Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lubang-Lubang Keppres Dan Inpres

Keluarnya inpres no 2/1980 dan keppres no 13/1980 tentang masalah kewarganegaraan disambut baik oleh penduduk keturunan cina. menteri mujono mengatakan hal ini demi kepastian hukum.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARTIN sebetulnya sudah WNI -- walau bapaknya dilahirkan di Tiongkok. Tetapi status ini masih belum afdol dirasakan pengusaha toko emas di Pasar Cikini ini. Sabtu, dua minggu yang lalu, ia "dibaptis" bermarga Manurung di Balai Pertemuan Umum di Jalan Raden Saleh, Jakarta. Tidak banyak yang diharap Martin Manurung dengan memakai marga Batak tersebut. "Untuk saya tidak banyak artinya, tetapi mungkin anak saya akan lebih terintegrasi dengan penduduk Indonesia dengan marga itu," ujar Manurung, 37 tahun, yang sampai saat ini belum bisa berbahasa Tapanuli. Keinginan 3 juta penduduk Indonesia keturunan Cina untuk diakui sebagai orang Indonesia memang besar. Hasrat ini mengundang kesibukan baru dalam pengurusan proses kewarganegaraan. Tentu saja keluarnya Inpres no. 2/1980 (untuk mempercepat proses pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) dan Keppres no. 13/1980 (mempercepat proses permohonan kewarganegaraan) disambut gembira. Pengadilan-pengadilan penuh dengan penduduk keturunan Cina yang ingin mendapat penjelasan tentang kedua peraturan baru tersebut. Keluarnya kedua bentuk hukum itu menurut Menteri Kehakiman Moedjono SH adalah demi kepastian hukum. "Agar kita tahu mana yang anak kandung, mana yang bujang dan mana yang indekos," katanya. Dengan Inpres diharapkan warganegara yang selama ini belum mempunyai surat bukti mulai 17 Agustus 1980 sudah memiliki bukti sebagai warganegara. Sedangkan Keppres, menurut menteri, tidak lebih dari usaha pencepatan proses dari peraturan yang sudah ada selama ini (UU no. 62/1958). Kalau dulu proses itu bisa bertahun-tahun, kata menteri, sekarang dalam waktu dua setengah bulan setelah permohonan dimasukkan melalui pengadilan, akan beres. Banyak yang menilai Keppres itu sangat baik untuk mematahkan percaloan dan berlarut-larutnya proses mengurus naturalisasi seperti selama ini. "Dilihat dari isi Keppres itu, ada usaha untuk menyembuhkan penyakit," komentar Prof. Ting Swan Tiong SH, yang banyak mendalami peraturan kewarganegaraan. Yaitu penyakit birokrasi berbelit-belit. Namun tak urung ada pula yang khawatir. Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) mendatangi DPR, 9 April, memrotes Keppres tersebut. Prof. Mr. Sunario, yang memimpin delegasi, menilai Keppres tadi bertentangan dengan UU no. 62/1958 dan UUD 45. Alasannya: undang-undang mengharuskan permohonan kewarganegaraan diputuskan Dewan Menteri. Sedangkan Keppres hanya cukup dari menteri kehakiman dan Bakin. YLKB pada pokoknya mengkhawatirkan, kelonggaran yang diberikan Keppres akan menambah kereahan di masyarakat. "Warganegara baru akan lebih mendominasi ekonomi Indonesia -- kalau mereka masih WNA bisa diusir bila berbuat macam-macam," kata bekas menlu yang ikut membuat UU no. 62/1958 itu. Mengapa protes itu tidak ditujukan kepada Inpres no. 2/1980? Sebab seorang anggota Komisi III DPR menilai justru Inpres itu yang lebih berbahaya. "Dengan proses yang sulit saja mereka masih bisa memalsukan dokumen, apalagi kalau hanya melalui lurah dan camat," kata anggota yang tak ingin disebut namanya. Sebab, dikhawatirkan orang yang tidak mungkin jadi WNI melalui Keppres, malah mendapat SBKRI dari camat melalui prosedur Inpres (lihat box).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus