DISANGKA pembajak oleh polisi, dituntut kurungan empat bulan dan denda Rp 30 juta oleh jaksa, tapi divonis bebas oleh hakim. Itulah nasib baik yang direguk Chandra Sugiono, tersangka pembajak domain www.mustika-ratu.com milik Mooryati Sudibyo. Vonis bebas itu diketuk oleh Chasyani Tandjung—hakim ketua dalam kasus ini—di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 11 Desember lalu. Ketukan palu hakim itu dinanti orang ramai karena inilah kasus pertama di dunia maya yang dibawa masuk hingga ke ruang para hakim.
Chandra mendaftarkan domain itu ke Network Solution Inc. di Amerika Serikat pada 7 Oktober 1999. Anehnya, situs itu tidak untuk mengiklankan barang kecantikan milik Mustika Ratu, tapi malah memajang produk Sari Ayu—milik Nyonya Martha Tilaar—saingan berat Mustika Ratu. Chandra lalu dituding main tekuk pesaing dagangnya secara curang. Apalagi, saat domain ini didaftar, Chandra duduk di posisi Manajer PT Martina Bertho—produsen jamu dan kosmetik Sari Ayu—yang bertugas memasarkan produk perusahaan ini di negeri seberang.
Akibat ulah Chandra ini, menurut pihak Mustika Ratu, sejumlah rekan bisnis mereka di mancanegara dibuat bingung. Dua mitra dagang Mustika Ratu dari Arab Saudi dan Malaysia mempertanyakan iklan di situs itu. Pesanan jadi lambat dan jumlah produk ikut mengkeret. Jika ditotal menurut hitungan Mustika Ratu, kerugian bisa menyentuh angka Rp 20 miliar. Merasa dirugikan, Mustika Ratu lalu menggiring Chandra ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhir November lalu.
Sejak awal, jaksa penuntut umum terlihat kagok dalam membidik Chandra Sugiono dalam perkara yang baru dikenal ini. Pasal yang digunakan adalah Pasal 382 bis KUHP, yang melarang persaingan curang dengan cara menipu masyarakat konsumen. Ancamannya? Empat bulan penjara. Jaksa juga membidik Chandra dengan Pasal 19 dan Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dengan pasal ini, Chandra diharuskan me-lunasi denda Rp 25-100 miliar atau menginap di bui selama enam bulan.
Sebanyak 16 saksi diundang ke ruang sidang, dari pelanggan produk kecantikan itu sampai Chairil, akuntan keuangan Mustika Ratu sendiri. Dari kalkulator sang akuntan inilah angka kerugian Rp 20 miliar tadi ditemukan. Dua lembar faksimile dari pelanggan di mancanegara tadi juga disertakan sebagai barang bukti.
Sayangnya, sejumlah senjata sang jaksa itu patah di depan para hakim. Menurut hakim, Undang-Undang Antimonopoli yang diusung oleh jaksa tidak relevan untuk kasus Chandra. Alasannya? Undang-undang itu baru berlaku efektif pada 5 Maret 2000, sedangkan perbuatannya sudah terjadi pada 7 Oktober 1999. Chandra luput karena undang-undang tidak dapat berlaku surut.
Jeratan Pasal 382 bis KUHP tentang persaingan curang dengan menipu masyarakat konsumen juga menghantam angin. Hakim lebih yakin pada keterangan Chandra bahwa situs itu belum terisi alias masih kosong melompong. "Domain itu dibuat semata-mata untuk didagangkan kepada pihak lain, jadi masih kosong," kata terdakwa.
Chandra makin di atas angin karena dari 16 saksi yang disertakan ke ruang sidang, hampir tidak ada yang memberatkannya. Dua lembar faks yang didatangkan dari Arab Saudi juga diragukan keasliannya oleh para hakim. Soal kerugian Rp 20 miliar yang diderita Mustika Ratu? Hakim juga lebih percaya pada penjelasan penasihat hukum terdakwa bahwa angka kerugian itu sulit dipercaya. Menurut Didi Irawan, penasihat hukum Chandra, angka Rp 20 miliar itu hanya merupakan kerugian potensial berdasarkan perkiraan sang akuntan. Padahal, kata Didi, kasus pidana menuntut fakta dan bukan perkiraan. "Masa, seseorang dihukum hanya karena secara potensial bisa merugikan orang lain?" kata Didi.
Seluruh pertimbangan itulah yang membuat hakim memutus bebas Chandra Sugiono. Puaskah jaksa? "Vonis ini sama saja memberi peluang merajalelanya kejahatan serupa," kata Yoseph N. Edy, jaksa penuntut umum dalam kasus ini. Menurut Yoseph, kasus Chandra ini jelas sangat kuat unsur kejahatannya. Karena itu, kendati belum ada hukum yang mengatur tetek-bengek dunia maya tersebut, hakim bisa mencokok Chandra karena unsur kejahatan itu. "Unsur kejahatan itulah yang menguatkan kami menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama empat bulan dan denda sebesar Rp 30 juta," ujarnya.
Dunia hukum kita belum mengatur lalu-lintas di dunia maya itu. Akibatnya, aneka aksi kejahatan seperti pembajakan domain, perusakan jaringan internet, dan pembobolan kartu kredit lolos begitu saja. Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi baru masuk ke Gedung DPR awal Januari 2002 nanti, tertinggal jauh dengan dunia internet, yang mulai marak di sini sejak satu dasawarsa lalu.
Wens Manggut, Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini