MARTIN sebetulnya sudah WNI -- walau bapaknya dilahirkan di
Tiongkok. Tetapi status ini masih belum afdol dirasakan
pengusaha toko emas di Pasar Cikini ini. Sabtu, dua minggu yang
lalu, ia "dibaptis" bermarga Manurung di Balai Pertemuan Umum di
Jalan Raden Saleh, Jakarta.
Tidak banyak yang diharap Martin Manurung dengan memakai marga
Batak tersebut. "Untuk saya tidak banyak artinya, tetapi mungkin
anak saya akan lebih terintegrasi dengan penduduk Indonesia
dengan marga itu," ujar Manurung, 37 tahun, yang sampai saat ini
belum bisa berbahasa Tapanuli.
Keinginan 3 juta penduduk Indonesia keturunan Cina untuk diakui
sebagai orang Indonesia memang besar. Hasrat ini mengundang
kesibukan baru dalam pengurusan proses kewarganegaraan. Tentu
saja keluarnya Inpres no. 2/1980 (untuk mempercepat proses
pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) dan Keppres no.
13/1980 (mempercepat proses permohonan kewarganegaraan) disambut
gembira. Pengadilan-pengadilan penuh dengan penduduk keturunan
Cina yang ingin mendapat penjelasan tentang kedua peraturan baru
tersebut.
Keluarnya kedua bentuk hukum itu menurut Menteri Kehakiman
Moedjono SH adalah demi kepastian hukum. "Agar kita tahu mana
yang anak kandung, mana yang bujang dan mana yang indekos,"
katanya. Dengan Inpres diharapkan warganegara yang selama ini
belum mempunyai surat bukti mulai 17 Agustus 1980 sudah memiliki
bukti sebagai warganegara. Sedangkan Keppres, menurut menteri,
tidak lebih dari usaha pencepatan proses dari peraturan yang
sudah ada selama ini (UU no. 62/1958). Kalau dulu proses itu
bisa bertahun-tahun, kata menteri, sekarang dalam waktu dua
setengah bulan setelah permohonan dimasukkan melalui pengadilan,
akan beres.
Banyak yang menilai Keppres itu sangat baik untuk mematahkan
percaloan dan berlarut-larutnya proses mengurus naturalisasi
seperti selama ini. "Dilihat dari isi Keppres itu, ada usaha
untuk menyembuhkan penyakit," komentar Prof. Ting Swan Tiong SH,
yang banyak mendalami peraturan kewarganegaraan. Yaitu penyakit
birokrasi berbelit-belit.
Namun tak urung ada pula yang khawatir. Yayasan Lembaga
Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) mendatangi DPR, 9 April, memrotes
Keppres tersebut. Prof. Mr. Sunario, yang memimpin delegasi,
menilai Keppres tadi bertentangan dengan UU no. 62/1958 dan UUD
45. Alasannya: undang-undang mengharuskan permohonan
kewarganegaraan diputuskan Dewan Menteri. Sedangkan Keppres
hanya cukup dari menteri kehakiman dan Bakin. YLKB pada pokoknya
mengkhawatirkan, kelonggaran yang diberikan Keppres akan
menambah kereahan di masyarakat. "Warganegara baru akan lebih
mendominasi ekonomi Indonesia -- kalau mereka masih WNA bisa
diusir bila berbuat macam-macam," kata bekas menlu yang ikut
membuat UU no. 62/1958 itu.
Mengapa protes itu tidak ditujukan kepada Inpres no. 2/1980?
Sebab seorang anggota Komisi III DPR menilai justru Inpres itu
yang lebih berbahaya. "Dengan proses yang sulit saja mereka
masih bisa memalsukan dokumen, apalagi kalau hanya melalui lurah
dan camat," kata anggota yang tak ingin disebut namanya. Sebab,
dikhawatirkan orang yang tidak mungkin jadi WNI melalui Keppres,
malah mendapat SBKRI dari camat melalui prosedur Inpres (lihat
box).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini