Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pendamping Korban Kekerasan Seksual Perlu Perlindungan

Pendamping korban kekerasan seksual mudah dikriminalkan menggunakan UU ITE.  Padahal korban sangat membutuhkan pendampingan.

8 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu kegiatan rapat advokasi Meila Nurul Fajriah di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembela korban kekerasan seksual dikriminalkan dengan UU ITE.

  • Polisi menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti.

  • Perlu ada aturan yang memberikan perlindungan kepada pendamping korban kekerasan seksual.

SAAT dilaporkan ke polisi pada 2021, Meila Nurul Fajriah tengah mengandung anak pertama. Ia dituduh telah mencemarkan nama seseorang sehingga dijerat menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Saya tahu dari media, tidak pernah dapat info langsung dari polda,” tutur advokat publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu kepada Tempo, Rabu, 7 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena tengah mengandung, Meila tidak bisa memenuhi panggilan polisi untuk mediasi. Sampai akhirnya pada Juni 2024, polisi menetapkan dia sebagai tersangka. “Ya ini upaya melemahkan perjuangan penyintas kekerasan seksual dan advokat masyarakat untuk memperjuangkan hak korban,” ucap Meila.

Setahun sebelum Meila dilaporkan ke polisi, LBH Yogyakarta mendampingi 30 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dari hasil investigasi dan keterangan para korban, perbuatan amoral itu diduga dilakukan oleh IM, mahasiswa berprestasi di UII. “Korban meminta keadilan karena kekerasan itu ada, tapi IM justru mendapat panggung di kampus,” ujar Meila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meila Nurul Fajriah. Dok. Pribadi

Menurut Meila, ketika itu LBH menempuh jalur non-litigasi. Hasil investigasi yang diperoleh LBH diserahkan kepada Rektor UII. Berdasarkan laporan itu, Rektor kemudian mencabut status mahasiswa berprestasi yang disandang IM. Pria itu tidak menerima, lalu menggugat keputusan rektor tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ia juga melaporkan Meila serta tim LBH Yogyakarta ke polisi.

Polisi meningkatkan penanganan kasus ini ke tahap penyidikan pada Mei 2024 dan menetapkan Meila sebagai tersangka pada Juni 2024. Namun, dua bulan kemudian, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta justru mengeluarkan surat bernomor SPPP/030.e/VIII/RES.2.5./2024/Ditreskrimsus untuk menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti untuk dilanjutkan.

Direktur Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum mengatakan kasus yang dialami Meila merupakan contoh bahwa UU ITE masih kerap digunakan sebagai alat untuk mempidanakan seseorang. “UU ITE ini terus dijadikan alat untuk mencelakai aktivis. Kalau dilihat penggunanya, ya orang-orang yang problematik,” ujar Nenden.

Berdasarkan laporan pemantauan yang dilakukan SAFEnet pada triwulan I atau Januari hingga Maret 2024, kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di ranah digital terjadi sebanyak 30 kasus dengan 52 terlapor, yang tiga di antaranya adalah aktivis. Dari jumlah kasus itu, yang masuk Pasal 27A UU ITE atau tentang penyerangan kehormatan atau nama sebanyak tiga kasus.

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Gadjah Mada (PPKS UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, seharusnya aparat penegak hukum sadar bahwa para perempuan pembela hak asasi manusia dan pendamping korban kekerasan seksual harus mendapatkan perlindungan. “Pendamping korban saja dilaporkan, gimana nanti korbannya?” tutur Sri Wiyanti, Selasa, 6 Agustus 2024. “Korban jadi makin takut melapor. Ini bahaya, lho, perlu dipikirkan advokasi lebih lanjut.”

Menurut dia, tak semua korban kekerasan seksual mempunyai keberanian untuk melapor dan menjalani proses hukum. Bahkan, dari 110 kasus kekerasan seksual yang ditangani Satgas PPKS UGM, hanya lima kasus yang berlanjut ke ranah hukum. Itu pun ada yang tak berlanjut dari pelaporan. Begitu pun kasus yang ditangani Meila.

Menurut Sri, kekerasan seksual acapkali terjadi karena relasi kuasa. Pelaku biasanya adalah orang yang punya popularitas dan berkedudukan tinggi secara sosial. Gap yang terbentuk antara korban dan pelaku membuat korban merasa takut untuk melapor. Karena itu, korban butuh pendampingan untuk berani mengungkap kejahatan pelaku.

Itulah mengapa dalam proses penyusunan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), para aktivis mendesak untuk memasukkan klausul tentang perlindungan bagi pendamping. Hal itu pun diatur dalam Pasal 28 yang menegaskan bahwa pendamping berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi di setiap tingkat pemeriksaan.

Kemudian dalam Pasal 29 disebutkan bahwa pendamping hukum yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan iktikad baik.

“Perlindungan hanya bisa dilakukan kalau pendamping korban benar-benar menjalankan perannya karena punya kapasitas dan iktikad baik. Ini jadi dasar pendamping hukum,” tutur Sriwiyanti.

Peran pendamping korban pun sentral. Bahkan mendapatkan pendampingan merupakan hak korban. Sedangkan pendamping tersebut bisa merupakan pendamping hukum, konselor, yang memberikan layanan kesehatan, memberikan layanan sosial, baik yang bergabung dalam lembaga negara maupun non-lembaga negara.

UU ITE, kata Sriwiyanti, menjadi ancaman bagi pendamping korban kekerasan seksual. Itu menjadi salah satu alasan klausul “perlindungan pendamping” diatur dalam UU TPKS. “Siapa pun bisa menjadi terlapor. Apalagi pelapor punya kuasa. Jadi, harus ada jaminan hukum untuk melindungi pendamping yang membantu korban,” kata Sriwiyanti.

Aksi mendesak untuk revisi total UU ITE karena dapat mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, 28 Mei 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis

Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Aloysius Wisnubroto, menjelaskan, dalam UU ITE versi pertama, yakni UU Nomor 11 Tahun 2008, memang tidak ada acuan mengenai “pencemaran nama” maupun “penghinaan”. Perubahan baru terjadi setelah aturan itu direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 (terbaru UU Nomor 1 Tahun 2024). Frasa “pencemaran nama baik” dan “penghinaan” mengacu pada klausul dalam KUHP. Bahwa disebut pencemaran nama baik apabila menyerang kehormatan, artinya ada niat dengan tujuan menyerang kehormatan seseorang. Namun ada juga klausul yang menyebutkan, apabila untuk kepentingan publik, bisa menjadi alasan penghapusan pidana.

“Yang dilakukan Meila kan tidak bermaksud menyerang kehormatan dan mempermalukan orang lain. Tapi mengadvokasi mereka yang rentan menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Wisnubroto.

Dia tidak memungkiri pasal karet “pencemaran nama baik” acapkali diperdebatkan karena bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kehidupan berdemokrasi. Para aktivis pembela HAM menjadi salah satu korban. “Kalau dulu, aktivis berhadapan dengan kekuasaan kan penanganannya diculik, dibuang. Sekarang dengan keterbukaan pakai jalur legal,” ucap Wisnubroto.

Namun, di sisi lain, ia tak menyangkal bahwa aturan tersebut menjadi alat kontrol bagi pemerintah. Alasannya, untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa dalam sopan santun berkomunikasi. “Yang jadi masalah kalau penerapannya enggak benar,” ujar Wisnubroto. “Rentan dipakai oleh yang powerfull untuk menekan yang lemah.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Pito Agustin Rudiana berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus