Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO penting dari seorang ajudan membuat Ajun Komisaris Besar Karimudin Ritonga girang. Mata sepet karena kurang tidur pun dia abaikan. Kepala Kepolisian Resor Kota Sorong itu bergegas menuju ruang pemeriksaan, Senin dinihari pekan lalu. Di sana, telah menunggu lelaki yang sempat lolos dari sergapan aparat: Labora Sitorus.
Labora menyerahkan diri ke kantor Polresta Sorong, Papua Barat, sekitar pukul 03.00 waktu setempat. Beberapa saat sebelumnya, Karimudin melihat lelaki bertubuh gempal itu turun dari ojek di depan kantornya. Namun Karimudin, yang kala itu tengah mondar-mandir di lorong kantor untuk membuang penat, mengaku tak mengenali Labora. "Saya tidak ngeh, kepalanya plontos begitu," katanya Selasa pekan lalu.
Mahkamah Agung menghukum Labora 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Majelis hakim kasasi menyatakan brigadir polisi pemilik rekening Rp 1,5 triliun itu bersalah membalak hutan, menimbun bahan bakar, dan melakukan pencucian uang hasil kejahatan.
Tiga hari sebelum Labora menyerahkan diri, tim eksekusi dari Kejaksaan Negeri Sorong gagal memboyong dia dari rumahnya di Jalan Diponegoro, Tampa Garam, Sorong Barat. Padahal hari itu tim eksekusi datang dengan pengawalan 600 aparat gabungan dari Polres Sorong, Kepolisian Daerah Papua Barat, Brigade Mobil Kepolisian RI, serta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Menurut Karimudin, polisi sudah mengintai kompleks rumah dan pabrik kayu Labora sejak pukul 05.00 pada Jumat dua pekan lalu itu. Sebagian polisi juga berjaga-jaga di sekitar dermaga milik PT Rotua, perusahaan Labora. Tiga jam kemudian, pasukan gabungan merangsek masuk ke kompleks pabrik dan rumah Labora. Aparat menembakkan gas air mata ketika pengikut Labora melempari mereka dengan batu. Kendaraan barakuda juga dikerahkan untuk menjebol pintu gerbang besi berlapis kayu yang dihalangi truk dan kontainer. Ketika aparat gabungan memasuki rumah, ternyata Labora sudah kabur.
Kepada anak buah Karimudin, Labora mengaku meninggalkan rumah di Tampa Garam sekitar pukul 18.30, Kamis dua pekan lalu. Selama tiga hari, Labora bersembunyi di rumah kosong di kawasan Boswesen, Kelurahan Rufei. Persembunyian itu hanya berjarak tiga kilometer dari rumah Labora di Tampa Garam.
Menurut adik angkat Labora, Fredy Fakdawer, kakaknya sudah mendengar rencana eksekusi sepekan sebelumnya. Petugas penjara dan kepolisian Sorong pun berkali-kali meminta Labora menyerah supaya tak dijemput paksa. Tapi Labora tak menuruti bujukan itu. Kamis malam itu, Labora pergi tanpa memberitahukan akan ke mana. "Yang penting tak kembali ke penjara," ujar Fredy menirukan Labora.
Lama dikenal sebagai polisi tajir dari Papua Barat, Labora Sitorus memulai usaha dengan berjualan bahan kebutuhan pokok dan minuman keras. Kemudian dia merambah usaha pengolahan kayu dan penyaluran bahan bakar minyak. Berkali-kali usahanya tersandung masalah hukum. Tapi dia selalu lolos dari jerat aparat.
Sampailah ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencium ribuan transaksi mencurigakan pada rekening bank milik Labora. Sepanjang 2007-2012, PPATK menghitung sekitar Rp 1,5 triliun uang yang keluar-masuk rekening polisi berpangkat terakhir brigadir kepala itu. Temuan ini dilaporkan PPATK ke Markas Besar Kepolisian RI.
Labora melawan ketika Kepolisian Daerah Papua mulai mengusut perusahaannya. Labora melapor ke Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta. Pada Mei 2013, Labora menyerahkan catatan 265 kali setoran untuk atasan dia, dari tingkat kepolisian resor hingga Markas Besar Polri. Total uang "entertainment" pada periode 1 Januari 2012 hingga 23 April 2013 itu sekitar Rp 10 miliar.
Setelah ditangkap di Jakarta, Labora memberontak ketika hendak dipindahkan dari tahanan Polda Papua ke Sorong. Dia menggembok sendiri pintu ruang tahanan dan baru keluar setelah dibujuk keluarga dan orang dekatnya. Di Sorong, Labora pun tak berhenti berulah.
