Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Berperan demikian adalah mengubah diri dari sosoknya yang telanjur kita kenal dalam lukisan potret dirinya yang termasyhur: sosok yang mengagumi seraya berlaku brutal terhadap diri sendiri. Ia merengkuh kita untuk menikmati rasa sakitnya yang panjang. Kita tak bisa melupakan, misalnya, potret dirinya dari 1940: lehernya berdarah, berkalung cecabang duri dengan bandul seekor burung mati. Di sanggulnya hinggap sejumlah capung dan kupu-kupu. Di punggungnya, monyet marmoset dan kucing hitam. Juga potret dirinya dari 1939: dua Frida (kembaran) berpegangan tangan, membelakangi langit mendung. Jantung keduanya tampak cemerlang di dada, dihubungkan dengan pipa nadi yang melayang di udara.
Frida dalam rekaman hitam-putih Alvarez Bravo adalah ia yang sudah lelah memamerkan rasa sakitnya. Lihat, misalnya, di halaman yang terang itu, ia mematung di depan cermin yang tertempel di dinding. Tapi ia tak becermin. Ia hanya melongok ke bawah, seperti mencari damai. Tangannya berpegang gamang pada tembok kasar. Di kakinya, dua ekor anjing gundul Itzcuintli dan sebuah patung batu Aztec. Lihat juga, Frida duduk di tempat tidurnya, berpangku tangan, memandang tenang ke arah kita. Bayangan ranjang membesar ke dinding, membuat tubuhnya tampak mengambang, terbebas dari cacat yang dideritanya.
Frida tak tampak berpose. Sebab, rumah di Coyoacan, Meksiko, itulah dunia yang sebenarnya baginya. Ia terhalang mengarungi dunia orang ramai. Pada umur 18 tahun, tulang belakang, tulang pinggang, dan rahimnya remuk oleh kecelakaan bus. Cacat ini tak tersembuhkan. Ia inginkan anak, tapi tiga kali hamilnya terpaksa digugurkan. Pada umur 46 tahun, kaki kanannya diamputasi. Ia menikah, dua kali, dengan pelukis Diego Rivera, yang tak jarang bercinta dengan perempuan lain. Frida pun bukan perempuan biasa. Ia juga bermesraan dengan sejumlah orang, termasuk Leon Trotsky. Juga dengan sesama perempuan. Lukisan Frida adalah transformasi dari kesakitan dan kegilaan semacam ini.
Namun, Alvarez Bravo nyaris membuat pelukis ini demikian agung. Lihat, misalnya, Frida berdiri tegak sekokoh granit, bersedekap, wajahnya memancarkan rasa bangga tak terhingga. Bahkan ia tampak megah dalam balutan gaun berleher tinggi, menikmati matahari, sementara sebelah tangannya menutup jidatnya yang terpanggang. Atau, ia terduduk di kursi roda, setelah amputasi, setahun sebelum kematiannya, masih juga dengan tersenyum. Atau, bila Frida melamun atau tidur di kamarnya, cermin di dinding atau lemari itu memancarkan wajah damai yang begitu dalam. Mengapa pelukis ini jadi begitu suci, tercinta, dan terhormat?
Si Juru Foto membalikkan apa yang sudah dilakukan si pelukis dengan lukisannya sendiri. Frida terilhami oleh retablo, lukisan orang suci dalam khazanah rakyat Meksiko, tapi sekaligus ia menjungkirkannya: ia melukis dirinya sebagai orang berdosa, penuh luka dan erotisisme. Pada titik paling ekstrem, misalnya, ia menampilkan dirinya telanjang, tertusuk paku-paku, dan pada dadanya yang terbelah tampak tiang Ionia menggantikan tulang belakangnya. Ia juga mengetengahkan diri sebagai kijang yang tersesat, ditembusi sejumlah anak panah. Layaknya surealisme, lukisan Frida penuh letupan bawah sadar. Namun, Alvarez Bravo benar-benar meneruskan tradisi retablo dengan kameranya: ia mengabadikan Santa Frida.
Namun, jika si Juru Foto menelisik ke dalam kamar Frida tanpa kehadiran si empunya, tampaklah kembali paradoks yang menyelimuti si keturunan Yahudi dan Indian ini. Kita tahu, perempuan bertubuh rapuh ini pendukung komunisme dan revolusi Meksiko yang keras kepala, tapi tak sedikit pun soal ini muncul dalam karyanya. Kita tahu, pelukis ini begitu berani mengolah sadomasokisme, tapi ia juga begitu kekanak-kanakan. Maka, di kamar Kahlo, kita melihat foto Marx, Lenin, Mao, juga sejumlah boneka mainan, kerajinan rakyat, koral putih, patung binatang, dan karangan bunga kering. Kamar ini seperti ruang perayaan (fiesta) yang baru saja ditinggalkan. Dan salah satu fiesta yang terbesar di Meksiko adalah Hari Orang Mati, ketika mereka mensyukuri kehidupan sebagai nostalgia terhadap kematian, seperti ditulis penyair Xavier Villaurrutia.
Alvarez Bravo juga memotret perupa, penulis, dan intelektual yang lain, seakan ia bukan hanya saksi, tapi juga bagian dari generasi Meksiko paling cemerlang di abad ke-20 ini. Tidak ada yang menggugah pada wajah-wajah itu, kecuali ironi yang tipis belaka, mungkin karena ia tak mengalami nostalgia terhadap kematian seperti yang ia dapatkan pada wajah mestizo dengan mata tajam dan alis tebal-lengkung Frida Kahlo. Adapun Diego Rivera, suami Frida, ia rekam beberapa kali sebagai sosok tambun, tua, capek, berminyak, meski angkuh dan percaya diri. Sebuah fotonya menampilkan Diego sedang menggambar Frida pada lukisan dindingnya yang besar dan berimpit-impit: keduanya berjauhan dan terhalang tembok kebisuan, seakan si Juru Foto menyimpan cemburu terhadap mereka.
Rasa akrab yang aneh membayangi dua perempuan sebaya ini. Frida, yang begitu kejam menyiksa diri sendiri dalam lukisannya, menjadi sosok yang lega-pasrah dalam karya Alvarez Bravo. Ia mencuri ruang penyiksaan dalam lukisan Kahlo dan mengubahnya menjadi ruang pertobatan dalam fotonya. Mungkin upaya ini berlebihan, karena kita tetap memerlukan Frida sebagai pengganggu kewarasan kita. Selama 32 tahun, fotografer yang pernah bekerja di Departemen Pendidikan ini bersahabat dengan "model"-nya. Dialah yang mengenakan gaun Yalalag putih ke jenazah si Pelukis pada hari kematiannya, 1954.
Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo