Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung akan menerapkan sistem penunjukan majelis hakim secara otomatis berbasis aplikasi robotik bernama Smart Majelis. Langkah ini untuk mencegah praktik ‘pesan hakim’ dan memperkecil potensi korupsi di lingkungan peradilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Mahkamah Agung segera menerapkan aplikasi penunjukan majelis hakim secara robotik 'Smart Majelis' pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebagaimana telah ditetapkan di Mahkamah Agung intuk meminimalisir terjadinya potensi judicial corruption," kata Juru Bicara MA, Yanto dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin, 14 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Robot akan menentukan siapa hakimnya begitu perkara masuk. Bukan manusia lagi yang menunjuk,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi.
Smart Majelis sebelumnya telah digunakan di lingkungan Mahkamah Agung. Dalam rapat pimpinan pagi tadi, kata dia, pimpinan MA memutuskan perluasan sistem ini ke seluruh pengadilan tingkat pertama dan banding di Indonesia.
Yanto menyebut sistem ini akan dibarengi dengan pembenahan sumber daya manusia. “Ketua pengadilan harus dipilih yang bersih dan profesional. Penunjukannya disertai personal garansi,” kata Yanto.
Sobandi menambahkan, implementasi sistem ini masih membutuhkan pengembangan teknologi. “Kami harus membangun dulu aplikasinya. Butuh waktu, tapi ini sudah diputuskan,” ujarnya.
Langkah ini diambil menyusul terungkapnya dugaan suap di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam perkara korupsi CPO. MA mengaku prihatin karena peristiwa itu terjadi di tengah upaya pembenahan sistem peradilan.
Dugaan suap terhadap majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat berawal dari perkara besar korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang menjerat tiga korporasi raksasa: Permata Hijau Grup, Wilmar Grup, dan Musim Mas Grup. Jaksa mendakwa ketiganya melakukan korupsi dalam pemberian izin ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya.
Namun pada 19 Maret 2025, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memutus para terdakwa bersalah melakukan perbuatan seperti dalam dakwaan, tapi menyatakan perbuatan itu bukan tindak pidana. Putusan yang dikenal dengan istilah onslag van alle recht vervolging ini langsung memantik sorotan publik.
Kejaksaan Agung tak tinggal diam. Tim penyidik Tindak Pidana Khusus melakukan pengembangan perkara dan, pada 13 April 2025, menetapkan tiga hakim sebagai tersangka: Djuyamto selaku ketua majelis, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom selaku anggota. Penetapan tersangka diumumkan dini hari, 14 April 2025.
Penyidikan Kejagung membongkar alur suap bernilai total Rp 60 miliar. Modusnya: korporasi melalui pengacaranya, Ariyanto (AR), menyuap panitera Wahyu Gunawan (WG) agar perkara diputus lepas. WG lalu menyampaikan permintaan itu kepada Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat perkara ini disidangkan menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Permintaan dikabulkan. Namun nilai imbalan yang diminta melonjak: dari Rp 20 miliar menjadi Rp 60 miliar untuk tiga perkara. Uang dalam bentuk dolar AS itu kemudian diserahkan AR ke WG dan diteruskan ke MAN. WG mendapat bagian US$ 50 ribu sebagai perantara.
Setelah sidang ditetapkan, MAN memanggil Djuyamto dan Agam. Ia menyerahkan uang dalam goodie bag senilai Rp 4,5 miliar untuk dibagi bertiga—termasuk untuk hakim ad hoc, Ali Muhtarom. Pada kesempatan terpisah, MAN kembali memberikan uang senilai Rp 18 miliar, juga dalam bentuk dolar, yang kembali dibagi tiga.
Total suap yang dibagikan ke majelis hakim mencapai Rp 22,5 miliar. Uang itu diberikan dengan alasan “uang baca berkas” dan agar perkara diberi atensi khusus.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan para tersangka dijerat pasal berlapis dalam Undang-Undang Tipikor, antara lain Pasal 12 huruf c dan Pasal 6 ayat (2), serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dengan ditetapkannya tiga hakim sebagai tersangka, jumlah total tersangka dalam perkara ini menjadi tujuh orang. Selain hakim, Kejagung telah lebih dulu menetapkan Ketua PN Jaksel MAN, pengacara Marcella Santoso, panitera Wahyu Gunawan, dan Ariyanto.