Pengadilan Negeri Sorong pada Desember 2013 menghukum Labora dua tahun penjara. Majelis hakim menyatakan Labora bersalah dalam pembalakan hutan dan penimbunan bahan bakar ilegal, tapi tak bersalah dalam perkara pencucian uang. Sejak itu, Labora seharusnya diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Sorong. Faktanya, Labora bisa keluar-masuk penjara sesuka hati. Ketika aparat memaksa, Labora dan pengikutnya selalu melawan.
Labora, misalnya, meninggalkan LP Sorong dengan alasan berobat pada 17 Maret 2014. Ketika izin berobat berakhir, pada 21 April 2014, dia tak kembali ke penjara. Setelah Mahkamah Agung memvonis dia 15 tahun penjara pada 17 September 2014, Labora berkukuh menolak dieksekusi.
Ketika jaksa dan polisi mendatangi rumahnya, Labora menunjukkan surat pembebasan dari LP Sorong. Setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan "surat bebas" bertanggal 24 Agustus 2014 itu tidak sah, Labora tetap tak mau menyerah. "Buat apa? Apa salah saya?" ujarnya ketika menerima Tempo di rumahnya.
Menurut Fredy Fakdawer, kakak angkatnya kembali masuk LP Sorong pada 20 Februari 2015. Tapi, sepekan setelah eksekusi yang melibatkan ratusan polisi dan tentara itu, Labora keluar lagi dari penjara. "Dia stroke ringan dan harus berobat, toh," kata Fredy. Menurut dia, jemari tangan Labora tak bisa digerakkan. Petugas penjara pun membawa Labora ke Rumah Sakit Pertamina, Sorong.
Selesai opname, Labora tak mau kembali ke bui. Apalagi, menurut Fredy, dokter merekomendasikan Labora menjalani terapi. Saban pekan, selama empat bulan, Labora bolak-balik Sorong-Raja Ampat. Dia menjalani terapi hiperbarik di Rumah Sakit Umum Daerah Marinda, Raja Ampat.
Selama masa pengobatan, menurut Fredy, selalu ada pegawai LP Sorong yang mengawasi. Paling tidak, saban hari ada dua petugas penjara yang mendatangi rumah Labora di Tampa Garam. Mereka biasanya baru meninggalkan rumah Labora sekitar pukul 20.00.
Kepala LP Sorong Maliki membantah kabar bahwa Labora "pulang" ke rumah sejak akhir Februari tahun lalu. Menurut dia, Labora membangkang lagi setelah salinan lengkap putusan Mahkamah Agung keluar pada Oktober 2015. Labora, menurut Maliki, beralasan eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Sorong pada 20 Februari 2015 cacat hukum karena hanya berdasarkan petikan putusan kasasi, bukan salinan lengkapnya. "Pada 21 Oktober 2015, dia mengambil sikap tak mau kembali," ujar Maliki.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Kusmiantha Dusak mengaku baru tahu Labora meninggalkan lagi penjara pada Oktober 2015. Kala itu, tim dari Jakarta sengaja dikirim untuk mengecek ke Sorong. Ternyata Labora tak ada di hotel prodeo itu. "Waktu itu tak bisa langsung dieksekusi karena ada konflik internal di perusahaan buah Labora," kata Dusak, yang baru dilantik sebagai direktur jenderal pada Agustus 2015.
Menurut Dusak, Labora bisa keluar-masuk penjara atas bantuan petugas lembaga pemasyarakatan. "Enggak bisa keluar seenaknya gitu. Itu dibekingi petugas kami," katanya. Dia memastikan semua petugas penjara yang berurusan dengan Labora telah dijatuhi sanksi. Di antaranya ada yang pangkatnya diturunkan. "Kepala divisi termasuk yang diturunkan pangkatnya," ujar Dusak.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly akhirnya memerintahkan pemindahan Labora ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Pertimbangan Menteri, menurut Dusak, Labora sering berdalih sakit dan meminta keluar dari penjara Sorong untuk berobat. LP Cipinang dekat dengan Rumah Sakit Pengayoman, yang fasilitasnya lebih memadai.
Meski tak berjalan mulus, Labora akhirnya dijebloskan ke sel khusus LP Cipinang pada Senin sore pekan lalu. Selama dua pekan pertama, Labora menjalani masa isolasi. Dia tak boleh menerima kunjungan siapa pun. Dua petugas khusus selalu mengawasi sel Labora. "Kalau di Sorong, dia bisa-bisa kabur lagi," kata Dusak.
Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo