Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raden Priyono lebih banyak "nganggur" di ruang tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. MantanKepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan GasBumi (BP Migas) ini diterungku sejak pertengahan Februari lalu. Polisi menuduh Priyono terlibat skandal penjualan kondensat jatah negara ke PT Trans Pacific Petrochemical Indotama(TPPI).
Menurut Supriyadi Adi, pengacara Priyono, polisi hampir sebulan tak memeriksa kliennya. "Padahal alasan penahanan untuk mempermudah penyidikan," kata Supriyadi, Selasa dua pekan lalu. Karena itu, dia menganggap penahanan Priyono tak perlu. Toh, selama ini, Priyono selalu datang setiap kali dipanggil polisi.
Faktanya, pada Rabu dua pekan lalu, polisi malah memperpanjang masa penahanan Priyono sampai 40 hari. Selain menahan Priyono, polisi menahan mantan Deputi Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Bareskrim mengumumkan status tersangka mereka pada Mei 2015.
Polisi menuduh Priyono dan Djoko menyalahgunakan wewenang ketika masih aktif di BP Migas—sekarang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). "Penunjukan langsung TPPI menyalahi aturan sehingga merugikan negara dan memperkaya orang lain," ujar Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus BareskrimKomisaris Besar Agung Setya, Senin dua pekan lalu.
Sejak menahan Priyono dan Djoko, menurut Agung, polisi sudah berkali-kali memeriksa mereka. Jadi, kata Agung, tak benar bila Priyono disebut "menganggur". "Kami malah sudah mengantongi nama calon tersangka baru," ujar Agung tanpa menyebut nama si calon tersangka.
Agung juga menyebut ada aliran dana dari TPPI ke PT Tuban LPG Indonesia, perusahaan milik Honggo Wendratmo. Polisi telah memeriksa Honggo, yang juga telah menjadi tersangka, di Singapura pada medio Agustus tahun lalu. Menurut Agung, polisi akan membidik Honggo dengan Undang-Undang Pencucian Uang. Namun polisi belum menahan Honggo, yang beralasan sakit.
Penyelamatan TPPI dari kebangkrutan total diputuskan dalam rapat di kantor Wakil Presiden pada 21 Mei 2008. Hadir dalam rapat Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama sejumlah pejabat. Mereka antara lain Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktur Anggaran dan Direktur Utama PT Pertamina, Badan Pelaksana Hilir Migas, serta Komisaris Utama dan Wakil Presiden DirekturTPPI.
Rapat itu membahas skema penyelamatan TPPI, perusahaan yang sebelumnya dimilikiHonggo Wendratmo melalui PT Silakencana Tirtalestari. Perusahaan pengolahan minyak di Tuban, Jawa Timur, ini baru saja berhenti beroperasi karena salah urus. Mereka juga gagal membayar utang US$ 246 juta ke Pertamina. Tagihan tersebut untuk pasokan kondensat dari Lapangan Senipah di Kalimantan Timur, yang dipakai sebagai bahan baku produksi TPPI sejak beroperasi pada 2006.
Rapat menyetujui restrukturisasi utangTPPI, khususnya utang kepada Pertamina. Cara penyelamatannya:TPPIdiberi jatah membeli kondensat dari Pertamina dengan harga yang menguntungkan kedua perusahaan. Pada saat yang sama, Pertamina harus membeli minyak olahanTPPI. Tapi harga beli Pertamina dari TPPI tak boleh lebih mahal dari harga impor.
Pada Maret 2009, Priyono mengeluarkan surat untuk menindaklanjuti hasil rapat di kantor Wakil Presiden itu. Surat itu mengizinkan TPPI membeli kondensat milik negara yang disuplai Pertamina lewat pengawasan BP Migas. Belakangan, penunjukan TPPI oleh BP Migas dipermasalahkan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga audit negara ini menemukan indikasi kerugian negara dalam penjualan kondensat jatah negara ke TPPI selama 2008-2012.
Badan Reserse Kriminal Polri, di bawah pimpinan Komisaris Jenderal Budi Waseso, membuka pengusutan penjualan kondensat ke TPPI pada 27 April 2015. Dasarnya adalah laporan tipe A, yakni laporan yang dibuat sendiri oleh polisi. Keesokan harinya, polisi mengeluarkan surat perintah penyidikan. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka: Raden Priyono, Djoko Harsono, dan Honggo Wendratmo.
Polisi menganggap Priyono menabrak aturan internal BP Migas dan peraturan pemerintah tentang kegiatan usaha hulu migas. Berdasarkan kedua aturan itu, BP Migas seharusnya mengecek dulu sehat-tidaknya perusahaan yang akan mendapat kondensat jatah negara. Menurut Komisaris Besar Agung Setya, Priyono mengesampingkan fakta bahwa TPPI memiliki catatan buruk dalam pengelolaan keuangan mereka.
Polisi juga mempermasalahkan TPPI yang tidak memproduksi premium "Ron 88" Seharusnya, menurut polisi, TPPI mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar premium untuk dijual ke Pertamina. Yang terjadi, TPPI malah mengolah kondensat menjadi aromatik jenis nafta—bahan baku produksi bensin beroktan tinggi—lalu menjualnya ke luar negeri.
Adapun Honggo Wendratmo, menurut Agung, mendapat keuntungan dari keputusan BP Migas menunjuk TPPI. Sebab, residu pengolahan kondensat di TPPI kemudian diolah PT Tuban LPG Indonesia menjadi elpiji. Harga jual elpiji yang tinggi, menurut Agung, menambah pundi-pundi Tuban LPG, yang mayoritas sahamnya dimiliki Honggo. Karena itu, polisi melacak aset Tuban LPG untuk menguatkan bukti dugaan pencucian uang.
Laporan audit investigasi BPK yang diserahkan ke polisi pada akhir Januari lalu menyebutkan potensi kerugian negara dalam perkara ini US$ 2,7 miliar atau setara dengan Rp 35,5 triliun. Menurut Agung, polisi tak menelan bulat-bulat perhitungan BPK itu. Polisi berfokus pada tindakan korporasi yang mengandung unsur pidana. "Sedang kami pilah mana yang masuk kategori pidana korupsi," kata Agung.
Atas nama kliennya, Supriyadi Adi membeberkan hal sebaliknya. Menurut dia, penunjukan TPPI oleh BP Migas sudah sesuai dengan prosedur. Priyono tak sekonyong-konyong menunjuk TPPI untuk membeli kondensat jatah negara. "Polisi harus melihat perjalanan panjang sampai TPPI ditunjuk," ujar Supriyadi.
Setelah rapat di kantor Wakil Presiden, Supriyadi menerangkan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi berkali-kali menggelar pertemuan untuk membahas teknis penyelamatan TPPI. Setelah mendapat kata sepakat, Kementerian Energi kemudian meminta BP Migas menyediakan kondensat untuk TPPI.
Pada Maret 2012, Supriyadi menambahkan, Priyono juga meminta pendapat hukum ke Kejaksaan Agung. Waktu itu Kejaksaan mengatakan penunjukan TPPI oleh BP Migas sudah sesuai dengan prosedur. Adapun tunggakan TPPI kepada Pertamina termasuk perkara perdata, bukan pidana.
Menurut Supriyadi, masalah menjadi ruwet karena polisi mencampuradukkan urusan pasokan dengan pengolahan kondensat. "Klien kami tak tahu-menahu bagaimana kondensat diolah. Yang penting," kata Supriyadi, "pembayaran suplai kondensat aman." Priyono sampai membentuk tim khusus untuk mengawasi pembayaran pasokan kondensat oleh TPPI. Hasilnya, TPPI sudah melunasi 95 persen utang mereka kepada Pertamina, BP Migas, dan Kementerian Keuangan. Total utang yang sudah dibayar TPPI, menurut Supriyadi, sekitar US$ 2,599 miliar.
Memang, menurut Supriyadi, Priyono pun menyadari telah menabrak aturan internal BP Migas. Namun itu bukan sepenuhnya inisiatif Priyono. "Instruksi penyelamatan langsung dari pusat," ujar Supriyadi. "Itu jelas lebih tinggi dari aturan internal."
Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo