Hamim, kerepotan akibat ekstradisi yang birokratis itu masih bisa diselesaikan dengan kerja sama yang baik antara kepolisian kedua negara. Jika perjanjian ekstradisi tidak ada pun, penangkapan seorang penjahat di negara lain mudah dilakukan bila kedua pihak berhubungan baik, yakni melalui sistem pindah tangan atau handing over. Ada satu contoh kerja sama yang baik dengan kepolisian Jerman. Suatu kali terjadi pembunuhan di Jerman. Pelakunya lalu kabur ke Indonesia, dan ia sempat bersembunyi di Bekasi, Jawa Barat. Ketika pembunuh ini bisa ditangkap polisi Indonesia, ia kemudian diserahkan kepada polisi Jerman, yang menjemputnya di Bandara Sukarno-Hatta. Seandainya buronan tersebut ada di dalam negeri, barangkali pihak kepolisian bisa menerapkan kiat yang selama ini dipakai Kejaksaan Agung, yaitu menayangkan gambar atau foto buronan itu di layar TVRI. Teknik tersebut agaknya efektif. Buktinya, sudah ada beberapa buronan yang tertangkap ataupun menyerahkan diri. Tapi, kalau penjahat yang sudah kabur ke luar negeri itu sulit ditangkap, perlukah diminta bantuan penayangan fotonya di saluran televisi Cable Network News (CNN) yang jaringannya memang luas itu? Gatot Triyanto dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini